TRIBUNNEWS.COM - Korea Selatan telah mengekstraksi data awal dari kotak hitam pesawat Jeju Air dengan nomor penerbangan 7C2216 yang jatuh di Bandara Muan pada Minggu (29/12/2024).
"Ekstraksi awal Perekam Suara Kokpit (CVR) telah selesai," kata Wakil Menteri Penerbangan Sipil, Joo Jong-wan, Rabu (1/1/2025).
"Hari ini, kami memulai proses konversi ke format file audio," lanjutnya.
“Kami berencana menyelesaikan pekerjaan ekstraksi audio sesegera mungkin," tambahnya, seperti diberitakan surat kabar Hankyoreh.
Data kotak hitam pertama CVR telah diekstraksi, sementara kotak hitam kedua Perekam Data Penerbangan (FDR) masih belum diekstraksi.
Ia mencatat para ahli masih mencoba mengekstrak data dari kotak hitam kedua.
Setelah analisis selesai, diharapkan dapat mengungkap pembicaraan rinci tentang proses pengembalian dan proses pendaratan badan pesawat.
Data di FDR yang ditemukan dalam keadaan rusak, dipastikan masih utuh.
Saat ini, ekstraksi data tidak dilakukan pada perangkat ini karena perangkat yang menghubungkannya ke perangkat ekstraksi data telah hilang.
Ada kekhawatiran bahwa data itu sendiri telah rusak, namun Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, dan Transportasi menegaskan hal tersebut tidak terjadi.
“Karena konektor (perangkat penghubung) ditemukan hilang, kami sedang melakukan pemeriksaan akhir tentang cara mengekstrak datanya,” kata Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, dan Transportasi.
“Jika konektornya terlepas, diperlukan teknologi canggih untuk menyambungkannya kembali," tambahnya.
Satu dari hanya dua orang yang selamat dari kecelakaan pesawat Jeju Air pada Minggu (29/12/2024) tampaknya mengalami amnesia traumatis.
Dia tidak mengingat insiden kecelakaan mematikan tersebut.
Ketika dokter di Rumah Sakit Mokpo Hankook bertanya tentang kondisinya, pramugari tersebut dilaporkan menjawab dengan kebingungan: "Apa yang terjadi? Bagaimana saya bisa ada di sini?".
Ia mengatakan kepada dokter bahwa hal terakhir yang ia ingat adalah mengenakan sabuk pengaman sebelum mendarat, karena ia mengira pesawat akan segera mendarat.
Korban selamat itu mengaku tidak ingat apa pun setelah itu, Straits Times melaporkan.
Seorang pramugari lainnya, yang juga selamat dan dirawat di rumah sakit yang sama, mengalami kondisi yang serupa.
Sebelum kecelakaan, seorang penumpang sempat mengirim pesan teks kepada keluarganya, mengabarkan bahwa pesawat tidak bisa mendarat karena ada burung yang tersangkut di sayapnya.
Ini adalah salah satu pesan terakhir yang diketahui dikirimkan oleh penumpang tersebut kepada kerabatnya.
"Seekor burung tersangkut di sayap pesawat, dan kami tidak bisa mendarat. Baru saja. Haruskah saya meninggalkan pesan terakhir saya?" kata penumpang tersebut dalam pesan teks kepada kerabat.
Kerabat tersebut mengungkapkan bahwa setelah itu, penumpang tersebut tidak dapat dihubungi lagi.
Para saksi mata kecelakaan melaporkan melihat api di mesin pesawat dan mendengar beberapa ledakan sebelum bencana, menurut kantor berita Yonhap.
Dalam video yang ditayangkan oleh stasiun TV lokal, pesawat terlihat mencoba mendarat tanpa memasang roda pendaratannya.
Seorang saksi yang hanya dikenal sebagai Tn. Cho, melihat pesawat itu turun saat ia sedang berjalan sekitar 4,5 km dari bandara.
"Saya melihat pesawat itu turun dan mengira akan mendarat ketika saya melihat kilatan cahaya," katanya, seperti dikutip Yonhap.
"Lalu terdengar ledakan keras diikuti asap di udara, dan kemudian saya mendengar serangkaian ledakan."
Saksi lain, Kim Yong-cheol yang berusia 70 tahun, mengatakan pesawat itu gagal mendarat pada percobaan pertama. Kemudian, pesawat itu berputar balik untuk mencoba lagi sebelum jatuh.
