Geger Pacinan, ketika Orang Tionghoa dan Jawa Bersatu Melawan Kompeni
Moh. Habib Asyhad January 04, 2025 11:34 AM

[CUKILAN BUKU]

Perang paling besar yang pernah dihadapi VOC di Pulau Jawa bukan melawan raja, tetapi melawan laskar gabungan Jawa dan Tionghoa, yang dikenal sebagai Perang Sepanjang atau Perang Kuning 1740–1743.

Pencukil: Mayong S. Laksono dari buku Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC (2013) oleh Daradjati

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Kabupaten Pati, Jawa Tengah, 6 April 1742, Raden Mas Garendi yang baru dinobatkan sebagai Raja Mataram dan bergelar Sunan Amangkurat V Senopati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama, sedang masygul.

Sunan Pakubuwono II, yang semula berpihak kepada Laskar Tionghoa, sekarang ganti memusuhi mereka dan memihak Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), Serikat Dagang Hindia Timur, orang sering menyebutnya Kompeni.

Raja baru, yang memiliki nama lain Sunan Kuning, itu memang dekat dengan orang Tionghoa. Beberapa panglimanya berasal dari etnis itu. Dia tidak setuju dengan pendirian raja yang berubah-ubah, selain dia juga ingin membela orang Tionghoa.

Baru setahun sebelumnya, Agustus 1741, Sunan Pakubuwono II, Raja Mataram yang bertakhta di Kartasura, memberi perintah kepada seluruh jajarannya untuk membantu Laskar Tionghoa dalam berperang melawan VOC.

Tapi pada awal 1742 perintah tersebut dicabut dan diganti dengan perintah sebaliknya: memihak VOC dan memerangi Laskar Tionghoa.

Para pangeran, juga panglima Laskar Tionghoa seperti Singseh dan Sepanjang, sepakat untuk menentang perintah itu karena secara de jure Pakubuwono II sudah diganti oleh Amangkurat V. Bupati yang mendukung VOC sudah dikalahkan.

PB II meminta bantuan VOC. Hugo Verijsel, Komisaris VOC di Semarang ketika itu heran kok bisa pasukan Pakubuwono II kalah oleh ratusan "Orang Tjina". Kompeni tidak tahu, Laskar Tionghoa asli hanya kecil jumlahnya, yang lebih besar tentara Jawa.

Verijsel enggan mengirim pasukan karena harus melewati rawa-rawa, lagipula sedang musim hujan. Setelah berkonsultasi dengan Batavia, Verijsel akhirnya mengirim satu detasemen tentara VOC ke Kartasura.

Ketika pertempuran dengan laskar Amangkurat V dan Tionghoa, VOC memberi lagi satu garnisun. Tentu dengan balasan yang menguntungkan: penangkapan sejumlah tokoh yang dianggap berbahaya, pembatasan wilayah operasi pasukan, juga klaim-klaim dan konsesi kekuasaan.

Wilayah Madura, misalnya, diminta oleh VOC. Tapi semua itu malah membuat pemberontakan makin sengit. Wilayah yang direbut pasukan Tionghoa dan Amangkurat V makin luas, makin banyak bupati yang membelot dari Pakubuwono II.

Kapitan Sepanjang

Jan Pieterszoon Coen menaklukkan Jayakarta pada tahun 1619. Kota tersebut oleh orang Belanda diganti dengan nama Batavia. Sejak itu pelabuhan dibangun, kanal-kanal digali, benteng-benteng didirikan, dan kota dikembangkan.

Pembangunan kota, selain menjadikan para pemborong kaya, juga mengakibatkan datangnya pada pekerja migran untuk mencari nafkah.

Kota Batavia nyaman untuk dihuni, sementara daerah sekelilingnya merupakan kawasan subur. Oleh para imigran Tionghoa maupun Eropa daerah itu dikembangkan untuk pertanian dan industri, terutama gula.

Namun pada 1740 perekonomian Batavia mengalami kemunduran. Pembangunan dihentikan. Sementara industri gula juga surut.

