TIMESINDONESIA, MALANG – Tidak bisa dipungkiri, sampai dengan hari ini label sekolah favorit masih tersemat pada beberapa sekolah di hampir semua daerah. Padahal sejatinya, label ini adalah tanda perbedaan kualitas pendidikan yang diterima oleh anak bangsa. Kita bisa bicara perihal fasilitas, lokasi, latar belakang siswa, hingga indikasi perbedaan perhatian Pemerintah terhadap sekolah tersebut. Namun yang paling berpengaruh adalah SDM guru yang ada di dalamnya.
Kita mungkin menjadi bagian nyata yang pernah berebut bangku dalam sebuah instansi pendidikan. Mungkin juga hal demikian masih berlangsung pada sanak saudara pembaca sekalian. Seragam sekolah favorit seperti menjadi jaminan untuk masuk ke lembaga pendidikan berikutnya yang dianggap baik. Sejak awal, generasi kita sudah dicekoki bahwa hidup adalah kompetisi di lahan yang sempit.
Semasa penulis sekolah, kami sering membayangkan jika guru pada semua sekolah unggulan disebar di seluruh sekolah yang ada. Kami berharap agar kompetensi itu bisa ditularkan secara merata ke semua tempat. Hal ini bukan semata-mata soal kualitas pendidikan melainkan juga mengubah cara pandang masyarakat. Tidak ada lagi anggapan bahwa jebolan sekolah umum biasa tidak akan lebih sukses dari alumni sekolah favorit.
Sekarang kita memahami bahwa setiap guru bukanlah influencer bagi guru yang lain. Mereka adalah influencer bagi setiap siswa saja. Karena, semua guru memiliki tanggung jawab menjadi guru favorit dan menjadikan sekolahnya sebagai sekolah favorit. Maka dalam kewajiban ini yang paling utama dalam transformasi pengetahuan adalah pelayanan dalam peningkatan kapasitas guru. Singkatnya, guru harus tampak sebagai sosok yang paling pintar di bangsa ini.
Disamping itu label favorit tidak mungkin muncul karena satu faktor yang berdiri sendiri. Misalnya ada sekolah yang hanya unggul di fasilitas saja, atau ada sekolah yang hanya beberapa gurunya yang pandai dalam mengajar dan memahami siswa. Kepincangan tersebut tidak akan mampu mewadahi kepentingan siswa jika tidak tergabung dalam satu tempat yang sama. Maka satu-satunya yang dapat memberikan dampak secara holistik adalah perhatian Pemerintah.
Kita baru saja memasuki babak baru dunia pendidikan. Pemerintah kini membagi nomenklatur lembaga negara bidang pendidikan menjadi 2 bagian yang juga terpisah dengan kebudayaan. Meski, sampai dengan saat ini belum begitu kentara bagaimana rekayasa teknis yang diupayakan. Kita masih dalam pertanyaan apakah akan sama atau justru jauh berbeda dari model yang diterapkan sebelumnya?
Penulis memahami bahwa perampingan fungsi kerja Kementerian Pendidikan adalah upaya untuk mengkonsentrasikan kerja menteri. Sehingga evaluasi dan proyeksi agaknya lebih bisa dicetuskan dengan cepat. Maka semestinya inovasi yang digiatkan hari ini harus mampu menjawab kebutuhan dunia pendidikan seterusnya. Setiap guru harus bisa dibentuk untuk menciptakan sekolah favorit bagi semua orang.
Sejauh ini yang dapat dipastikan, berdasarkan siaran pers yang dimuat di berbagai media, substansi pendidikan pada Kemdikdasmen akan tetap berada pada spirit yang sama. Misalnya, peningkatan kapasitas guru diagendakan terealisasi dalam Pelatihan Deep Learning. Pelatihan ini diharapkan menghasilkan metode pembelajaran yang lebih relevan dengan peserta didik. Fokus penguasaan guru juga ditekankan pada pemahaman numerasi, sains, dan teknologi.
Ini menjadi menarik karena guru program studi juga diharuskan memiliki pengetahuan konseling. Mengingat, belakangan banyak sekali kasus perundungan, atau bahkan pembangkangan terhadap guru yang berujung kasus hukum. Artinya kebijakan ini menjadi lalu lintas antara moral dan pengetahuan. Meskipun sekali lagi kita belum mampu membaca kendala apa yang akan dihadapi kedepannya.
Di sisi lain penulis meyakini bahwa angin segar berupa rencana kenaikan gaji guru mulai 2025 menjadi sorotan banyak mata. Kita pasti bersepakat kalau guru memang perlu tanda jasa yang layak. Bagian ini yang Penulis rasa selalu disemogakan oleh semua orang. Hal itu karena kesejahteraan berkaitan erat dengan motivasi dan inovasi kerja.
Di masa yang akan datang, guru bukan hanya profesi melainkan juga perlambangan eksistensi moral dan pengetahuan. Kinerjanya tidak boleh diukur sebatas angka di atas raport siswa. Output pembelajaran harus bisa terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya, inilah harapan yang masih bisa kita cita-citakan pada perencanaan pendidikan era ini.
***
*) Oleh : Galan Rezki Waskita, Pegiat Media NTB dan Alumni HMI Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.