TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Fenomena menyedihkan dari praktik hukum akhir-akhir ini, membuat para akademisi yang selama ini selalu berinteraksi dengan hukum yang sehat didera rasa pesimisme terhadap prospek hukum, antara ada atau tidak ada keberadaan hukum. Seolah-olah prinsip-prinsip yang selama ini disakralkan dalam dunia hukum, telah terjadi desakralisasi oleh suatu kekuatan besar, yang mengendalikan, sehingga prinsip-prinsip hukum tersebut, tidak lebih hanya sekedar aksesoris.
Salah satu prinsip yang disanksikan daya kekuatan saktinya hari ini adalah prinsip equality before the law, adalah salah satu pilar utama dalam konsep negara hukum modern. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang, status sosial, kekayaan, atau jabatan, memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Dalam teori, prinsip ini dirancang untuk memastikan keadilan dan menghindari diskriminasi. Namun, realitas di lapangan sering kali berbeda, terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia. Perbedaan ini antara teori dan praktik menjadi persoalan yang kompleks dan membutuhkan analisis mendalam.
Secara teoretis, prinsip equality before the law berasal dari pemikiran liberal klasik yang menekankan kebebasan individu dan persamaan hak. Prinsip ini tertuang dalam berbagai instrumen hukum internasional, seperti Pasal 7 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menyatakan, "All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law."
Prinsip ini juga diadopsi dalam konstitusi banyak negara, termasuk Indonesia melalui Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Secara filosofis, prinsip ini mencerminkan keadilan distributif yang menekankan pemerataan hak dan kewajiban, serta keadilan prosedural yang memastikan proses hukum yang adil dan tidak memihak. Dalam sistem hukum, prinsip ini juga menjadi dasar pembentukan norma hukum yang menjamin bahwa tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum, termasuk penguasa.
Secara ideologis Prinsip equality before the law memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang, status, atau afiliasi, diperlakukan sama di hadapan hukum. Dalam konteks Indonesia, prinsip ini sejalan erat dengan sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila kelima mencerminkan aspirasi bangsa untuk menciptakan masyarakat yang adil, di mana sumber daya, kesempatan, dan hak-hak didistribusikan secara merata.
Prinsip ini tidak hanya menyoroti kesenjangan ekonomi dan sosial, tetapi juga menekankan pentingnya keadilan hukum dan peradilan. Hubungan antara equality before the law dan keadilan sosial terletak pada tujuan bersama mereka untuk menghilangkan diskriminasi dan memastikan bahwa keadilan melayani kebutuhan seluruh warga negara secara setara.
Dalam perspektif ini, equality before the law di Indonesia harus melampaui kesetaraan formal (perlakuan setara dalam teks hukum) dan mencapai kesetaraan substantif. Kesetaraan substantif mempertimbangkan realitas sosial-ekonomi yang berbeda yang dihadapi individu dan berusaha menciptakan kesetaraan peluang.
Misalnya, kelompok-kelompok yang terpinggirkan, seperti masyarakat miskin, perempuan, dan komunitas adat, sering menghadapi hambatan sistemik dalam mengakses keadilan. Prinsip keadilan sosial mengharuskan adanya langkah afirmatif untuk memastikan kelompok-kelompok ini memiliki kesempatan yang sama dalam membela hak mereka dan menerima perlakuan yang adil dalam sistem hukum.
Perspektif ini juga menyerukan pemberantasan korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan yang merusak kesetaraan hukum dan secara tidak proporsional merugikan mereka yang kurang beruntung. Hal ini menekankan bahwa supremasi hukum harus diterapkan secara transparan, tidak memihak, dan tanpa keberpihakan untuk melindungi martabat dan hak setiap warga negara.
Prinsip equality before the law melalui perspektif sila kelima Pancasila merupakan seruan untuk membangun sistem hukum yang tidak hanya memperlakukan setiap orang secara setara, tetapi juga secara proaktif mengatasi ketidaksetaraan struktural guna mencapai keadilan sejati bagi semua.
Ketika Sistem Peradilan Pidana Gagal Memberikan Keadilan
Sistem peradilan pidana (SPP) dirancang untuk menegakkan keadilan, menjaga ketertiban sosial, dan melindungi hak-hak individu. Namun, ada situasi di mana sistem ini tidak mampu memenuhi tujuan tersebut, sehingga gagal memberikan keadilan yang dijanjikan. Kegagalan ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, sering kali meninggalkan korban, terdakwa, dan masyarakat luas dalam keadaan kecewa dan kehilangan kepercayaan.
Salah satu contohnya adalah miscarriages of justice (kesalahan dalam penegakan keadilan), di mana individu yang tidak bersalah dihukum secara keliru. Kesalahan semacam ini dapat disebabkan oleh pengakuan yang dipaksakan, investigasi yang cacat, atau kesaksian saksi yang tidak dapat diandalkan. Sebaliknya, kegagalan untuk menghukum pihak yang bersalah karena kesalahan prosedural atau kurangnya bukti melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Masalah lain yang signifikan adalah bias sistemik. Hegemoni politik, Status sosial-ekonomi, ras, etnis, dan gender sering memengaruhi hasil dari persidangan pidana. Komunitas yang terpinggirkan, misalnya, sering menghadapi hukuman yang lebih berat atau menjadi target yang tidak proporsional oleh penegak hukum. Hal ini menciptakan ketidaksetaraan yang bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum.
Proses peradilan yang panjang juga menjadi faktor yang berkontribusi terhadap ketidakadilan. Penundaan dalam persidangan dapat memperpanjang penderitaan korban dan menghalangi penyelesaian yang tepat waktu bagi terdakwa, baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah. Dalam beberapa kasus, penundaan semacam ini dapat membuat keadilan kehilangan maknanya, karena bukti menjadi usang atau minat publik berkurang.
Selain itu, korupsi dan campur tangan politik dapat secara serius merusak keadilan. Ketika keputusan peradilan dipengaruhi oleh tekanan eksternal atau insentif finansial, integritas sistem menjadi rusak. Hal ini sering kali menghasilkan impunitas bagi individu yang berkuasa, sementara warga biasa harus menanggung beban hukum.
Terakhir, ketidakmampuan untuk mengakses sumber daya hukum memainkan peran penting dalam memperburuk ketidakadilan. Orang-orang miskin atau kurang mampu sering kali tidak memiliki sarana keuangan untuk menyewa perwakilan hukum yang kompeten atau memahami kompleksitas proses hukum, sehingga mereka menjadi rentan terhadap eksploitasi.
Ketika sistem peradilan pidana gagal, hal ini tidak hanya menolak keadilan bagi mereka yang terlibat secara langsung, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap supremasi hukum. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan reformasi sistemik, promosi transparansi, dan akses keadilan yang merata bagi semua pihak.
Prinsip equality before the law merupakan cita-cita luhur yang menjadi fondasi keadilan dalam sistem hukum. Di Indonesia, meskipun prinsip ini telah diakui secara normatif, tantangan dalam implementasinya masih sangat besar.
Ketimpangan dalam penegakan hukum, diskriminasi, dan intervensi politik menjadi penghalang utama bagi tercapainya keadilan yang merata. Oleh karena itu, reformasi sistem hukum, peningkatan akses keadilan, dan penguatan pengawasan publik menjadi langkah-langkah penting untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik.
Hanya dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, prinsip equality before the law dapat diwujudkan secara nyata, membawa keadilan dan kepercayaan yang lebih besar terhadap sistem hukum di Indonesia. (*)
***
*) Oleh : Anshori, Direktur Pusat Study Hukum dan Sosial Lamongan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.