Hutan-hutan sumber bahan bakar kritis, perlu jarak yang lebih jauh untuk mendapatkan kayu, perlu biaya lebih tinggi untuk memproduksi gula. Sementara di negara lain seperti Taiwan, Filipina, Malaka, Benggala, dan Hindia Barat produksi gula tumbuh.

Bagi Kompeni, kondisi tersebut merugikan. Untuk bersaing di pasar internasional harga gula harus diturunkan, akibatnya para produsen gula rugi.

Keresahan mencuat, pengangguran meningkat, angka kriminalitas melesat. Tapi, keadaan itu tidak menyurutkan minat para pendatang dan imigran, termasuk orang Tionghoa – baik secara legal maupun ilegal ke Batavia.

Sebetulnya sudah lama VOC melakukan pembatasan terhadap imigran Tionghoa. Mulai tahun 1690 diberlakukan kuota imigrasi terhadap orang Tionghoa yang masuk ke Batavia.

Tapi pendatang dari Tiongkok tetap banyak, terutama melalui pantai yang tak terjangkau pengawasan Kompeni. Karena tidak terdata, mereka tidak membayar pajak.

Agar terhindar dari tangkapan aparat, mereka - terutama para imigran/pekerja di perkebunan luar kota - membayar uang perlindungan kepada aparat polisi dan antek-anteknya. Kalau tidak membayar, mereka diancam deportasi atau dibuang ke Sri Langka.

Lama-lama para pekerja ilegal itu menjadi sapi perah bagi aparat korup.

Ketentuan diubah pada 1696, dan itu semakin memberatkan orang Tionghoa. Setiap Singkek (Mandarin Sin Ge, dibaca Sin Ke, artinya Tamu Baru) diharuskan membayar 15 ringgit.

Namun di lain pihak, pada 26 Mei 1706, VOC melonggarkan batasan 50 penumpang setiap kapal jung menjadi 80-100 orang, tetapi dengan kewajiban membayar bea 1.000 ringgit untuk jung besar dan 500 ringgit untuk jung kecil.

Bilangan penduduk Tionghoa kembali meningkat. Kalau tahun 1719 tercatat 7.550 jiwa, pada 1739 menjadi 10.574 jiwa. Jumlah sebenarnya pasti jauh di atas itu, mengingat banyak imigran Tiongkok yang masuk ke Batavia secara ilegal.

Untuk mengurangi imigran ilegal, razia rutin dilakukan. Pendatang ilegal yang tertangkap diharuskan membayar dua ringgit untuk memperoleh izin menetap.

Perkembangan selanjutnya, pada 1738 Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengeluarkan keputusan: semua warga Tionghoa, baik yang telah memiliki izin menetap maupun belum, diharuskan memiliki izin baru yang disebut permissie brief dengan syarat tiap orang harus membayar dua ringgit.

Banyak Tionghoa pendatang yang dijadikan bulan-bulanan aparat, ditangkap dan dilepas lagi, ditangkap lagi. Semua itu tak jauh dari motif ekonomi karena keuangan VOC sedang merosot tajam.

Harga rempah-rempah di Eropa jatuh, dan dalam perdagangan, terutama komoditas kopi, mereka kalah bersaing dengan Kompeni Inggris EIC (East India Company).

Suasana Batavia saat itu mencekam karena timbul wabah penyakit disentri dan kolera. Suasana berubah jadi kacau ketika menjelang perayaan Imlek 1740, Kompeni melakukan penangkapan besar-besaran terhadap orang Tionghoa yang dicurigai tidak memiliki izin.

Ini menimbulkan perlawanan dari orang Tionghoa yang merasa sebagai pendatang yang sah. Ketika Kompeni represif, mereka bertindak agresif.

Menurut laporan Kepala Personalia VOC De Roy kepada Gubernur Jenderal Valckenier 4 Februari 1740, orang-orang Tionghoa mulai menyerang penjara untuk membebaskan kawan-kawan mereka yang ditahan.

Gubernur Jenderal meminta saran dari Dewan Hindia, tapi jawaban pada 25 Juli 1740 malah memperburuk situasi: warga Tionghoa, baik memiliki izin menetap atau tidak, apabila dicurigai melakukan perbuatan tidak baik akan ditangkap, dan mereka yang belum mempunyai pekerjaan tetap akan dibuang ke Sri Lanka.

