Ekonomi Indonesia Relatif Stabil dengan Inflasi Rendah, Penyesuaian PPN 12 Persen Sudah Tepat
JAKARTA - Rencana penerapan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% pada awal tahun 2025 menuai beragam tanggapan dari berbagai kalangan. Di tengah upaya pemulihan ekonomi nasional, kebijakan ini memunculkan perdebatan mengenai ketepatan waktu implementasinya.
Pengamat kebijakan publik Yustinus Prastowo mengungkapkan kekhawatirannya terhadap waktu penerapan kebijakan tersebut. "Jika boleh memilih, tentu lebih baik meminta Pemerintah menunda kenaikan tarif PPN 12 persen. Di tengah badai ekonomi yang tengah dihadapi masyarakat, tentu kenaikan tarif ini menambah beban dalam memenuhi kebutuhan harian," ujarnya. (Take out)
Namun demikian, Prastowo juga menanggapi positif langkah-langkah mitigasi untuk menghadapi kebijakan yang telah ditetapkan ini. "Ketok palu Pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen perlu dihadapi dengan berbagai langkah mitigasi dan di sisi sebaliknya, masyarakat memanfaatkan berbagai insentif yang diberikan," tuturnya.
Kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan memperkuat struktur fiskal dalam jangka panjang justru dikhawatirkan berdampak terhadap inflasi serta pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk meminimalisir dampak kebijakan ini, pemerintah telah menyiapkan sejumlah langkah strategis, termasuk, mempertahankan pembebasan PPN untuk kebutuhan pokok pangan, melanjutkan pembebasan PPN untuk jasa-jasa tertentu, memberikan insentif pajak bagi UMKM, dan meningkatkan bantuan sosial bagi kelompok rentan.
PPN Naik 1 Persen Diyakini Tak Pengaruhi Target Pertumbuhan EkonomiKepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi 2025 akan tetap sesuai target APBN sebesar 5,2 persen. "Pertumbuhan ekonomi 2025 akan tetap dijaga sesuai target APBN sebesar 5,2 persen," ujar Febrio.
Ia juga meyakini kebijakan PPN 12 persen pada tahun 2025 tidak mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi. Selain itu, Febrio mengklaim kenaikan PPN 1 persen tidak akan berdampak signifikan terhadap inflasi.
“Saat ini tingkat inflasi masih tergolong rendah, yakni di 1,6 persen. Dampak kenaikan PPN ke 12 persen adalah 0,2 persen dan inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di 1,5-3,5 persen,” tuturnya.
Inflasi stabil menjadi contoh sebenarnya secara makro pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain inflasi akan tetap dijaga, Febrio juga menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi 2024 diperkirakan tetap tumbuh di atas 5,0 persen. Dia menilai, dampak kenaikan PPN ke 12 persen terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan.
Sebelumnya, Menurut BI, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen memiliki dampak yang terukur terhadap inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB).
Deputi Gubernur BI Aida Suwandi Budiman menjelaskan, kenaikan PPN ini akan berlaku pada barang dan jasa premium, seperti bahan makanan premium, jasa pendidikan premium, pelayanan kesehatan medis premium, serta listrik pelanggan rumah tangga 3.500-6.600 VA
"Saat ini tingkat inflasi masih tergolong rendah, yakni di 1,6 persen. Dampak kenaikan PPN ke 12 persen adalah 0,2 persen dan inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di 1,5-3,5 persen," tuturnya.
Pemerintah Beri Paket Stimulus, Dongkrak Daya Beli Masyarakat
Faktor pendorong optimisme pemerintah bahwa menyesuaikan PPN 12 persen sudah tepat secara timing, di antaranya yaitu dengan dilancarkannya berbagai stimulus yang telah disiapkan. Paket stimulus ekonomi yang menyasar enam aspek, yakni rumah tangga, pekerja, UMKM, industri padat karya, mobil listrik dan hibrida, serta properti.
"Tambahan paket stimulus bantuan pangan; diskon listrik; buruh pabrik tekstil, pakaian, alas kaki, dan furnitur tidak bayar pajak penghasilan (PPh) setahun; pembebasan PPN rumah; dan lain-lain akan menjadi bantalan bagi masyarakat," ucap Febrio.
Peneliti Ekonomi di Indonesia Development of Economics and Finance/INDEF, Ariyo Irhamna menilai paket stimulus dapat membantu meredam dampak kenaikan PPN, kebijakan ini harus berkelanjutan agar dampaknya terasa signifikan.
“Diharapkan paket stimulus dipastikan langsung menyasar kelompok yang paling rentan, seperti bantuan sosial tunai atau subsidi energi,” tuturnya.
Ariyo menambahkan paket stimulus yang dirancang pemerintah dapat menciptakan rasa aman bagi masyarakat, jika paket stimulus yang tepat sasaran dapat membantu masyarakat menengah bawah dan UMKM.
Selain itu menurutnya, kebijakan kenaikan tarif PPN diperlukan koordinasi yang kuat antara kebijakan fiskal dan moneter untuk mengendalikan inflasi.
“Risiko lonjakan harga akibat kenaikan PPN tidak boleh diabaikan, Pemerintah diharapkan untuk bisa terus memonitor dampak kenaikan PPN secara real-time untuk mengantisipasi gangguan pada konsumsi rumah tangga,” ucapnya.
Sementara, Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede menilai, dengan adanya paket stimulus dari pemerintah kelompok berpendapatan rendah tetap dilindungi melalui insentif langsung, termasuk subsidi harga dan pembebasan PPN untuk barang kebutuhan pokok.
Menurutnya, kenaikan PPN menjadi 12 persen di Indonesia memang langkah yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi dampaknya terhadap daya beli masyarakat tidak bisa diabaikan.
“Beberapa insentif lain yang lebih inovatif bisa diberikan kepada masyarakat dan UMKM agar tetap menjaga daya beli masyarakat contoh seperti memberikan subsidi langsung berupa e-voucher bagi rumah tangga berpenghasilan rendah untuk pembelian barang kebutuhan sehari-hari, khususnya melalui platform e-commerce lokal. Ini dapat meningkatkan adopsi digital dan mendukung ekosistem UMKM daring,” tuturnya.
Dengan adanya berbagai paket stimulus yang ada, masyarakat dan pelaku usaha diimbau untuk tidak khawatir secara berlebihan terhadap kenaikan PPN jadi 12 persen, mengingat kondisi ekonomi Indonesia saat ini relatif stabil dengan inflasi yang rendah dan prospek pertumbuhan yang positif.