TRIBUNMANADO.CO.ID, Jakarta - Arus penolakan terhadap penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen kian kencang.
Publik menilai pemberlakuan PPN 12 persen mulai Januari 2025 akan menambah beban di tengah kesulitan ekonomi.
Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus menegaskan bahwa partainya tidak menolak penerapan PPN 12 persen yang menjadi amanah Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Fraksi PDI-P, kata Deddy, hanya meminta pemerintah mengkaji ulang pemberlakuan kebijakan itu dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini.
"Kita minta mengkaji ulang, apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji," ujar Deddy dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, dikutip Senin (23/12/2024).
PDIP tidak bermaksud menyalahkan Presiden Prabowo Subianto soal rencana penerapan kebijakan tersebut mulai Januari 2025.
Dia beralasan bahwa partainya justru tidak ingin ada persoalan baru yang muncul di awal pemerintahan Prabowo imbas kenaikan PPN 12 persen tersebut.
"Tapi kalau pemerintah percaya diri itu tidak akan menyengsarakan rakyat, silahkan terus. Kan tugas kita untuk melihat bagaimana kondisi," pungkasnya.
Adapun sistematika UU HPP terdiri dari 9 bab dan 19 pasal. UU ini telah mengubah beberapa ketentuan di UU lainnya, di antaranya UU KUP, UU Pajak Penghasilan, UU PPN, UU Cukai, dan UU Cipta Kerja.
Pembahasan RUU HPP didasarkan pada surat presiden serta surat keputusan pimpinan DPR RI tanggal 22 Juni 2021 yang memutuskan bahwa pembahasan RUU KUP dilakukan oleh Komisi XI bersama pemerintah.
Fraksi yang menyetujui adalah PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Partai Demokrat, PAN, dan PPP, sedangkan satu fraksi yang menolak adalah PKS.
PKS menolak RUU HPP karena tidak sepakat rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Menurutnya, kenaikan tarif akan kontra produktif dengan proses pemulihan ekonomi nasional. PKS juga menolak pengungkapan sukarela harta wajib pajak (WP) alias tax amnesty. (Tribun)