Wakil Ketua Badan Anggaran DPR sekaligus anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra, Wihadi Wiyanto, menegaskan pemerintah tidak bisa secara sepihak menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah diatur dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Hal ini disampaikan Wihadi Wiyanto merespons pernyataan Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi PDIP, Dolfie Othniel Frederic Palit, yang menyebut pemerintah dapat mengusulkan penurunan tarif PPN.
Menurut Wihadi, Dolfie sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) UU HPP tampaknya tidak membaca pasalpasal terkait secara menyeluruh.
Dia menilai, Dolfie hanya memperhatikan Pasal 7 Ayat (3) tetapi mengabaikan Pasal 7 Ayat (4) yang memberikan batasan terhadap perubahan tarif PPN.
"Sebagai Ketua Panja dia tidak memahami UU ini, terlihat bahwa pada saat membaca Pasal 7 ayat (3) tetapi tidak membacanya di ayat (4) secara tuntas," kata Wihadi dalam keterangannya pada Minggu (22/12/2024).
Wihadi menjelaskan, berdasarkan Pasal 7 Ayat (4) UU HPP, perubahan tarif PPN dalam rentang 5 hingga 15 persen hanya dapat dilakukan melalui Peraturan Pemerintah (PP) dengan persetujuan DPR dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
Oleh karena itu, dia menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk menurunkan tarif PPN tanpa melalui mekanisme yang diatur.
"Di ayat (4)nya kalau kita baca itu adalah Peraturan Pemerintah yang bisa dibuat oleh pemerintah dengan persetujuan DPR adalah untuk menentukan asumsi penerimaan dari pajaknya dengan rentang 515 persen, makanya di sini dikatakan bahwa PP itu bisa disetujui DPR dan pemerintah untuk pembuatan rancangan APBN bukan langsung dipotongkan begitu saja," tegas Wihadi.
Wihadi juga mengingatkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun 2025 telah disepakati oleh pemerintah dan DPR periode 20192029, sehingga ruang untuk perubahan tarif PPN sudah tidak memungkinkan pada tahap ini.
Wihadi menganggap pernyataan Dolfie sebagai kebohongan publik. Dolfie dianggap sengaja memprovokasi masyarakat agar berpikir bahwa pemerintah tidak berpihak kepada rakyat, meskipun UU HPP merupakan produk hukum yang diinisiasi Fraksi PDIP.
"Jadi, ini bentuk provokator dari pada kondisi saat ini sehingga masyarakat bergerak menuntut pembatalan PPN ini," tegasnya.
Sebelumnya, Dolfie meluruskan tudingan Partai Gerindra yang menyebut partainya menginisiasi kenaikan PPN menjadi 12 persen melalui UU HPP pada tahun 2021.
Dolfie menjelaskan bahwa UU HPP adalah inisiatif Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang diajukan ke DPR pada 5 Mei 2021.
"UU HPP merupakan UU inisiatif Pemerintahan Jokowi yang disampaikan ke DPR tanggal 5 Mei 2021," kata Dolfie, saat dikonfirmasi pada Minggu (22/12/2024).
Dia menegaskan, delapan fraksi di DPR, termasuk Partai Gerindra, menyetujui pengesahan UU HPP pada 7 Oktober 2021. Adapun satusatunya fraksi yang menolak adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Dolfie menjelaskan, UU HPP berbentuk omnibus law yang mengubah ketentuan pada sejumlah undangundang, termasuk UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU PPN, dan UU Cukai.
Selain itu, UU HPP juga mengatur Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak dan Pajak Karbon.
Salah satu poin penting UU HPP adalah ketentuan bahwa tarif PPN mulai 2025 akan menjadi 12 persen, meningkat dari tarif saat ini yang sebesar 11 persen.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi PDIP, Dolfie Othniel Frederic Palit (Istimewa/Tribun Solo)Namun, Dolfie menegaskan, pemerintah diberi ruang untuk menyesuaikan tarif tersebut dalam rentang 515 persen berdasarkan kondisi perekonomian nasional sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (3).
"Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa kenaikan atau penurunan tarif PPN sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN (naik atau turun)," jelasnya.
Dolfie mengingatkan bahwa pemerintahan yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto nantinya dapat memilih untuk mempertahankan tarif PPN 12 persen atau melakukan penyesuaian.
Namun, dia menekankan bahwa kebijakan perpajakan tersebut harus mempertimbangkan kinerja ekonomi nasional, pertumbuhan yang berkualitas, peningkatan penghasilan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, serta efektivitas belanja negara.