Ketika Bang Ali Sadikin Memerintah Jakarta dengan Gaya Kerasnya
Tim Intisari November 18, 2024 02:34 PM

Orang Jakarta rasanya tak ada yang tak mengenal Ali Sadikin. Ketika menjadi orang nomor satu di Jakarta dia begitu dicintai rakyatnya karena telah mengubah wajah Ibukota--meskipun wataknya memang keras betul.

Pertama tayang di Majalah Intisari edisi Juni 2005 dengan judul "Sewaktu Bang Ali Mengatur Betawi" ditulis oleh Tjahjo Widyasmoro

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -"Membangun Jakarta itu butuh duit," tegasnya. Dari mana asal dananya, ia berujar, "Biar saya yang pertanggungjawabkan di akhirat."

Ketika itu 1 April, tahunnya tak disebutkan. Ali Sadikin tengah bermobilbersama sejumlah wartawan, menuju sebuah acara di Menteng Wadas. Saat melintas di Jl. By Pass (sekarang Jl. Ahmad Yani), rombongan itu melihat sebuah truk bermuatan pasir delapan ton dengan begitu santainya berjalan di jalur tengah.

Segera Bang Ali--sapaan akrab Ali Sadikin--menyuruh sopirnya membunyikan klakson, maksudnya agar truk itu minggir, karena jelas melanggar aturan.

Namun sungguh konyol, ternyata truk itu tetap meluncur di jalur tengah, seolah tak menghiraukan kendaraan di belakangnya. Ketika dikejar, truk itu tetap jalan terus. Saat diminta berhenti, masih tetap bandel juga, malah seperti mau melarikan diri. Untunglah, setelah dipepet terus, truk itu mau berhenti juga.

"Truk siapa ini?" tanya Bang Ali setelah sopir truk turun.

"Truk ALRI, Pak," jawab sopir. (Belakangan Ali yang mengisahkan kembali, meralat bahwa sopir menjawab "Polisi").

"Mana surat tugas dan SIM-mu!"

Setelah menerima dan memeriksa surat-surat dari sopir, Ali bertanya lagi, "Apa Saudara tidak merasa bersalah?"

"Tidak, Pak," jawab sopir itu. "'Kan boleh saja jalan di sebelah kanan."

Plak! Sebuah tamparan telak mengenai wajah sopir.

"Kalau bawa muatan berat, apa boleh di jalan tengah?" Ali Sadikin bertanya lagi. Belum sempat sopir itu menjawab, "Plak!" Sebuah tamparan mendarat lagi.

"Apa Saudara tidak tahu ini jalur cepat. Mau seenaknya saja memakai jalan ini seperti jalanmu sendiri. Saudara tak menghiraukan orang lain. Saudara memalukan ALRI. Saya juga dari ALRI!" kata Ali Sadikin keras. Sementara sopir hanya menunduk.

"Jadi ABRI jangan sembarangan ya!" pesan Ali Sadikin sebelum naik ke mobilnya.

Secuplik kisah yang termuat dalam buku memoar Ali Sadikin berjudul Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977 tulisan Ramadhan K.H. itu cukup untuk menggambarkan sisi keras dan tanpa kompromi bekas gubernur DKI ini. Pendiriannya tegas, tak terbantahkan, dan ... ringan tangan.

Tempelengan yang diterima sopir sontoloyo itu belum seberapa. Beberapa bawahannya di Pemda DKI juga pernah kena "sentuhan sayangnya". Meski beberapa jam kemudian Bang Ali memanggil mereka kembali untuk menunjukkan letak kekeliruan itu, sehingga tidak ada dendam.

Begitu kerasnya Ali, sampai-sampai oleh beberapa kalangan, pensiunan Letnan Jenderal Marinir ini dijuluki sebagai pemimpin bertangan besi. Ali sendiri memilih kata "tegas" terhadap sifatnya itu.

Tegas itu terhadap sesuatu yang tidak sesuai aturan. Suatu sifat pemimpin yang konon kabarnya diperlukan untuk mengatur bangsa yang cenderung tidak tertib.

Di tengah-tengah kondisinya yang sudah tak muda lagi, ketika itu usianya sudah 78 tahun, Intisari berkunjung ke kantornya. Dia tampak begitu bersemangat mengenang masa-masa kepemimpinannya di Jakarta (1966-1977. Meski sudah senja usianya, sisa-sisa ketegasan itu masih terlihat nyata.

"Saya berbakti untuk rakyat, bukan untuk kekuasaan. Ngerti enggak?" ujar Ali berkali-kali selama mengobrol dua jam di kantornya di Jl. Borobudur 2, Jakarta Pusat, itu.