Tuan Kim mengingat mendengar suara "gesekan logam" dua kali sekitar lima menit sebelum kecelakaan, demikian laporan Yonhap.
Ia juga mengaku mendengar "ledakan keras"dan melihat "asap hitam mengepul ke langit".
Menurut Yonhap, para pejabat meyakini bahwa kegagalan roda pendaratan, yang mungkin disebabkan oleh tabrakan burung, dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan tersebut.
Bird strike atau tabrakan burung adalah kejadian ketika pesawat yang sedang terbang bertabrakan dengan seekor burung.
Tabrakan ini cukup umum terjadi di seluruh dunia.
Di Inggris, misalnya, pada tahun 2022, lebih dari 1.400 kejadian tabrakan burung dilaporkan, meskipun hanya sekitar 100 di antaranya yang memengaruhi pesawat, menurut data dari Otoritas Penerbangan Sipil Inggris.
Salah satu tabrakan burung yang paling parah terjadi pada tahun 2009, ketika pesawat Airbus yang terbang dari New York melakukan pendaratan darurat di Sungai Hudson setelah bertabrakan dengan sekawanan angsa.
Meskipun pesawat mengalami kerusakan, seluruh 155 penumpang dan awak selamat, seperti dilaporkan BBC.
Pesawat-pesawat modern, seperti Boeing, Airbus, dan Embraer, dilengkapi dengan mesin turbofan, yang rentan terhadap kerusakan serius akibat tabrakan dengan burung.
Profesor Doug Drury, seorang pengajar penerbangan di CQUniversity Australia, menjelaskan bahwa burung biasanya dapat merusak mesin pesawat jika mengenai bagian mesin atau sayap.
Pilot pesawat dilatih untuk lebih waspada terhadap tabrakan burung, terutama pada waktu-waktu tertentu, seperti pagi hari atau saat matahari terbenam, ketika burung lebih aktif.
Namun, beberapa pakar penerbangan meragukan apakah tabrakan burung dapat menyebabkan kecelakaan parah, terutama di Bandara Muan.
"Biasanya, tabrakan dengan burung tidak menyebabkan hilangnya pesawat," kata Thomas, seorang ahli keselamatan penerbangan, kepada Reuters.
Sementara itu, Geoffrey Dell, seorang pakar keselamatan penerbangan asal Australia, menambahkan, "Saya belum pernah mendengar adanya tabrakan burung yang menghalangi roda pendaratan untuk dikeluarkan."
Pesawat yang terlibat dalam kecelakaan tersebut adalah Boeing 737-800, yang diproduksi pada September 2009.
Pesawat tersebut sering digunakan untuk penerbangan jarak pendek hingga menengah.
Pesawat ini berusia 15 tahun.
Antara 27 dan 28 Desember 2024, pesawat ini melaksanakan 13 penerbangan dalam 48 jam sebelum akhirnya jatuh.
Pesawat tersebut merupakan bagian dari armada Jeju Air yang paling umum digunakan, dengan 37 dari 39 pesawat maskapai ini menggunakan model Boeing 737-800.
Meskipun tidak dianggap tua oleh otoritas penerbangan Korea Selatan, para analis menyatakan bahwa penerbangan jarak pendek yang sering dapat mempercepat kelelahan pesawat.
Jeju Air memastikan, pesawat tersebut telah menjalani pemeriksaan terjadwal dan tidak ada kelalaian dalam perawatannya.
"Kecelakaan ini tidak terkait dengan kelalaian perawatan pesawat," kata Song Kyung-hoon, Kepala Divisi Dukungan Manajemen Jeju Air, dalam konferensi pers.
Meskipun demikian, penyelidikan lebih lanjut masih terus dilakukan.
Jeju Air adalah maskapai penerbangan berbiaya rendah terbesar di Korea Selatan, yang didirikan pada 2005, dikutip dari Chosun Daily.
Maskapai ini berkantor pusat di Kota Jeju dan merupakan pemimpin pasar di antara maskapai penerbangan berbiaya rendah di Korea.
Pada 2023, Jeju Air mencatatkan penjualan sebesar 1,724 triliun won dan laba operasi sebesar 169,8 miliar won.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)