Sejarah Pasar Senen tak bisa dilepaskan dari sejarah Weltevreden. Semua berawal ketika orang-orang kaya VOC pindah ke area selatan.
Artikel ini tayang pertama di Majalah Intisari dengan judul "Waktu Senen Masih Disebut Vinckepasser" pada Juni 1985
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Segitiga Senen menjadi salah satu kawasan paling sibuk di Jakarta. Kawasan ini terletak di sekitar kawasan Mal Atrium Senen di Jalan Senen Raya. Jalan-jalan utama di kawasan ini meliputi Jl. Pasar Senen, Jl. Senen Raya, dan Jl Kramat Bunder.
Yang menarik adalah kenapa ia dinamai Pasar Senen? Benarkah karena dulu dibuka cuma hari Senin? Kan pendirinya orang Belanda? Atau seperti apa?
Dulu, kawasan yang sekarang masuk wilayah Senen termasuk bagian dari daerah yang bernama Weltevreden. Maka sejarahnya pun berkaitan erat dengan Weltevreden.
Di zaman dahulu bangsa Belanda kebanyakan tinggal di kota lama yang disebut Oud Batavia. Pusat kediaman mereka adalah kawasan yang disebut Kasteel, di dekat Pasar Ikan.
Karena keadaan lingkungan di dalam kota yang dikelilingi tembok ini pada waktu itu, akhir abad XVII, semakin tidak sehat, tempat kediaman itu diperluas ke arah selatan, sampai batas antara Buiten Nieuwpoortstraat (Pintu Besar Utara) dan Glodok, di mana di sepanjang Jalan Pinangsia mengalir anak Kali Ciliwung.
Di luar batas ini, di seberang kali, semula tak ada Belanda yang berani berdiam di sana. Akan tetapi kemudian pegawai-pegawai tinggi VOC, yang umumnya kaya-kaya, mulai membeli tanah di 'daerah selatan' itu.
Di sana mereka mendirikan villa dan membuka kebun untuk tempat peristirahatan. Zaman sekarang barangkali seperti orang Jakarta pergi beristirahat ke Puncak!
'Daerah selatan' ini adalah Weltevreden, Molenvliet West (Jl. Gajah Mada) dan Rijswijk (sekitar Harmoni). Weltevreden meliputi daerah yang di sebelah utaranya berbatas sampai Jalan Pos, di timur De Groote Zuiderweg (Jl. Gunung Sahari-Jl. Pasar Senen), di selatan Jalan Prapatan dan di barat dengan Kali Ciliwung.
Bagaimana mulai terbentuknya tanah Weltevreden ini, dapat dilihat dari catatan yang berasal dari tahun 1632. Di situ disebutkan bahwa dulu ada sebidang tanah yang disebut Paviljoensveld (Lapangan Paviljoen), di dekat Lapangan Banteng sekarang, di tepi kali, milik seorang yang bernama Anthonij Paviljoen.
Tanah ini sebagian berupa hutan lebat, sebagian lagi adalah tanah rawa, yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk persawahan.
Namun, agaknya tuan tanahnya lebih suka menyewakan saja tanah itu kepada orang-orang Cina, yang lalu menanaminya dengan sayuran dan tebu. Sedang untuk dirinya sendiri ia hanya menyisakan hak untuk beternak sapi.
Pemilik Paviljoensveld berikutnya adalah seorang anggota Dewan Hindia Cornelis Chastelein. Chastelein ini termasuk kaya, dia juga masih punya tanah lain di Srengseng.
Seperti tuan tanah sebelumnya, dia juga menyewakan tanahnya, tapi sebagian ada yang dijadikannya sawah. Dia menjemput budak belian dari Bali untuk mengerjakan sawahnya, karena dia tahu orang Bali terkenal ahli mengolah-sawah.
Menurut Heuken, dalam bukunya, Historical Sites of Jakarta, Chastelein memperoleh dua anak perempuan dari dua wanita Bali. Dua anak ini juga disebutkan sebagai pewaris tanahnya di Srengseng, kecuali daerah Depok Selatan yang disumbangkannya pada bekas-bekas budaknya yang menjadi penganut agama Kristen.
Dengan pembelian tanah-tanah baru di sekitarnya, tanah Weltevreden pun tambah luas, sampai ke Gunung Sahari. Chastelein lalu menyebut tanahnya itu "Weltevreden".
RSPAD Gatot Subroto tadinya rumah Daendels
Chastelein meninggal tahun 1714 dan Weltevreden pun jatuh ke tangan anaknya, Anthonij. Anthonij kawin dengan Anna de Haan. Ayah Anna ini di kemudian hari menjadi gubernur jenderal.
Anthonij tidak berumur panjang, dia mati muda. Anna lalu kawin lagi dengan seorang ahli hukum, Mr. Johan Francois de Witte van Schooten, yang sesudah kematian Anna berusaha keras untuk menjadikan dirinya sebagai ahli waris Anna.
