Pengamat: Penghapusan Presidential Threshold Kembalikan Marwah MK Sebagai Penjaga Demokrasi
Malvyandie Haryadi January 03, 2025 10:34 PM

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar kepemiluan dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan putusan penghapusan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden telah mengembalikan Mahkamah Konstitusi (MK) pada jalurnya sebagai penjaga demokrasi. 

Mengingat belakangan sejumlah putusan MK terkait pesta demokrasi sempat diwarnai kontroversi yang melibatkan hakim konstitusi, hingga berujung lahirnya Majelis Kehormatan MK (MKMK) untuk menyidangkan pelanggaran etik para hakim konstitusi yang dilaporkan masyarakat.

“Jadi dengan segala dinamika yang terjadi dengan Mahkamah Konstitusi, ternyata MK telah kembali kepada identitas sesungguhnya sebagai penjaga demokrasi dan penjaga konstitusi,” ujar Titi kepada wartawan, Jumat (3/1/2025).

Titi mengatakan putusan penghapusan presidential threshold oleh MK sudah selaras dengan esensi Undang - Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa pembatasan pengusungan calon presiden dan wakil presiden adalah inkonstitusional. 

Imbas putusan tersebut, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini meyakini pelaksanaan Pilpres 2029 akan jauh lebih inklusif dan masyarakat, khususnya pemegang hak suara bisa memiliki banyak pilihan pasangan calon presiden.

Selain itu jika pilihan paslon semakin banyak, hal ini juga berdampak pada hilangnya polarisasi atau keterbelahan masyarakat karena minimnya paslon yang maju pencalonan Pilpres.

“Jadi ini luar biasa ya, 2029 Pilpres kita akan lebih inklusif, masyarakat akan lebih punya banyak pilihan,” ungkap Titi.

Sebagaimana diketahui Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus syarat ambang batas  pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT). 

Dalam aturan sebelumnya, hanya parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya yang bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.

Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

Selain itu setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan adanya upaya agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.

Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

Bahkan jika pengaturan ini dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden ikut terjebak dengan calon tunggal.

Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya kotak kosong. Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat untuk menyediakan banyak pilihan paslon.

 


“Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.