TRIBUNJATENG.COM, MALAKASA - Seperti orang-orang lain di desa kecil di Provinsi Punjab, Pakistan, Hassan Ali (23) mempunyai mimpi sangat tinggi untuk bisa ke Eropa.
Hassan bahkan rela meninggalkan istri dan dua putranya yang masih balita di dekat kota industri besar, Gujrat.
Semua demi meraih kehidupan lebih baik dengan merantau ke Benua Biru.
Namun, perjalanannya jauh dari yang diharapkan.
Hassan yang sudah mengumpulkan uang ratusan juta rupiah untuk berangkat, justru ditipu dan nyaris tenggelam di Laut Mediterrania.
Hassan adalah orang pertama yang ditarik ke atas kapal pada Sabtu (14/12/2024) dini hari di dekat Pulau Kreta, Yunani.
Selanjutnya semakin banyak orang yang diselamatkan dalam misi yang melibatkan sembilan kapal, termasuk penjaga pantai Yunani, serta kapal Angkatan laut dan helikopter.
Dari kamp pengungsian Malakasa di dekat Athena, Hassan menceritakan kisahnya kepada Al Jazeera melalui sambungan telepon.
Modal Rp 116 juta, penghasilan Rp 2,4 juta per bulan
Perjalanan Hassan dimulai sekitar 3,5 bulan sebelumnya.
Anak ketiga dari lima bersaudara ini bekerja di lokasi konstruksi sebagai tukang baja dengan penghasilan 42.000 rupee (Rp 2,4 juta) per bulan, itu pun kalau bekerja 10-12 jam sehari, tujuh hari seminggu.
Namun, dia tak peduli seberapa keras atau lama pekerjaannya, asalkan penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan di tengah biaya hidup yang terus naik.
“Tagihan listrik saya antara 15.000 (Rp 872.000) sampai 18.000 rupee (Rp 1 juta) (per bulan),” jelasnya. “Dan uang makan hampir sama untuk keluarga saya, termasuk orangtua dan dua adik saya.”
Hassan sering kali harus mengambil pinjaman kecil di akhir bulan untuk memenuhi kebutuhan. Ia pun selalu khawatir kalau terjadi keadaan darurat, seperti sakit yang dialami keluarganya.
“Di Pakistan, mustahil hidup layak dengan penghasilan seperti itu,” katanya.
Situasi ini mendorongnya untuk berbuat nekat, yaitu merantau ke Eropa.
Hassan awalnya berdiskusi dengan istri, ibu, dan kakak laki-lakinya tentang keinginan mengikuti orang lain di desa mereka dengan bekerja di Eropa.
Keluarganya setuju dan menjual sebidang tanah kecil, beserta perhiasan ibu Hassan, untuk membantu mendanai perjalanan tersebut.
Mereka mengumpulkan hampir dua juta rupee (Rp 116,2 juta) untuk membayar agen yang menjanjikan perjalanan aman ke Eropa.
Keluarga Hassan juga pernah mendengar orang-orang yang pergi, tetapi gagal. Namun, ada pula cerita orang-orang yang tiba dengan selamat di Italia hanya beberapa hari setelah berangkat dari Pakistan.
Perasaan Hassan pun campur aduk, antara takut dan gembira.
Dimasukkan ke gudang, dipukuli
Beberapa minggu kemudian, ia mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya dan menaiki pesawat dari Sialkot ke Arab Saudi.
Ia dua hari menginap di Arab lalu terbang ke Dubai, Mesir dan, terakhir menuju Benghazi di Libya.
Di Libya, Hassan diberitahu akan ditempatkan di atas kapal yang membawanya ke Italia, tetapi nyatanya justru dimasukkan ke gudang berukuran 6x6 meter dengan lebih dari 100 orang di dalamnya.
Sebagian besar pria-pria tersebut berasal dari Pakistan. Banyak yang sudah di sana berbulan-bulan.
Para penyelundup merampas ponsel, paspor, dan ransel Hassan dengan beberapa potong pakaian di dalamnya, serta uang 50.000 rupee (Rp 2,9 juta) yang dibawanya.
Hassan mengatakan, para penjaga dari Libya dan Sudan mengawasi mereka setiap saat dan memperingatkan agar jangan membuat keributan.
“Kami mendapat sepotong roti setiap hari,” ungkapnya, seraya menambahkan, “Para penjaga mengizinkan kami satu kali ke kamar mandi selama lima menit sehari.”
Ia menjelaskan, siapa pun yang mengeluh tentang kurangnya makanan atau meminta ke toilet atau kamar mandi dipukuli dengan batang baja dan pipa PVC.
“Yang bisa kami lakukan hanya saling memandang atau berbisik-bisik sebentar. Siapa pun yang membuat sedikit keributan, akan dipukuli penjaga dengan kejam,” ungkapnya.
Mereka juga terkadang meminta dipulangkan, tetapi malah ditanggapi dengan kekerasan.