Ketika tahun 1733 dia harus kembali ke Belanda, dia menjual Weltevreden pada Justinus Vinck.
Justinus ini ternyata punya bakat bisnis. Setelah mendapat izin, tahun 1735 dia mendirikan pasar di bagian timur Weltevreden, di dekat Groote Zuiderweg. Di atas tanahnya yang lain, di Tanah Abang, dia kemudian juga membuka pasar.
Dari kedua pasarnya itu dia hanya tinggal memungut cukainya saja.
Untuk memperlancar arus jual-beli, dua tahun kemudian Vinck membuka jalan dan jembatan yang menghubungkan kedua pasarnya. Yakni melewati Kampung Lima, Jembatan Prapatan, sampai Simpang Senen-Kramat. Inilah jalan pertama yang menghubungkan timur dan barat Jakarta.
Sebelum meninggal, Vinck menjual Weltevreden pada Jacob Mossel pada 1749. Sejak di tangan Mossel barulah Pasar Senen berkembang dan mempunyai arti bagi daerah Weltevreden.
Mossel yang kemudian menjadi gubernur jenderal (1750-1761) menggali sebuah kanal, Kali Lio, dari Grote Rivier (Kali Ciliwung) menuju ke kanal yang mengalir sepanjang Gunung Sahari. Dengan demikian, dengan perahu jalan masuk ke pasar menjadi lebih mudah. Juga untuk menghubungkan villa yang mewah yang dibangunnya di tepi tikungan Kali Ciliwung.
Villa Mossel ini dibangun dengan gaya Barok. Tamannya luas sekali, pintu gerbangnya saja terletak di (sekarang) Jalan Senen Raya. Terdiri atas dua tingkat, di belakang villa ada kolam renang dan kolam ikan.
Kompleks villa dan tamannya ini dikelilingi parit, hingga bentuknya mirip sebuah pulau kecil.
Sejak Mossel menjadi pemiliknya, rupanya lalu menjadi kebiasaan bahwa tanah Weltevreden itu dianggap sebagai milik pribadi baru gubernur jenderal selanjutnya. Sebab tiap kali seorang gubernur jenderal meletakkan jabatan, tanah dijual kepada penggantinya.
Pemilik terakhir yang tinggal di villa Weltevreden adalah Daendels, yang menyuruh membongkarnya sebelum dia sendiri pindah ke Buitenzorg (Bogor). Bekas di mana villa itu dulu, kini berdiri RSPAD Gatot Subroto.
Hujan abu disangka kiamat
Pasar Senen tadinya bernama Vinckepasser (Pasar Vinck). Tapi karena hari pasarnya mula-mula hanya hari Senin, orang pun lalu menyebutnya Pasar Senen. Tahun 1751 Mossel menetapkan hari pasar adalah hari Senin dan Jumat.
Berkat kemajuan dan ramainya pasar, baru sejak 1766 pasar ini buka pada hari-hari lainnya. Ini juga disebabkan oleh tindakan Daendels yang membangun kompleks militer di sekitar Pasar Senen. Dia mendirikan perumahan opsir di sepanjang jalan Kenanga, Kwini, Secang, Menjangan, sampai Lapangan Waterloo (Lapangan Banteng).
Barang-barang yang diperdagangkan di Pasar Senen pun tidak lagi hanya sayuran, tetapi juga bahkan keperluan sehari-hari.
Dalam Javaanse Courant terbitan 22 September 1849 ditetapkan hari pasar adalah hari Minggu dan Selasa; rupanya ini suatu kekeliruan.
Mulanya Pasar Senen ini hanya terdiri atas gubuk-gubuk. Sampai tahun 1815, di sana masih terdapat rumah gedek, walaupun sudah ada rumah petak dari kayu. Tapi belum ada satu pun rumah tembok.
Menurut catatan, tanggal 9 Juli 1826 sebagian besar Pasar Senen pernah terbakar. Ada kemungkinan sesudah terjadinya kebakaran inilah baru mulai dibangun rumah-rumah dari batu. Setelah menjadi Proyek Senen pun pasar ini pernah terbakar, yaitu pada waktu ada kerusuhan Malari 1974.
Pada1883 pernah ada kejadian yang menghebohkan yang menimpa Pasar Senen. Hari itu, Jumat pagi, kira-kira pukul 09.00, matahari bersinar cerah dan suasana pasar sedang ramai.
Tiba-tiba turun hujan abu. Orang-orang pun jadi panik, karena mendadak saja hari jadi gelap. Orang tidak bisa melihat apa-apa. Di mana-mana terdengar suara tangisan, karena mengira hari mau kiamat! Ternyata akibat letusan Gunung Krakatau!
Hujan abu seperti itu terjadi lagi tahun 1912 dan 1918. Tapi kejadian ini tidak lagi menimbulkan rasa takut di kalangan penduduk.