Diangkat Bung Karno karena sosoknya yang keras

Bang Ali diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh Bung Karno pada 1966. Ketika itu usianya masih begitu muda untuk ukuran seorang Gubernur Jakarta, masih 39 tahun. Sebelumnya, dia pernah menjadiMenteri Perhubungan Laut di dua kabinet dan berpangkat Mayor Jenderal.

Kenapa Bung Karno memilihnya karena Bang Ali dikenal sebagai sosok yang keras. "Saya kirauntuk mengurus Jakarta Raya baik juga een beetje koppigheid." Koppigheid artinya keras kepala. Sepuluh tahun kemudian pilihan itu terbukti tidak salah.

Jakarta yang diserahkan kepada Ali Sadikin saat itu adalah Jakarta yang porak-poranda pasca-Gerakan 30 September 1965.Wajah Jakarta terlihat bopeng, mirip kampung besar yang kumuh. Jalan-jalan aspal penuh lubang, bus semrawut, sementara jalan-jalan di kampung tak beraspal dan becek.

"Saking beceknya, bahkan sudah pakai sepatu bot, cipratan airnya masih terkena celana," kenang Ali.

Tapi bukan itu yang membuat Bang Ali prihatin. Tapi kondisi masyarakatnya, juga sarana kesehatannya yang tidak ada.Bangunan sekolah sudah bobrok dan dihuni tiga atau empat sekolah sekaligus. Pasar sedikit dan seadanya. Gelandangan terlihat di mana-mana.

Saat berkunjung ke sejumlah kampung, Ali menemukan bocah-bocah berperut buncit, gusi merah, dan mata melotot menyambutnya. Itulah yang membuatnya prihatin!

"Kita tidak punya apa-apa, tapi tetap harus melayani rakyat sebaik-baiknya, terutama yang lemah. Dasarnya ekonomi, pendidikan, dan kesehatan," kata Ali. "Orang Jakarta sejak di dalam rahim sampai mati itu tanggung jawab saya."

Untuk mengatasi segunung persoalan bukanlah soal gampang. Anggaran belanja Pemda DKI saat itu hanya Rp66 juta, yang hanya cukup untuk kegiatan rutin. Setahun kemudian angka itu berhasil digenjot lewat penarikan pajak dan retribusi menjadi Rp200 jutaan.

Ali kemudian mempunyai master plan pembangunan kota untuk 20 tahun kemudian. "No tax, no service," kata pelaut kelahiran Sumedang ini tentang prinsip pelayanannya.

Gambaran Ali di masa itu mungkin mirip Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, yang dijuluki jagoan mendulang uang untuk anggaran. Ali bekerja keras mencari dana dari semua sumber yang memungkinkan. Bahkan kala itu ada semacam dana taktis.

"Dari penghasilan yang tidak tercantum," terangnya tanpa merinci lebih lanjut. Setiap empat bulan, DPRD diundang untuk mengaudit. Di akhir tahun anggaran, dana itu ditambahkan sebagai surplus.

Mengatur judi

Kegigihan Ali soal mencari dana kemudian menyeretnya dalam persoalan legalisasi lokasi perjudian yang menimbulkan kontroversi. Dia berani karena ada Undang-Undang No. 11 tahun 1957 yang memungkinkan Kepala Daerah memungut pajak dari izin judi.

Sebenarnya, para walikota Jakarta (belum jadi provinsi) sebelumnya pernah memiliki rencana serupa tapi selalu dihadang tentangan. "Saya berani, demi rakyat Jakarta," kata Gubernur koppigheid yang terdesak kebutuhan warganya ini.

Sejak akhir dekade 1960-an, judi pun bergulir dengan nama mulai Lotere Totalisator (lotto) sampai hwa hwe.

Awalnya, Pemda mengatur ketat soal judi ini. Yang boleh bermain hanya orang-orang yang karena budaya atau way of life-nya tidak bisa melepaskan judi, terutama kaum keturunan Tionghoa atau warga negara asing.

"Orang kita tidak boleh judi, apalagi orang Islam!" seru Ali. Dia memang mengecualikan orang-orang tertentu berjudi untuk mencegah mereka main di luar negeri. Belakangan, hwa hwe ramai juga dimainkan orang pribumi.

Tentangan terhadap kebijakan Gubernur Ali tentu tidak pernah surut, tapi dia jalan terus dengan membuktikan hasilnya. Antara lain yang langsung dirasakan rakyat adalah perbaikan kampung, pembangunan gedung sekolah dan Puskesmas, juga subsidi rumah sakit swasta agar tersedia tempat bagi orang miskin.

