TRIBUNNEWS.COM - Pemimpin baru Suriah, Ahmed Al-Sharaa, yang sebelumnya dikenal dengan nama Abu Mohammad al-Julani, mengatakan Arab Saudi memiliki peran besar terhadap masa depan negaranya.
“Arab Saudi memiliki peran besar dalam masa depan Suriah, dan saya bangga dengan semua yang telah dilakukannya untuk kami,” kata Al-Sharaa, selama wawancara dengan Al Arabiya yang ditayangkan pada hari Minggu (29/12/2024).
Al-Sharaa pernah menghabiskan masa kecilnya di Riyadh dan berharap dapat mengunjungi kota itu lagi.
Ia menambahkan bahwa Arab Saudi memiliki peluang investasi besar di Suriah.
Berbicara tentang pemilihan umum, Al-Sharaa mengatakan penyelenggaraan pemungutan suara di Suriah dapat memakan waktu hingga empat tahun karena memerlukan sensus penduduk yang komprehensif.
Penyusunan konstitusi baru saja dapat memakan waktu tiga tahun, ujarnya.
Al-Sharaa adalah pemimpin de facto Suriah hingga 1 Maret, ketika berbagai faksi di Suriah akan mengadakan dialog politik untuk menentukan masa depan politik negara itu.
Setelah itu, katanya, Hayat Tahrir Al-Sham (HTS) akan bubar setelah bertahun-tahun menjadi kelompok militan paling dominan di Suriah.
Ia juga menyampaikan harapannya agar pemerintahan presiden terpilih AS Donald Trump mencabut sanksi terhadap negaranya setelah Bashar al-Assad digulingkan.
“Sanksi terhadap Suriah dikeluarkan berdasarkan kejahatan yang dilakukan rezim Assad,” kata Al-Sharaa.
"Karena HTS dan militan sekutunya telah menggulingkan Assad, sanksi ini harus dicabut secara otomatis,” katanya.
Berbicara tentang hubungan Suriah-Rusia, Al-Sharaa mengatakan kedua negara memiliki kepentingan strategis yang mendalam.
Ia menyatakan keinginannya untuk membangun kembali hubungan dengan sekutu dekat Assad itu.
“Rusia adalah negara penting dan dianggap sebagai negara terkuat kedua di dunia," ujarnya.
“Semua persenjataan Suriah berasal dari Rusia, dan banyak pembangkit listrik dikelola oleh para ahli Rusia."
"Kami tidak ingin Rusia meninggalkan Suriah seperti yang diinginkan sebagian orang.”
Pemimpin HTS itu juga mengatakan negosiasi sedang berlangsung dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi di Suriah timur laut.
Ia berharap bahwa angkatan bersenjata mereka akan berintegrasi dengan badan keamanan Suriah.
SDF adalah sekutu utama AS di Suriah, yang memiliki misi memberantas ISIS.
Dalam perkembangan terbaru, Ukraina nampaknya bergerak untuk menjadikan Suriah sebagai sekutunya.
Pada hari Senin (30/12/2024), Al-Sharaa dan sejumlah pejabat lainnya menyambut kedatangan menteri luar negeri Ukraina, di Damaskus, Al Jazeera melaporkan.
Menteri luar negeri Suriah yang baru diangkat, Asaad Hassan al-Shibani mengatakan ia berharap akan adanya kemitraan strategis antara Suriah dan Ukraina.
"Tentu saja rakyat Suriah dan rakyat Ukraina memiliki pengalaman dan penderitaan yang sama seperti yang kami alami selama 14 tahun," imbuhnya.
Al-Shibani membandingkan perang Suriah tahun 2011-2024 dengan perebutan wilayah Ukraina oleh Rusia pada tahun 2014 dan berpuncak pada invasi besar-besaran pada tahun 2022.
Sementara itu, menteri luar negeri Ukraina Andrii Sybiha berharap hubungan Ukraina-Suriah akan mengalami perkembangan yang pesat.
"Kami berharap adanya pengakuan bersama atas kedaulatan kedua negara sehingga kami dapat menyelesaikan perwakilan diplomatik di Suriah," kata Sybiha dalam konferensi pers setelah delegasi Ukrainanya bertemu dengan para pemimpin Suriah.
Kunjungan Ukraina dilakukan setelah Presiden Volodymyr Zelenskyy mengatakan pada hari Jumat (27/12/2024) bahwa negaranya telah mengirimkan bantuan pangan pertamanya, 500 ton tepung terigu, ke Suriah.
Meskipun sedang berperang dengan Rusia, Ukraina tetap menjadi salah satu produsen gandum terbesar di dunia.
"Ukraina akan tetap menjadi poros ketahanan pangan di Suriah, bahkan jika negara kita terlibat dalam perang," kata Sybiha.
Rusia sebelumnya menyediakan gandum untuk Suriah melalui mekanisme keuangan dan logistik yang rumit yang dirancang untuk menghindari sanksi Barat terhadap Moskow dan Damaskus.
Namun menurut laporan kantor berita Reuters, pengiriman ini telah dihentikan karena ketidakpastian seputar pemerintahan baru di Damaskus dan keterlambatan pembayaran.
Ukraina pun menyatakan ingin memulihkan hubungan dengan Suriah.
“Rezim Rusia dan Assad saling mendukung karena keduanya didasarkan pada kekerasan dan penyiksaan,” kata Sybiha, menurut sebuah pernyataan.
“Kami percaya bahwa dari sudut pandang strategis, pencabutan kehadiran Rusia di Suriah akan berkontribusi pada stabilitas tidak hanya negara Suriah tetapi juga seluruh Timur Tengah dan Afrika.”
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)