Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Fajar merekah di ufuk timur, menyapa gugusan pulau-pulau Maluku yang elok. Namun, di balik keindahan alamnya, tersimpan bara api pergolakan yang membara.
Mimpi itu bersemi di benak Christiaan Robert Steven Soumokil, seorang tokoh Maluku yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung Negara Indonesia Timur.
Ia, bersama segelintir pengikutnya, menolak integrasi Maluku ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Soumokil mendambakan sebuah negara merdeka yang berdaulat, berdiri tegak di atas tanah Maluku yang ia cintai.
Luka Lama dan Kekecewaan yang Mendalam
Untuk memahami dahaga akan kemerdekaan yang membuncah di hati Soumokil dan para pendukungnya, kita perlu menengok ke belakang, menelusuri lorong-lorong sejarah yang membentuk identitas Maluku.
Sejak berabad-abad silam, Maluku telah menjadi incaran bangsa-bangsa asing.
Rempah-rempahnya yang harum, bagai magnet yang menarik Portugis, Spanyol, hingga Belanda untuk datang dan menancapkan kuku kolonialisme.
Di bawah kekuasaan Belanda, Maluku dipisahkan dari wilayah Indonesia lainnya dan dikelola sebagai daerah otonom.
Hal ini menumbuhkan benih-benih identitas kedaerahan yang kuat di kalangan masyarakat Maluku.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, Maluku awalnya menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT).
Namun, Soumokil dan sebagian masyarakat Maluku merasa tidak puas dengan bentuk negara federal yang dianut Indonesia saat itu.
Mereka khawatir bahwa Maluku akan kehilangan otonomi dan identitasnya jika bergabung dengan NKRI.
Kekecewaan semakin memuncak ketika pada tahun 1950, NIT memutuskan untuk bergabung dengan NKRI.
Soumokil melihat hal ini sebagai pengkhianatan terhadap aspirasi rakyat Maluku.
Baginya, integrasi dengan NKRI adalah bentuk penjajahan baru yang akan merampas hak-hak dan kebebasan masyarakat Maluku.
Proklamasi RMS: Sebuah Mimpi yang Terlahir di Tengah Kegamangan
Didorong oleh keyakinan akan hak menentukan nasib sendiri, Soumokil dan para pengikutnya memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan pada tanggal 25 April 1950.
Bendera RMS, dengan warna biru, putih, hijau, dan merah, berkibar gagah di langit Ambon, menandai lahirnya sebuah entitas politik baru di timur Nusantara.
Proklamasi RMS disambut dengan suka cita oleh sebagian masyarakat Maluku, terutama mereka yang menginginkan otonomi yang lebih luas.
Namun, di sisi lain, proklamasi ini juga memicu pertentangan dan konflik.
Pemerintah Indonesia tidak mengakui keberadaan RMS dan menganggapnya sebagai gerakan separatis yang mengancam keutuhan NKRI.
Konflik dan Perjuangan, Ketika Mimpi Bertemu Realitas
Pemerintah Indonesia berusaha menyelesaikan masalah RMS dengan cara damai. Namun, upaya negosiasi dan diplomasi gagal membuahkan hasil.
Soumokil dan para pengikutnya tetap teguh pada pendirian mereka, menolak untuk melebur dalam NKRI.
Akhirnya, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengambil tindakan militer.
Pasukan TNI diterjunkan ke Maluku untuk menumpas gerakan RMS. Pertempuran sengit pun tak terelakkan.
Pulau-pulau Maluku menjadi saksi bisu pertumpahan darah antara saudara sebangsa.
Setelah bertahun-tahun berjuang, gerakan RMS akhirnya berhasil dipadamkan. Soumokil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1966.
Mimpi tentang Republik Maluku Selatan pun kandas, tenggelam dalam pusaran sejarah.
Tujuan RMS
Gerakan RMS merupakan sebuah fenomena kompleks yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, mulai dari sejarah, politik, hingga identitas.
Namun, di balik kompleksitas tersebut, terdapat tujuan utama yang ingin dicapai oleh Soumokil dan para pengikutnya, yaitu:
Kemerdekaan dan Kedaulatan:
Soumokil menginginkan Maluku menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, lepas dari kendali pemerintah Indonesia.
Ia berpendapat bahwa Maluku memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB.
Soumokil percaya bahwa dengan menjadi negara merdeka, Maluku akan lebih mudah mencapai kemajuan dan kesejahteraan.
Ia bercita-cita membangun Maluku menjadi negara yang modern dan makmur, sejajar dengan negara-negara lain di dunia.
Pelestarian Identitas dan Budaya:
Soumokil khawatir bahwa integrasi dengan NKRI akan mengancam identitas dan budaya Maluku.
Ia ingin menjaga keunikan dan kekhasan Maluku, yang telah terbentuk selama berabad-abad.
Soumokil berpendapat bahwa Maluku memiliki budaya dan tradisi yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia.
Ia ingin melestarikan warisan leluhur tersebut agar tidak hilang ditelan arus globalisasi.
Keadilan dan Kesejahteraan:
Soumokil merasa bahwa pemerintah Indonesia tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap Maluku.
Ia menilai bahwa Maluku seringkali diabaikan dan tertinggal dalam pembangunan.
Soumokil ingin agar masyarakat Maluku mendapatkan keadilan dan kesejahteraan yang layak.
Ia berjanji akan membangun Maluku menjadi daerah yang maju dan sejahtera jika RMS berhasil merdeka.
Memahami Sejarah, Merajut Masa Depan
Gerakan RMS merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Meskipun telah berlalu lebih dari setengah abad, peristiwa ini masih menyisakan banyak pertanyaan dan perdebatan.
Ada yang menganggap RMS sebagai gerakan separatis yang mengancam keutuhan NKRI.
Namun, ada pula yang melihatnya sebagai perjuangan untuk mencapai keadilan dan otonomi.
Terlepas dari berbagai pandangan dan interpretasi, gerakan RMS mengajarkan kita tentang pentingnya dialog, toleransi, dan penghargaan terhadap keberagaman.
Sejarah telah menunjukkan bahwa kekerasan dan pertentangan hanya akan melahirkan luka dan penderitaan.
Kini, saatnya kita menatap masa depan dengan optimisme.
Mari kita rajut persatuan dan kesatuan bangsa, membangun Indonesia yang adil, makmur, dan bermartabat.
Semoga mimpi tentang Maluku yang sejahtera, yang dulu diperjuangkan oleh Soumokil dan para pengikutnya, dapat terwujud dalam bingkai NKRI.
---