JAKARTA - Rencana pemerintah yang akan memberlakukan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai Januari 2025 menjadi sorotan. Terlebih pada
pajak pendidikan , khususnya pada layanan pendidikan berstandar internasional.
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Prof. Dr. R. Agus Sartono menilai rencana pengenaan PPN 12 persen terhadap sektor pendidikan tidak tepat dan bahkan sebaiknya dibatalkan saja oleh pemerintah.
Agus menilai jika pengenaan kenaikan pajak tersebut dipaksakan justru akan memperburuk capaian akses perguruan tinggi di Indonesia dan semakin membuat Indonesia tertinggal jauh dengan negara ASEAN lainnya.
“Pendidikan merupakan investasi jangka panjang dan tidak seharusnya dijadikan objek pajak. Kalau saja kebocoran dan korupsi dapat ditekan, maka lebih dari cukup untuk pembiayaan investasi sumber daya manusia. Jika kita abai terhadap sektor pendidikan maka hanya masalah waktu saja kita justru akan makin terpuruk,” kata Agus, dikutip dari laman UGM, Selasa (24/12/2024).
Meski pengenaan PPN 12 persen terhadap pendidikan bertaraf internasional, diakui Agus tidak tepat sasaran mengingat pemerintah sendiri gencar mendorong agar pendidikan di Indonesia memiliki kualitas bertaraf internasional.
Deputi Bidang Pendidikan dan Agama, Kemenkokesra periode tahun 2010-2014 dan Deputi Bidang Pendidikan dan Agama, Kemenko PMK periode 2014-2021 ini menilai pengenaan pajak di sektor pendidikan ini waktu yang kurang tepat terlebih melihat tantangan terhadap akses pendidikan di tanah air yang masih terbatas.
Pasalnya, Data Badan Pusat Statistik (BP) memproyeksikan populasi penduduk usia 19-23 tahun mencapai 27,39 juta jiwa di tahun 2025. Sementara, angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi ditargetkan sebesar 35%.
Artinya, jumlah mahasiswa akan mencapai 9,58 juta. Jumlah tersebut menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas akses pendidikan untuk 1,27 juta mahasiswa. “Pertanyaan mendasar adalah mengapa pada saat pemerintah kesulitan meningkatkan akses justru berencana menambah beban berupa PPN 12%? Belum lagi berbicara bagaimana mengatasi luaran pendidikan yang tidak mampu diserap industri,” tuturnya.
Sementara itu di sisi lain saat ini ada berbagai Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN BH) yang telah lama mengembangkan International Undergraduate Program (IUP). Program ini tidak saja menyumbangkan pembiayaan bagi PTN BH, tetapi juga mampu menarik minat student exchange dari negara lain.
“Melalui IUP PTN BH mampu memberikan subsidi silang bagi anak-anak dari keluarga yang secara ekonomi kurang mampu sehingga mereka mendapatkan akses pendidikan tinggi,” ungkapnya.
Agus menyampaikan kehadiran mahasiswa asing di PTN BH juga memiliki peran strategis dalam jangka panjang. Selain melakukan mendorong ekspor layanan pendidikan, hal tersebut juga berpotensi melahirkan para Indonesianis yang memainkan peran penting dalam membangun hubungan bilateral antar negara.