"Apa semua itu saya dapatkan duitnya cukup dengan kentut? Apa cukup berdoa saja?" kata Ali tanpa bermaksud melucu. "Yang penting, uangnya bisa dipertanggungjawabkan dan kelihatan hasilnya."

Berkat kegigihan Ali, pada akhir masa jabatannya 1977, anggaran Pemda DKI sudah mencapai Rp90 miliar.

Berhenti menjadi gubernur, bukan berarti tidak peduli pada Jakarta. Bang Ali juga masih terus menyosialisasikan pemikiran-pemikiran tentang lokalisasi judi di depan anggota DPRD.

"Pemda sekarang juga butuh duit. Untuk pengendalian banjir butuh sekitar Rp23 triliun. Memangnya dari mana duitnya?" kata pria yang kemudian menjadi Penasihat Gubernur DKI yang resmi itu.

Semua orang tahu, ketika memimpin, Ali bukan sekadar menjadi gubernur, dia bahkan menjadi sosok ayah untuk warganya.

Dalam memoarnya, dia berkali-kali menyebut seluruh warga Jakarta sebagai sebuah keluarga besar. Pergaulannya luas bahkan mengayomi banyak kalangan seperti kepada olahragawan, seniman, pelajar, mahasiswa, sampai wartawan.

Ucapan-ucapannya hampirsetiap hari muncul di koran untuk mengomentari banyak hal.

Tak mau dicalonkan lagi

Begitu tergantungnya pada sang "ayah", warga Jakarta resah saat Ali harus pergi dua bulan mengantar istrinya berobat ke luar negeri. Tiba-tiba ibukota kacau. Listrik mati, PAM tidak nyala, banyak kebakaran, kriminalitas meningkat.

Mengomentari hal itu, Harian KAMI menulis, "Jakarta terbiasa segala persoalannya dibereskan satu orang, yaitu Ali Sadikin. Giliran ia pergi sebentar, semua kalang kabut."

Ketika rakyat meminta sang "ayah" meneruskan jabatannya untuk periode ketiga, Ali menolak. "Bagi saya masa jabatan pejabat negara itu cukup dua term," alasannya.

Dia menepis anggapan bahwa masa jabatannya tidak diperpanjang lantaran Golkar kalah di DKI pada Pemilu 1977. "Memang waktu itu saya pidato, intinya menyatakan bahwa 'saya ini bukan orang Golkar dan hanya bekerja untuk rakyat, bukan partai'. Saya ini pengabdi, bukan politikus," tegasnya.

Keterlibatannya dalam politik justru ditunjukkan kemudian dengan beroposisi terhadap pemerintahan Soeharto. Namun, tindakannya bersama puluhan politisi senior mendirikan Petisi 50 untuk mengkritik pemerintah berakibat pada hasil kerja susah payahnya.

Kebijakan-kebijakannya banyak yang dihapuskan penggantinya, Tjokropranolo. Suatu keadaan yang disebut Ali sebagai de-Ali Sadikin-isasi. Padahal semasa menjadi gubernur, presiden sama sekali tidak pernah mencampuri urusan Pemda DKI.

Meski begitu, Bang Ali tak pernah mempersoalkan hubungannya dengan Soeharto. Pada April 2005 dalam acara HUT Taman Mini Indonesia Indah, untuk kesekian kalinya dia bertemu bekas penguasa Orde Baru itu. Mereka duduk berdampingan, malah berpelukan.

"Soeharto itu mesti diadili, tapi kemudian kita maafkan. Kita bicarakan saja berapa uangnya yang mesti dikembalikan kepada negara," kata Ali tentang sikapnya sejak dulu.

Di usia senja, rasa geramnya justru masih disisakan kepada pengguna jalan di Jakarta yang semakin tidak tahu aturan lalu lintas. Semua orang merasa jadi pemilik jalan, sehingga bisa berbuat seenaknya.

"Kalau saya masih gubernur, tiap hari kerjanya menempeleng sopir terus," katanya dengan kening berkerut. Semua itu, menurut dia, harus dihadapi dengan kekerasan, yaitu hukum yang tegas.

Jakarta yang bulan ini berulang tahun memang menyisakan banyak persoalan. Sayangnya, tak semua gubernur seperti Bang Ali, yang meninggalkan "anak-anaknya" alias warga Jakarta untuk selama-lamanya pada 20 Mei 2008 di Singapura.

© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.