Oleh: Fatimah Juhra
Dosen Teknik Lingkungan ULM
BANJARMASINPOST.CO.ID - SAAT ini setengah penduduk dunia bertempat tinggal di kota. Diperkirakan tingkat urbanisasi di Indonesia diprediksi mencapai 73 persen pada tahun 2045.
Jika bicara tentang pertumbuhan kota, umumnya berkolerasi positif terhadap ekonomi, akan tetapi jika dilihat dari segi lingkungan dan sosial akan muncul asosiasi yang negatif.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kerentanan terhadap perubahan iklim. Letak kota-kota besar di Indonesia yang berada di pesisir, menjadikannya rentan tenggelam dan mengalami banjir akibat kenaikan muka air laut.
Hal ini sudah terlihat ketika banjir rob terjadi di kota seperti Jakarta, Semarang dan Banjarmasin.
Di sisi lain, urbanisasi yang tidak terkontrol akan memberikan tekanan besar pada kondisi lingkungan.
Kota-kota besar menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca, dengan transportasi, konsumsi energi, dan pembangunan infrastruktur sebagai penyebab utamanya.
Data dari United Nations Environment Programme (UNEP) menunjukkan bahwa kota menyumbang sekitar 70 persen emisi karbon dunia, meskipun hanya mencakup 2 persen dari luas permukaan bumi.
Pembangunan kota yang masif identik dengan kerusakan lingkungan seperti perubahan bentang alam.
Sering kali kita menemui pembangungan kota atau kawasan permukiman melakukan pemangkasan bukit, membuka kawasan hutan atau pertanian, bahkan hingga mereklamasi laut. Jika tidak dikendalikan, kota-kota akan cenderung tumbuh merebak (sprawling).
Untuk memenuhi kebutuhannya kota juga menyedot sumber daya alam, seperti pasir, batu, tanah, kayu hingga air dan suatu yang pasti pertumbuhan kota akan turut membuang limbah dan polusinya.
Transformasi lahan menjadi kawasan permukiman atau komersial juga sering kali mengorbankan ekosistem alami. Hutan dan lahan basah yang berfungsi sebagai penyerap karbon alami digantikan oleh beton dan aspal.
Hal ini mempercepat pemanasan global sekaligus meningkatkan risiko bencana lingkungan seperti banjir, kekeringan, dan erosi tanah.
Akan tetapi, Kemajuan kota dapat membawa dampak positif terhadap mitigasi perubahan iklim jika direncanakan dengan baik. Kota-kota modern memiliki potensi besar untuk menjadi pusat inovasi teknologi yang ramah lingkungan.
Beberapa kota di dunia telah berhasil membuktikan bahwa keberlanjutan dapat berjalan seiring dengan perkembangan.
Kemajuan teknologi juga memungkinkan terciptanya konsep kota pintar (smart city), di mana penggunaan energi dan sumber daya dikelola secara efisien.
Sistem manajemen lalu lintas otomatis, pengelolaan limbah berbasis teknologi, dan gedung hemat energi adalah contoh nyata bagaimana teknologi dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca.
Untuk merespons hal ini diperlukan aksi-aksi kolektif antar pemangku kepentingan. Perlu adanya strategi untuk meningkatkan ketahanan kota melalui langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Solusi untuk Kota Berkelanjutan
Langkah yang bisa diambil oleh pemangku kepentingan di kota-kota besar untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan dan mengurangi dampak negatif dari perkembangan kota terhadap perubahan iklim di antaranya melakukan strategi
Pertama, penggunaan energi terbarukan. Kota-kota di Indonesia diharapkan mulai mengupayakan untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan. Upaya ini dapat diawali dengan menggunakan pembangkit listrik tenaga surya dengan memasang solar panel bagi gedung-gedung pemerintahan dan memberikan insentif fiskal bagi rumah tangga yang turut menggunakan.
Hal ini memang tidak membebaskan kita dalam penggunaan listrik dari pembangkit PLN tetapi dapat turut mengurangi ketergantungan kita terhadap listrik PLN yang bahan bakunya masih dominan menggunakan batubara.
Kedua, pembangunan sistem transportasi umum. Hadirnya transportasi umum memberikan alternatif pilihan bagi warga kota untuk bermobilisasi tanpa menggunakan kendaraan pribadi.
Beralihnya warga kota dalam menggunakan transportasi umum tentunya akan turut membantu mengurangi kemacetan kota, polusi udara, dan konsumsi bahan bakar minyak. Dampak domino positif tentunya akan dirasakan pemerintah dan warga kota.
Apalagi jika pemerintah mengupayakan perbaikan pedestrian bagi pejalan kaki menjadi lebih nyaman dan menyediakan sistem feeder transportasi yang mencakup berbagai wilayah kota.
Pergerakan warga kota dengan berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum dapat meningkatkan kesehatan dan terhindar dari penyakit kronis akibat jarang gerak seperti obesitas dan diabetes yang biasanya diderita oleh penduduk kota besar.
Ketiga, mewujudkan kota hijau, kewajiban kota untuk menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) seluas 30 persen dari luas kota dapat meningkatkan kualitas hidup warga kota dan tentunya dapat menjadi alternatif area rekreasi dan sarana berinteraksi bagi warga kota untuk berkumpul.
RTH 30 persen juga dapat mewujudkan keseimbangan ekosistem kota, seperti keseimbangan mikroiklim, sistem hidrologi, dan sistem ekologis, meningkatkan ketersediaan udara bersih, dan meningkatkan estetika kota
Keempat, pemanfaatan teknologi smart city memungkinkan penggunaan energi kota yang lebih efesien.
Pemanfaatan sensor pintar pada lampu penerangan kota dapat meminimalkan penggunaan energi melalui sensor gerak atau pemanfaatan CCTV dalam upaya pemantauan keamanan dan ketertiban kota dengan mengurangi kerja petugas keamanan yang harus berpatroli.
Kelima, Kemitraan dengan sektor swasta untuk ikut andil mewujudkan pembangunan kota yang berkelanjutan.
Pembangunan kota bukanlah kerja instan, dibutuhkan energi dan kesabaran serta sinergi antara pemerintah, pihak swasta, dan warga kota untuk mewujudkan kota layak huni, meminimalkan masalah kota, dan meningkatkan taraf hidup warganya.
Kita semua tentunya menginginkan hal ini, melihat kota lebih asri dan ramah lingkungan, warga kota yang saling berinteraksi dan saling bekerja sama mewujudkan semua ini. (*)