Sejak 1770, yang dinamakan Pasar Senen itu meliputi pasar yang terletak di kiri-kanan Grote Zuiderweg (Jalan Pasar Senen). Jadi sebagian ada yang di luar batas tanah Weltevreden.
Suasana pada masa itu masih seperti pedesaan, masih banyak pohon-pohon. Jalan Pasar Senen juga dulunya satu-satunya jalan yang menghubungkan Batavia dengan Meester Cornelis (Jatinegara).
Di sebelah timur pasar terdapat perumahan orang Tionghoa. Di belakang perumahan ini mengalir de Slokkan (Kali Baru). Selokan ini dulu dibuat oleh Gubernur Jenderal G.G. Van Imhoff (1743-1750), yang mengalir dari Salemba dan Kramat, lalu membelok ke Bungur, untuk memudahkan pengangkutan kayu dari 'pedalaman' ke kota Batavia.
Dari arah Gunung Sahari sebelum sampai simpang Jalan Kenanga, di sebelah kiri jalan ada Gedung Pertunjukan Wayang Orang Panca Murti. Dulunya gedung ini bekas gudang beras.
Tahun 1911 berubah fungsinya menjadi Bioskop West Java, yang memutar film-film bisu. Kemudian tahun 1920 namanya berganti menjadi Rialto dan masih tetap memutar film bisu. Terakhir fungsinya berganti menjadi gedung sandiwara wayang orang, sampai sekarang. Hanya namanya sekarang Bharata.
Dulu di Senen juga ada jalan yang disebut Jalan Jagal. Tapi bukan berarti karena di situ ada tempat penjagalan, melainkan hanya tempat penampungan hewan-hewan yang akan dipotong. Sedang tempat potongnya sendiri terletak di timur Gang Warung Panjang (Jl. Senen Raya IV), di tepi kali Kali Lio.
Tempat penjagalannya berupa sebuah panggung yang bawahnya dibuat semacam kandang. Hewan sapi atau kerbau yang hendak dipotong dimasukkan ke kandang, lalu ditombak dari atas panggung. Kepalanya dipukul dengan keras sampai mati.
Burung perkutut pembawa bahagia
Di belakang pasar, di barat Pasar Senen, dulu juga pemukiman orang-orang Tionghoa. Seperti pasarnya, rumah mereka pun pada mulanya masih rumah gedek. Yang menarik waktu itu adalah bahwa hampir di depan setiap rumah dipasang galah yang tinggi untuk menggantungkan kurungan burung perkutut. Sebab katanya, "membawa kebahagiaan" bagi yang memelihara.
Jalan Kenanga dulunya adalah sebuah gang yang merupakan jalan pribadi masuk ke villa Weltevreden, dari Jalan Gunung Sahari, yang pintu gerbangnya persis di seberang mulut gang (Jalan Senen Raya).
Kurang jelas kapan mulai adanya Jalan Senen Raya, yang menghubungkan mulut Jalan Kenanga dengan Simpang Prapatan-Kramat. Yang pasti daerah di dalam batas itu lalu berbentuk segitiga, belakangan disebut Segitiga Senen.
Di Taman Kwitang, depan Gunung Agung, Prapatan, dulu mengalir sebuah kali yang cukup lebar dan air lumayan bersih. Kali ini disebut Kali Baterai, menjurus dari Kali Ciliwung di barat terus ke timur, ke Kali Baru sampai Galur dan bergabung dengan Selokan Bungur.
Setiap sore Kali Baterai di depan Proyek Senen ramai dengan orang yang mandi dan mencuci.
Di Jalan Kenanga, persis di depan Firma Lauw Tjin, dulu ada sebuah gereja. Tidak besar, hanya 23 X 8 meter luasnya. Ada kemungkinan gereja ini didirikan oleh Chastelein. Gubernur Jenderal Van den Bosch menikah di gereja ini pada tahun 1804.
Sampai tahun 1829 gereja ini dipakai sebagai gereja Katolik Roma kotapraja, sebelum pentahbisan gereja baru di sudut Waterlooplein (Gereja Katedral). Tentang dirobohkannya gereja ini, ada diberitakan dalam Javaanse Courant tanggal 4 Februari 1830.
Tak dapat disangkal bahwa orang-orang Tionghoa dulu punya andil dalam mengembangkan Weltevreden, khususnya daerah Senen.
Mereka ini bekerja sebagai saudagar, petani, pengusaha kebun, tukang kayu, tukang besi, bahkan pembuat arak. Merekalah yang mula-mula merambah hutan dan rawa untuk dijadikan kebun-kebun yang subur.
Salah seorang Tionghoa yang berhasil "mengabadikan" namanya dalam sejarah Pasar Senen (meskipun kurang jelas apa jasanya) adalah Letnan Tang Wang Seng. Di Segitiga Senen ada gang yang dikenal bernama Gang Wangseng (kini Jalan Senen Raya I), yang menghubungkan Pasar Senen dengan Jalan Senen Raya.