Tak jadi ke Italia, dibawa ke Yunani
Kemudian pada awal Desember 2024, para penjaga memberitahu pria-pria itu bahwa cuaca buruk sehingga tidak jadi ke Italia, dan sebagai gantinya menuju Yunani.
Mereka diberi waktu 30 menit untuk bersiap keluar gudang. Ponsel dan paspor mereka dikembalikan.
Hassan yang baru kali ini melaut merasa takut. “Saya memohon dipulangkan ke Pakistan, tetapi mereka jawab, ‘Tidak bisa pulang. Lanjutkan atau mati’,” katanya.
Lebih dari 80 orang dijejalkan ke perahu kayu reyot yang sebenarnya berkapasitas tidak lebih dari 40 penumpang, jelas Hassan.
Lautnya berbahaya. Hassan menggambarkan angin badai dan ombak besar membuat orang-orang basah kuyup dan ketakutan.
“Mesinnya rusak dan semua orang mulai berdoa,” sambunya, seraya menambahkan bahwa mereka merasa bakal mati.
Kemudian, setelah 40 jam di laut, perahu itu terbalik dan Hassan beserta yang lainnya tercebur ke Laut Mediterrania yang dingin. Ia langsung teringat senyum kedua anaknya, pelukan mereka, dan harapannya untuk masa depan mereka.
Kemudian ia teringat orang-orang lain dari desanya kecilnya, yang bermimpi pergi ke Eropa.
Sebanyak tiga perahu penuh migran itu terbalik antara 14 atau 15 Desember 2024, di dekat Pulau Gavdos, jauh di selatan Kreta. Perahu lainnya terbalik dekat semenanjung Peloponnesos.
Oleh karena tak bisa berenang, Hassan merasa akan tenggelam.
“Saat saya jatuh ke air, saya menahan napas,” kenangnya, mengingat bagaimana ia berusaha tetap tenang.
Kemudian, ia merasakan tali—yang dilempar dari kapal Angkatan Laut. "Saya memegangnya dengan sekuat tenaga," katanya.
“Saat saya naik ke permukaan, secara ajaib saya bisa meraih tali yang dilemparkan oleh kapal untuk menyelamatkan kami.”
Saat ditarik ke geladak, Hassan mengaku pingsan. Ia percaya keselamatan dirinya adalah keajaiban.
Pihak berwenang Yunani mengonfirmasi sedikitnya lima orang tewas dan lebih dari 200 orang selamat.
Sebanyak empat operasi penyelamatan berbeda dilakukan penjaga pantai selama akhir pekan, tetapi jumlah orang yang hilang belum diketahui.
Kementerian Luar Negeri Pakistan mengonfirmasi bahwa jenazah lima warga negaranya sudah ditemukan, sedangkan sedikitnya 47 warga Pakistan diselamatkan.
Kedutaan Besar Pakistan di Athena mengatakan, sedikitnya 35 warga negara Pakistan masih hilang.
Bukan insiden jarang
Sayangnya, pengalaman Hassan sudah beberapa kali menimpa orang lain sebelumnya.
Gujrat, bersama kota-kota tetangga di Pakistan seperti Sialkot, Jhelum, dan Mandi Bahauddin, adalah pusatnya orang-orang yang ingin Eropa. Dengan semakin tertutupnya jalur darat, kini banyak orang beralih ke jalur laut yang berbahaya melalui Libya.
Menurut data badan PBB untuk pengungsi (UNHCR), lebih dari 190.000 migran dan pengungsi tiba di Eropa tahun ini, 94 persennya—lebih dari 180.000—menempuh jalur laut yang berbahaya.
Angka UNHCR juga menunjukkan, tahun ini hampir 3.000 warga Pakistan tiba di pantai Eropa, sebagian besar di Italia dan Yunani. Dibandingkan tahun lalu yang mencapai lebih dari 8.000, terjadi penurunan setidaknya 62 persen.
Salah satu kecelakaan kapal paling mematikan di Mediterania adalah insiden terbaliknya Adriana, kapal pukat nelayan tua, di dekat Pulau Pylos, Yunani, pada Juni 2023. Lebih dari 700 orang, termasuk hampir 300 warga Pakistan, tewas.
Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), 2023 merupakan tahun paling mematikan di Mediterania sejak 2016. Lebih dari 3.100 orang tewas tenggelam.
Sekarang Hassan berada di kamp Malakasa bersama para penyintas, termasuk beberapa orang yang selamat dari bencana Adriana.
Dia sangat berharap dapat bekerja di kamp tersebut untuk mengirim uang ke keluarganya, yang dia ajak bicara sekali sehari ketika bisa meminjam telepon.
Hassan lalu berpesan untuk siapa pun yang ingin melakukan perantauan seperti dirinya.
"Setelah apa yang kami alami, saya mohon kalian jangan pernah mengambil jalan ini," katanya. "Tidak sepadan dengan risikonya." (*)