TRIBUNJATIM.COM - Seorang pekerja migran atau TKW koma 9 hari usai operasi bisul.
Mirisnya saat sadar, ia kaget tangan dan kakinya menghitam.
Kondisi ini dialami oleh Septia Kurnia Rini.
Septia merupakan TKW yang badannya lumpuh setelah operasi di Singapura.
Kondisi Septia Kurnia Rini ini membuat masyarakat yang tinggal di sekitar rumahnya ingin melihat.
Suasana rumah sederhana di Komplek Taman Gading, Jember, pun ramai didatangi para tamu yang ingin melihat langsung kondisi Septia Kurnia Rini.
Septia Kurnia Rini sendiri kini hanya bisa terbaring lemah di atas ranjang.
Dirinya dikunjungi oleh Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, beserta rombongan pada Jumat (20/12/2024).
Septia adalah salah satu dari jutaan pekerja migran Indonesia (PMI) yang mengadu nasib di luar negeri.
Namun, berbeda dari mereka yang sukses meraih kehidupan lebih baik, nasib Septia berakhir tragis.
Kini, ia menderita kelumpuhan, dengan tangan dan kaki yang menghitam serta sulit digerakkan.
Penyebab pasti dari kondisi ini masih menjadi misteri, meskipun dugaan malapraktik saat operasi di Singapura terus menghantuinya.
Septia memulai perjalanan sebagai pekerja migran pada 2021.
Ia meninggalkan tanah kelahirannya di Jember demi menghidupi kedua anaknya yang masih kecil.
Dalam keterbatasan ekonomi, bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Singapura dianggapnya sebagai jalan keluar.
“Awalnya saya dikontrak dua tahun. Setelah itu, saya memperpanjang kontrak untuk tahun ketiga,” kisah Septia saat ditemui di rumahnya, dikutip dari TribunnewsMaker.
Namun, hidupnya mulai berubah ketika ia merasakan ada bisul di bagian paha.
Berbeda dari bisul biasa, bisul ini berwarna merah tanpa mata dan terasa sangat nyeri.
Setelah empat hari menahan rasa sakit, Septia akhirnya mengadu kepada majikannya dan meminta obat pereda nyeri.
Sayangnya, bisul tersebut tak kunjung sembuh.
Majikannya kemudian menyarankan Septia untuk memeriksakan diri ke rumah sakit di Singapura.
Setelah menjalani pemeriksaan, Septia harus menjalani operasi untuk mengatasi bisul tersebut.
Namun, apa yang terjadi setelah operasi sungguh mengejutkan.
Septia mengalami koma selama sembilan hari.
Ketika akhirnya ia sadar, tangan dan kakinya berubah menjadi hitam pekat, kaku, dan terikat dengan kain.
"Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja kondisi saya seperti ini,” ujar Septia dengan nada lirih.
Selama dirawat di rumah sakit, Septia merasa sangat kesepian.
Tidak ada seorang pun dari pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang datang untuk menjenguk atau memberikan pendampingan.
Dalam kondisi lemah, jauh dari keluarga, dan tidak paham dengan sistem kesehatan Singapura, Septia mengaku merasa sangat terasing.
Setelah 13 hari perawatan, majikannya memutuskan untuk memulangkan Septia ke Indonesia menggunakan kapal feri.
Namun, alih-alih dipulangkan langsung ke kampung halamannya di Jember, Septia dikirim ke rumah sakit di Batam.
Di sana, ia dirawat selama seminggu dengan biaya yang ditanggung majikannya.
Ironisnya, sang majikan sempat meminta uang kepada keluarga Septia untuk menutupi biaya perawatan di Singapura, tetapi permintaan tersebut ditolak oleh Septia.
“Saya merasa, sebagai majikan, seharusnya mereka bertanggung jawab penuh atas kondisi saya,” ujarnya tegas.
Pada Oktober 2024, keluarga Septia akhirnya menjemputnya dan membawanya pulang ke Jember.
Namun, kondisi Septia tidak menunjukkan perbaikan.
Kakinya yang berwarna hitam terasa keras seperti kayu terbakar, kaku, dan tidak bisa digerakkan.
Rasa nyeri yang ia alami setiap hari menjadi beban berat, baik secara fisik maupun mental.
Dalam kunjungan Menteri P2MI Abdul Kadir Karding, Septia menyampaikan harapannya agar pemerintah memberikan perhatian terhadap kondisinya.
"Saya hanya ingin mendapatkan bantuan agar rasa sakit saya bisa berkurang. Saya ingin tetap bisa hidup untuk anak-anak saya," ungkapnya dengan air mata berlinang.
Abdul Kadir Karding mengakui bahwa keberangkatan Septia ke Singapura dilakukan secara ilegal.
Hal ini menyebabkan Septia kehilangan hak perlindungan, termasuk asuransi kerja yang seharusnya menjadi hak PMI resmi.
"Kami selalu mengingatkan masyarakat untuk mengikuti prosedur resmi sebelum bekerja di luar negeri. Keberangkatan yang tidak sesuai prosedur sangat berisiko," ujar Karding.
Ia menambahkan, keberangkatan ilegal membuat pekerja migran tidak terdaftar secara resmi, sehingga sulit bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan jika terjadi masalah.
"Ini menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Jangan tergiur janji-janji manis dari pihak yang tidak bertanggung jawab," lanjutnya.
Sebagai langkah pencegahan, pemerintah berencana untuk memperketat regulasi dan meningkatkan sosialisasi di desa-desa, termasuk melalui media sosial.
"Kita harus menindak tegas sindikat maupun individu yang terlibat dalam penyelundupan pekerja migran ilegal," tegas Karding.
Meskipun secara hukum sulit memberikan bantuan karena keberangkatan Septia yang tidak prosedural, Kementerian P2MI tetap memberikan pendampingan atas dasar kemanusiaan.
"Kami akan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memastikan bahwa Mbak Septia mendapatkan dukungan yang ia butuhkan," janji Karding, meskipun tidak menjelaskan secara rinci bentuk bantuan tersebut.