TRIBUNNEWS.COM - Seiring dengan meningkatnya dampak perubahan iklim, negara-negara yang rentan seperti Filipina menghadapi risiko yang semakin besar.
Negara kepulauan ini telah menjadi salha satu negara yang paling rentan terhadap cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Lorena Ivy Bello Ogania tinggal di Samar, sebuah provinsi di wilayah Visayas tengah, yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik.
Pada tahun 2013, ia mengalami bencana dahsyat akibat terjangan Topan Haiyan, salah satu topan tropis terkuat yang pernah tercatat, yang menewaskan lebih dari 7.300 orang dan meluluhlantakkan Samar.
"Waktu masih kanak-kanak, saya senang bermain di tengah hujan. Sekarang, hujan membuat saya takut,” kata Ogania kepada DW, ketika dua hari hujan tanpa henti membuatnya gelisah.
Ogania mengenang, saat badai Haiyan melanda ia sedang mengandung anak ketiganya dan melahirkan di dalam tenda darurat.
Pemulihan dari dampak topan berjalan sangat lambat, dan provinsi itu harus bertahan berbulan-bulan tanpa listrik.
Tony Abletes tinggal di ibukota Filipina, Manila, pada saat Topan Haiyan melanda, dan ia masih mengingat bagaimana ia mengkhawatirkan keluarganya di Samar.
"Saya sedang menelepon ibu saya ketika telepon mati (terputus),” katanya.
"Selama lima hari, saya tidak tahu apakah dia masih hidup,” tambahnya.
Baik Ogania maupun Abletes tinggal di garis terdepan dampak krisis iklim, dan bergulat dengan trauma, karena harus bertahan hidup dengan dampak cuaca ekstrem.
Menjelang akhir tahun 2024, Filipina dihantam enam badai besar dalam waktu kurang dari sebulan.
Pada bulan November, Topan Usagi membanjiri desa-desa, mematikan aliran listrik, dan membuat ribuan orang mengungsi. Beberapa hari sebelumnya, Topan Toraji menyebabkan banjir dan memaksa lebih dari 82.000 orang mengungsi dari rumah mereka di provinsi utara.
Bagi Ogania, Abletes, dan warga lainnya yang tinggal di komunitas pesisir seperti Samar, krisis iklim telah menjadi pertempuran sehari-hari untuk bertahan hidup.
Negara-negara yang rentan terhadap bencana alam yang terkait dengan pemanasan global, termasuk Filipina, telah lama meminta bantuan keuangan untuk mengatasi kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh peristiwa cuaca yang menghancurkan.
Konferensi iklim PBB tahun 2022 di Mesir, COP27, menghasilkan apa yang dianggap sebagai "kesepakatan bersejarah” untuk membentuk dana kerugian dan kerusakan. Dana Kerugian dan Kerusakan (L&D) secara resmi diluncurkan setahun kemudian pada COP28 di Dubai.
Dana ini memberikan kompensasi kepada negara-negara berkembang yang hanya berkontribusi kecil terhadap pemanasan global, namun menghadapi dampak terburuknya, meliputi kerugian seperti mata pencaharian yang hancur, infrastruktur dan keanekaragaman hayati.
Dengan mewajibkan negara-negara kaya dengan tingkat polusi tinggi untuk berkontribusi, dana ini berupaya mengatasi ketidakadilan pemanasan global. Pada tahun 2024, Filipina terpilih sebagai tuan rumah Dewan L&D Fund untuk menyusun strategi penyaluran dana dan mengatasi kebutuhan iklim yang mendesak.
John Leo Algo, koordinator nasional Aksyon Klima, sebuah jaringan masyarakat sipil untuk aksi iklim, mengatakan kepada DW, L&D Fund harus berfungsi sebagai hibah, bukan perjanjian pembiayaan.
"Dana yang disalurkan dari L&D Fund tidak boleh membebani negara-negara yang sudah rentan terhadap krisis iklim,” ujarnya, seraya menyebut skenario seperti itu ”tidak dapat diterima dan tidak adil.”
Algo mengatakan, dana tersebut harus memprioritaskan masyarakat yang terkena dampak iklim, memastikan aksesibilitas dan ketersediaan selama masa darurat.
Meskipun menjadi tuan rumah, Dewan Dana L&D tidak memberikan akses prioritas kepada Filipina, hal ini menyoroti pengalaman garis terdepan negara tersebut dalam menghadapi krisis iklim.
"Peran kami adalah untuk menginformasikan kepada dewan, tentang tren kerugian dan kerusakan yang muncul di seluruh dunia, karena kita telah mengalami beberapa risiko dan kerentanan tertinggi dalam beberapa tahun terakhir,” kata Mark Dennis Joven, anggota Dewan Dana Menanggapi Kerugian dan Kerusakan, kepada DW.
Namun, Joven mengakui adanya kesenjangan pendanaan yang kritis, dengan dana hanya $750 juta (lebih dari Rp12 Triilun) dalam bentuk janji yang diperoleh secara global - jauh dari miliaran US Dolar yang dibutuhkan.
"Kami harus bertindak cepat agar tidak kehilangan momentum,” katanya.
"Mengoperasionalkan dana dan mengerahkannya secara cepat, akan mendorong komitmen lebih kuat dari negara-negara donor", ujar Jovn menambahkan.
Joven juga menekankan pentingnya pengarusutamaan L&D sebagai pilar ketiga pendanaan iklim, di samping mitigasi dan adaptasi.
Seiring dengan berlanjutnya pembicaraan internasional mengenai L&D Fund, para pendukung di Filipina terus mendorong RUU Akuntabilitas Iklim (CLIMA), yang bertujuan untuk meminta pertanggungjawaban para penghasil polusi karbon terbesar, dengan menciptakan sebuah dana untuk korban kerugian dan kerusakan iklim serta mengaitkan reparasi dengan tanggung jawab perusahaan.
RUU CLIMA ini mirip dengan tindakan legislatif baru-baru ini di Amerika Serikat.
Di bawah undang-undang yang telah ditandatangani, negara bagian New York, Amerika Serikat, akan mendenda perusahaan bahan bakar fosil sebesar 75 miliar dolar AS selama 25 tahun, untuk menutupi biaya kerusakan iklim, dengan dana yang diarahkan untuk memitigasi dampak, misalnya dengan mengadaptasi infrastruktur.
New York mengikuti Vermont, yang mengesahkan undang-undang serupa pada musim panas, keduanya mencontoh undang-undang dana abadi yang mengharuskan pencemar untuk membayar pembersihan limbah beracun.
Dorongan untuk akuntabilitas ini menggemakan upaya global. Virginia Benosa-Llorin, juru kampanye senior Greenpeace Filipina kepada DW mengatakan, para pencemar harus menghadapi konsekuensinya.
"Setiap negara harus memastikan bahwa pencemar terbesar harus membayar. Tanpa tindakan ini, hidup dan mati dampak perubahan iklim akan menjadi hal yang biasa.” Kata Benosa-Llorin.