Kerusuhan merebak. Kapitan Tionghoa Batavia yang diangkat Kompeni sejak 1736, Nie Hoe Kong, tidak bisa mengatasi kekacauan karena tidak memiliki kontrol terhadap bekas pekerja pabrik gula yang bangkrut di luar kota.

Para buruh itu di bawah kendali para mandor dan phothia, operator pabrik. Merekalah yang memimpin para buruh menghadapi ancaman, termasuk razia oleh aparat VOC.

Pada September 1740 terlihat sekitar 1.000 orang Tionghoa bergerombol di sebuah pabrik gula di Gandaria (kini wilayah Jakarta Selatan). Mereka dipimpin oleh seseorang yang di kalangan Kompeni disebut Khe (Que) Panjang.

Oleh orang Jawa, tokoh yang kelak menempati posisi sentral dalam Perang Tionghoa di Jawa ini disebut Sepanjang atau Kapitan Sepanjang.

Banyak versi mengenai tokoh ini. Ada sumber yang mengatakan nama aslinya Souw (Oey) Phan Chiang, Wang Tai Pan, atau Tay Wan Soey. Nama terakhir ini disebut sebagai pemimpin pemberontak Tionghoa yang diajak berunding oleh VOC melalui Van Imhoff dan Van Aarden namun menolak.

Menurut para ahli sejarah, antara lain B.J. Veth dan Du Bois, Tay Wan Soey adalah saudara lain ibu dari Kaisar Kin Lung/Kian Liong (Qian Long) yang dibuang ke luar Tiongkok karena dicurigai akan memberontak. Ada juga dugaan nama Tay Wan Soey berasal dari Tay Guan Soey yang berarti “orang yang mengepalai pasukan”.

Jadi dia bukan nama orang, tapi julukan yang diduga memimpin pemberontakan di Tiongkok lalu melarikan diri ke Jawa dan memimpin pemberontakan terhadap Kompeni.

Meski keterangan yang menyangkut nama Tay Wan Soey atau Khe Panjang berbeda di sana-sini, ada satu petunjuk yang sama, yakni dia orang yang belum lama datang dari Tiongkok. Sebutan Khe atau Que berasal dari kata Singkek.

Orang yang baru datang itu dikenali dengan potongan rambutnya yang dikuncir (tauchang) – walaupun ketika sudah membaur di tanah rantau kuncir lambang ketaatan pada bangsa Manchu itu dipotong.

Berawal dari Gandaria, para pemberontak menyerang pos-pos Kompeni di pinggiran kota seperti Tangerang, Meester Cornelis (Jatinegara), dan De Qual. Kompeni memberlakukan jam malam dan larangan ke luar kota bagi para perempuan Tionghoa.

Yang taat akan mendapat kemudahan, sedangkan yang membangkang akan dibunuh. Kekacauan makin menjadi. Banyak orang Tionghoa tak berdosa menjadi korban.

Pemberontak membalas secara sporadis, Kompeni melakukan razia dari rumah ke rumah yang berujung pada penjarahan dan pembunuhan. Gubernur Jenderal Valckenier mengerahkan seluruh kekuatan militer di Batavia untuk membantai orang Tionghoa.

Golongan masyarakat lain diancam agar mau ikut membantai. Tak kurang dari 500 orang Tionghoa dibunuh dan 600 rumah/bangunan milik orang Tionghoa hancur.

Peristiwa itu terdengar hingga ke luar kota. Pemberontak Tionghoa membalas dengan menyerang pos-pos Kompeni di luar kota. Perang sengit berlangsung. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Nama Rawa Bangke diduga ada hubungannya dengan peristiwa ini.

Kapten Nie Hoe Kong diadili karena dituduh menjadi bagian dari pemberontakan. Dia kemudian dibuang ke Maluku.

Gubernur Jenderal Valckenier sendiri dijatuhi mosi tidak percaya oleh Dewan Hindia. Dia digantikan oleh Van Imhoff yang kemudian juga pusing oleh pemberontakan Tionghoa.

