Putusan MK Hapus Presidential Threshold Berpotensi Memperparah Polarisasi
Dewi Agustina January 04, 2025 09:32 AM

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan progresif dengan membatalkan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. 

Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, menyambut baik langkah ini, namun menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap implikasi dari keputusan tersebut.

Karyono mengatakan, putusan MK memberikan hak yang sama bagi seluruh partai politik peserta Pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

"Sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan untuk memilih figur capres dan cawapres," kata Karyono, saat dihubungi, Sabtu (4/1/2025).

Namun, dia meminta agar putusan tersebut dicermati terutama implikasi pengaturan pelaksanaan dan kontestasi Pilpres ke depan.

Karyono mengingatkan, dihapusnya ambang batas pencalonan presiden dapat membuka peluang munculnya banyak kandidat, sebanding dengan jumlah partai politik peserta Pemilu. 

Menurutnya, hal ini berpotensi menimbulkan kompetisi tidak sehat dan memperparah polarisasi di masyarakat.

Karyono menjelaskan, MK sendiri dalam amar putusannya sudah mengantisipasi potensi munculnya banyak calon. 

"MK meminta lembaga pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusi (constitution engineering) termasuk di dalamnya harus memperhitungkan agar calon presiden dan wakil presiden tidak terlalu banyak, supaya tidak mengganggu hakikat pemilihan langsung oleh rakyat untuk menghasilkan Pemilu yang demokratis dan berintegritas," tegasnya.

Selain itu, Karyono menyoroti tantangan berat dalam pelaksanaan Pemilu jika banyak kandidat bersaing. 

Beban kerja penyelenggara Pemilu dapat meningkat signifikan, mengulang tragedi Pemilu 2019 ketika banyak petugas Pemilu meninggal dunia akibat kelelahan.

Karyono juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap budaya politik transaksional yang kerap terjadi dalam Pemilu. 

Dia menyebut praktik seperti politik uang, intimidasi, kampanye hitam, dan manipulasi suara sebagai ancaman serius bagi kualitas Pemilu dan integritas calon terpilih.

"Oleh karena itu, jika kondisi tersebut masih belum diperbaiki, maka banyaknya calon presiden alternatif belum tentu menghasilkan Pemilu dan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas," jelas Karyono.

Dengan banyaknya calon presiden, Karyono memperkirakan peluang terjadinya Pilpres dua putaran semakin besar. 

Hal ini, menurutnya, akan berdampak pada meningkatnya biaya Pemilu dan memperkuat budaya politik transaksional saat proses koalisi berlangsung.

"Terbukanya partai politik peserta Pemilu dalam mengajukan pasangan calon tetap masih terbuka peluang koalisi. Tetapi hasrat koalisi di awal awal berpotensi berkurang karena parpol merasa bisa mengusung paslon sendiri. Kemungkinan hasrat koalisi akan meningkat jika terjadi dua putaran," ucap Karyono.

Karyono menambahkan, pendidikan politik bagi masyarakat juga perlu ditingkatkan untuk mengatasi rendahnya pemahaman politik di akar rumput. 

Hal ini penting agar masyarakat mampu berpartisipasi dalam pemilu secara sadar dan bertanggung jawab.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.