Pengunjung Sepi, Ayib Nahkoda Kapal di Ancol Berangkat Subuh Pulang Subuh, Padahal Hidupi 6 Anak
Mujib Anwar January 01, 2025 10:32 PM

TRIBUNJATIM.COM - Pengunjung sepi, Ayib yang memiliki enam orang anak bercerita begitu miris nasibnya.

Tahun ini tidak sama seperti tahun lalu.

Pengunjung Pantai Ancol yang merayakan liburan akhir tahun ternyata tidak sebanyak tahun lalu.

Akibat sepinya pengunjung, Ayib harus berangkat pagi pulang pagi.

Sudah 35 tahun, Ayib mencari nafkah sebagai nahkoda kapal nelayan membawa penumpang mengelilingi pantai Ancol, Jakarta Utara.

Meski penghasilan tak menentu, Ayib mampu menhidupi seorang istri dan enam anaknya di Jalan Kali Baru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.

Bahkan, Ayib mampu sekolahkan lima anaknya hingga tamat SMA, tiga di antaranya sudah berumah tangga.

Sedangkan, anak keempat dan kelima baru tamat sekolah di tahun 2024 dan harus berjuang biayai pendidikan buah hati paling kecil di SMP.

Ayib narik kapal nelayan dari pukul 06.00 WIB sampai malam hari.

Tapi ketika malam tahun baru, ia biasanya mencari penumpang sampai pukul 02.00 WIB.

"Tapi malam tahun baru ini enggak seramai tahun lalu, sekarang agak sepi," ucap Ayib saat ditemui Warta Kota di lokasi, Rabu (1/1/2025), seperti dikutip TribunJatim.com dari Wartakotalive.com, Rabu.

Ayib melanjutkan, meski penumpangnya belum ramai, tapi ia tetap keliling pantai untuk menawarkan diri agar mau keliling Ancol naik kapal.

Ia menghargai satu orang sekira Rp 20.000 dan kapasitas perahunya bisa membawa 30 penumpang.

Pantai Ancol sepi pengunjung
Pantai Ancol sepi pengunjung (Wartakota)

"Hari ini saja baru tiga tarikan, kalau tahun lalu sampai puluhan tarikan. Enggak berhenti kalau tahun lalu, bersandar ada lagi yang naik," katanya.

Ayib melanjutkan, faktor tahun lalu ramai karena memang tempat wisata baru dibuka full oleh pemerintah.

 Sehingga, katanya, banyak pengunjung yang ingin menikmati libur tahun baru di Ancol khususnya naik perahu nelayan.

Ayib berharap, di tahun 2025 ini ekonomi para nakhoda kapal nelayan di Ancol bisa semakin membaik.

"Paling susah ketika Covid-19, Ancol kan ditutup enggak ada pemasukan. Kalau sekarang sudah normal," jelasnya.

Ayib yang menafkahi enam anak tetapi pengunjung Ancol sedang sepi
Ayib yang menafkahi enam anak tetapi pengunjung Ancol sedang sepi (Wartakota)

Sementara itu, Rudi warga Jakarta Selatan memilih liburan ke Ancol karena memang ingin mencoba naik kapal nelayan.

Ia naik kapal bersama 4 orang anggota keluarga dan belasan penumpang lainnya kelilingi pantai Ancol.

"Ya kita cari liburan yang murah saja. Ini juga kan lumayan murah naik kapal perorang tadi Rp 20 ribu," terang Rudi.

Rudi melanjutkan, setial tahun baru ia selalu berpindah tempat untuk nikmati libur tahun baru. 

Misalnya, kata Rudi, dj 2024 kemarin ia memilih liburan ke Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan.

"Biar enggak bosan saja, makanya ajak anak-anak pindah enggak lagi ke Ragunan, tapi ke Ancol," imbuhnya.

Sosok lain yang tak menyerah dalam bekerja adalah satu ini.

Matanya sudah tak bisa melihat dengan jelas dan buram, Mbah Musini yang usianya sudah tak lagi muda ingin tetap beraktivitas.

Mbah Musini diketahui juga sudah tidak memiliki pandangan yang baik.

Kedua matanya memiliki katarak, sehingga pandangannya kabur bahkan nyaris tak ada yang bisa dilihat.

Di usia senja dengan keterbatasan fisik, Mbah Musini (66) tetap menyalakan semangat hidupnya.

Warga Jalan RK Ilir Kota Banjarmasin ini memilih menjadi perajin keranjang parcel sebagai cara untuk tetap produktif meski indra penglihatannya tak lagi sempurna akibat katarak.

Beberapa tahun terakhir, nenek ini harus berjuang lebih keras dengan penglihatan yang semakin buram.

Katarak yang ia derita membuat aktivitas sehari-hari tak lagi mudah.

Sedangkan untuk berobat, Musin tidak sanggup menanggung biayanya.

Namun, perempuan tangguh ini menolak kalah.

Bagi Musini, duduk diam di tempat tidur bukanlah pilihan.

Setiap hari, dari pukul 08.00 Wita hingga 16.00 Wita, Musini menghabiskan waktunya di salah satu usaha rumahan yang berjarak hanya beberapa meter dari rumahnya.

Di sana, tangannya yang cekatan terus bergerak melilit rotan pada rangkaian keranjang utama, memastikan setiap produk kuat dan tahan lama.

Meskipun awalnya sulit, keterampilan itu ia kuasai setelah proses adaptasi panjang yang dipenuhi tekad dan ketekunan.

“Awalnya saya ragu bisa mengerjakan ini, tapi lama-lama saya terbiasa,” ucap Musini sambil terus menganyam rotan.

Mbah MUsini tetap membuat keranjang parsel
Mbah MUsini tetap membuat keranjang parsel (Tribunnews.com)

Setiap harinya, Musini mampu menyelesaikan 20 hingga 30 keranjang.

Dengan upah Rp 1.000 untuk satu keranjang, pendapatan yang ia bawa pulang memang tak seberapa.

“Yang penting halal. Saya lebih senang bekerja daripada hanya duduk-duduk saja,” ucapnya.

Kisah Musini tak lepas dari perhatian anak-anaknya.

Mereka berulang kali meminta ibunya berhenti bekerja, khawatir kondisi fisiknya semakin memburuk.

Namun, permintaan itu selalu ditolak.

“Saya lebih menikmati bekerja daripada tidak melakukan apa-apa,” tegasnya dengan senyum penuh keikhlasan.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.