Valckenier yang berada di Afrika Selatan dipanggil lagi ke Jakarta dan diadili. Pengadilan berlarut-larut, hingga dia meninggal pada 20 Juni 1751, perkaranya belum diputus.

Pemberontak yang terdesak melakukan konsolidasi ke wilayah timur. Selain Kapten Sepanjang, nama lain yang memimpin pasukan pemberontak pasca-pembantaian Oktober 1740 adalah Pibulung.

Kemudian mereka juga terlibat dalam pemberontakan melawan kerajaan Jawa. Kesannya, para pemberontak Batavia menggeser kawasan perang ke timur, tapi sebenarnya di masa sebelumnya mereka telah memberontak terhadap pos-pos Kompeni di Jawa Tengah. Ketika para bupati dan raja bersekongkol dengan VOC, mereka memberontak.

Nyonya Manten dan Tionghoa Peranakan

Pada 1292 di Karimunjawa, pulau kecil di sebelah utara Kota Jepara, Jawa Tengah, mendarat ribuan tentara Tiongkok yang terdiri atas prajurit Mongol dan Tionghoa. Oleh masyarakat Jawa, mereka biasa disebut sebagai orang Tartar.

Mereka adalah tentara Kubilai Khan, penguasa Mongol di Tiongkok dari Dinasti Yuan. Pada 1289 dia mengirim seorang duta bernama Meng K’i ke Kerajaan Singasari di Jawa Timur.

Alih-alih diterima, duta tersebut oleh Raja Singasari, Kertanegara, disakiti dengan cara mukanya dirusak dan telinganya dipotong.

Tentu saja Raja Tiongkok amat marah melihat perlakuan itu. Dia mengirim ekspedisi militer yang dipimpin oleh Kau Hsing. Tapi ketika mereka sampai di Singasari, Raja Kertanegara sudah wafat dan tahtanya direbut oleh Jayakatwang.

Menantu Kertanegara, Raden Wijaya, membujuk pasukan Kau Hsing untuk menyerang Jayakatwang dengan janji kalau berhasil akan mendapat setengah wilayah Singasari. Ternyata ketika kemenangan diraih, Raden Wijaya ingkar janji.

Maka pasukan Tiongkok pun marah dan kedua pihak berperang. Di masa perang, sebagian tentara Tiongkok yang terpisah dari induk pasukannya kemudian menetap di sekitar pesisir Jawa Timur dan beranak pinak dari perempuan setempat.

Sesudah itu tidak pernah lagi terdengar pengiriman pasukan perang Tiongkok ke Jawa. Pada masa itu bangsa Tiongkok dan Eropa sama-sama memiliki pasukan laut yang kuat.

Orang Tiongkok telah tiba di Nusantara sebelum orang Eropa datang. Konon orang Tionghoa yang menemukan mesiu yang kemudian dikembangkan di Eropa selepas pengembaraan Marco Polo.

Tapi kedua bangsa menempuh jalan yang berbeda. Bangsa Eropa memilih hegemoni wilayah, sedangkan bangsa Tionghoa lebih suka meraih tujuan melalui perdagangan dan pengaruh budaya. Secara umum orang Tionghoa terkesan selalu menghindar dari konflik.

Ekspedisi besar dari Tiongkok tiba lagi di Jawa sekitar tahun 1405-1433, dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho (bernama asli Ma He Ma, kependekan dari Muhammad di Tiongkok), berasal dari Yunan. Dia seorang Muslim yang taat, putra seorang haji, sekaligus orang kepercayaan Zhu Di dari Dinasti Ming.

Kaisar inilah yang memerintahkan Cheng Ho keliling dunia. Pada 1407 Cheng Ho mendirikan sekolah bahasa di Nanjing untuk mendidik para penerjemah agar memudahkan dia berkomunikasi dengan penguasa di tempat-tempat yang ditujunya. Sejak kedatangan Cheng Ho, imigran Tiongkok di Jawa makin banyak.

Kota paling penting yang disinggahi Cheng Ho di Jawa adalah Semarang, meski tidak semua imigran Tiongkok melalui Semarang.

Banyak juga yang singgah di Banten atau Sunda Kelapa. Kota-kota pelabuhan penting adalah Jepara, Juwana, Tuban, Gresik, dan Pasuruan yang merupakan wilayah Kerajaan Mataram.

Selain penumpang, armada laut juga membawa barang dagangan seperti porselen, sutera, tekstil, kertas, dll. Mata uang yang digunakan Real Spanyol dan mata uang Tionghoa Tangci (orang Jawa menyebutnya Gobang, orang Bali menyebut Kepeng). Sementara di masyarakat berlaku juga uang VOC.

Para tukang dan perajin Tionghoa membawa perubahan besar dalam teknologi pembuatan rumah, terutama pembuatan batu bata dan genteng. Dalam bidang pertanian, mereka mengolah tebu menjadi gula dan diperdagangkan.

Mereka juga membuat kertas dan barang-barang lain. Dalam jangka panjang pengaruh mereka ada dalam arsitektur, kesenian, dll. Mereka membangun sentra-sentra industri dan perdagangan, juga sentra ekonomi seperti pasar.

Oleh karena orang Tionghoa merantau tanpa disertai perempuan, di tanah baru mereka berasimilasi dengan penduduk setempat, kawin, dan berketurunan. Perempuan yang diperistri pendatang Tionghoa disebut Nyonya Manten, sedangkan anak hasil perkawinan mereka disebut Tionghoa Peranakan.

Di antara orang Tionghoa sendiri sering timbul perselisihan. Maka pihak VOC membentuk birokrasi dan administrasi kependudukan. Diangkatlah beberapa orang dengan pangkat tituler, mulai dari letnan, kapten, sampai mayor.

Pengganti J.P. Coen, Anthony Van Diemen, membuat undang-undang tentang perusahaan, "Ketentuan Batavia".

Dalam rangka membangun Batavia sebagai kota yang modern, dia membangun rumah-rumah bergaya Eropa, kanal dengan jembatan, dua gereja, juga mendorong tumbuhnya sektor industri, terutama gula yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa.

Tapi sampai Gubernur Jenderal Van Diemen meninggal di Batavia pada 1646, kesepakatan dengan Mataram belum ada. Baru pada Februari 1677 dibuat perjanjian, VOC akan membantu raja melawan musuhnya, dengan syarat raja harus membayar semua biaya yang dikeluarkan.

Raja juga harus memberi konsesi ekonomi kepada Kompeni. Perjanjian pertama kali diterapkan saat Kompeni membantu Amangkurat II untuk memukul pasukan Trunajaya dari Surabaya. Trunajaya tertangkap pada 1679, namun tak semua janji Amangkurat II kepada Kompeni dipenuhi.

Kompeni makin sering terlibat dalam konflik bersenjata. Mereka memerlukan pasukan lebih banyak dan persenjataan yang lebih modern. Armada VOC pada tahun 1650 memiliki 100-150 kapal, dan sampai awal abad ke-18 memiliki 8.000-an serdadu profesional.

Tapi usaha dagang Kompeni tak selamanya untung. Tidak setiap kali mereka bisa menggaji tentara, pegawai, tukang dan pekerja (yang sebagian juga warga Tionghoa kelas bawah).

Di antara 23 kantor VOC di Asia, hanya tiga yang menghasilkan keuntungan sepanjang tahun, dan sembilan kantor selalu merugi. Selain kalah dalam perdagangan rempah-rempah di Eropa, harga gula juga merosot.

Penjualan tekstil merosot 90% karena pertumbuhan industri tekstil dalam negeri yang dikelola Bumiputera dan Tionghoa Peranakan. Upaya monopoli candu juga tidak berhasil karena daya beli masyarakat Jawa melemah.

Pada saat yang sama, VOC juga digerogoti virus korupsi. Ketika Gubjen Cornelis Janszoon Speelman meninggal tahun 1684, terbongkarlah aneka penyalahgunaan wewenang dan mark-up yang dilakukannya. Juga laporan-laporan keuangan fiktif.

Karena terpepet oleh kebutuhan uang, Kompeni jadi banyak menuntut kepada rakyat dan raja yang mereka taklukkan. Rakyat jadi muak hingga timbul pemberontakan di banyak tempat.

Huru-hara yang terjadi di Banten, Riau, dan pelbagai tempat di luar Jawa makin menguras keuangan VOC. Malah ketika Gubjen Willem Van Outhoorn (1691-1704) menolak diganti Johan Van Hoorn sehingga VOC memiliki dua orang Gubjen, kondisi VOC sedang lemah-lemahnya.

Musuh Kompeni di Eropa, yakni Portugis, juga sudah kehilangan taringnya. Sayang, para penguasa di Jawa tidak dapat memanfaatkan momentum ini.

Sultan Haji di Banten baru sibuk merebut kekuasaan dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan rakyat Mataram juga letih oleh perang berkepanjangan. Maka Kompeni pun melakukan konsolidasi.

Tidak pernah menyerah

Kembali ke pembantaian di Batavia, Oktober 1740. Pasukan Kapten Sepanjang yang terdesak bergeser ke arah timur.

Perjuangan mereka menginspirasi orang Tionghoa di tempat lain untuk menyerang pos-pos Kompeni. Di Majawa, Pati, Februari 1741 mereka membunuh Kopral Claas Lutten dan menjarah kemudian membakar rumahnya.

Pada bulan April, gerombolan yang lebih besar di bawah pimpinan Singseh (Tan Sin Ko) muncul di Tanjung Welahan (dekat Demak). Kompeni meminta bantuan para penguasa daerah, tapi kebanyakan tak dipenuhi karena orang Jawa tidak pernah memusuhi orang Tionghoa.

Kalaupun ada pasukan bupati yang memerangi Laskar Tionghoa, di Cirebon, misalnya, dilakukan setengah hati karena takut dikira ikut memberontak.

Ketika perlawanan mengarah ke timur dan selatan, VOC meminta bantuan tentara Madura dan Kartasura di bawah Pakubuwono II. Tapi raja malah menyindir, "Bukankah orang Tionghoa di bawah VOC? Belum pernah terjadi tentara Mataram menahan orang Tionghoa."

Tapi Pakubuwono II memang dalam posisi bermusuhan dengan pasukan Raden Mas Garendi (Sunan Kuning, Amangkurat V) yang dibantu pasukan Tionghoa.

Kompeni mengerahkan pasukan dari Madura, dari Mandar dan Makassar di Sulawesi, serta dari Ternate di Maluku untuk membantu Pakubuwono II. Pertempuran pecah dan berbuntut pada tercerai-berainya pasukan pemberontak.

Pasukan Tionghoa terhenti di Lasem dan melakukan konsolidasi di sana.

Dalam peperangan selanjutnya, Amangkurat V dibantu Kapitan Sepanjang dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa akhirnya tak kuasa menahan gempuran 1.007 serdadu (223 di antaranya serdadu Eropa) VOC di bawah Van Hohendorff (3 Juni 1743).

Pada 14 Juni pecah pertempuran antara pasukan Raden Mas Said yang kelak menjadi Mangkunegara I bersama Raden Penghulu, tokoh pemberontak di Jawa Timur, dan Wangsadipa yang dibantu VOC.

Pemberontak mendapat bantuan dari pasukan Tionghoa di bawah Kapten Sepanjang dan cucu Untung Surapati yang menguasai daerah Bangil, Pasuruan, serta Surabaya.

Pada 2 Desember 1743, Sunan Kuning datang ke Loji Kompeni di Surabaya yang menurut saksi mata dengan kemegahan. Tapi menurut sumber lain, Sunan masuk ke perangkap VOC untuk berunding dan ditangkap.

Kapitan Sepanjang yang sebelumnya berpisah dari Sunan Kuning memang tidak pernah mau berunding. Dia terus ke arah timur bersama pasukannya dan menyerang pos-pos Kompeni.

Beberapa kali dia nyaris tertangkap, tetapi selalu lolos. Dari Blambangan di ujung timur Jawa Timur, dia menyeberang ke Bali dan meminta perlindungan dari raja-raja setempat.

Para raja menaruh simpati kepada tokoh yang menurut catatan Kompeni tidak pernah menyerah atau tertangkap itu. Setelah tiga tahun melakukan perlawanan yang menyulitkan Kompeni, jejak Kapiten Sepanjang hilang.

Ke mana perginya?

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.