TIMESINDONESIA, LUMAJANG – Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut, kembali menunjukkan aktivitas vulkaniknya pada Sabtu, (4/1/2025). Rentetan erupsi yang tercatat sepanjang hari memberikan pengingat akan pentingnya kewaspadaan terhadap potensi bahaya vulkanik.
Petugas Pos Pengamatan Gunung Semeru, Liswanto, melaporkan bahwa Gunung Semeru erupsi pertama terjadi pada pukul 00.09 WIB, diikuti dengan 16 letusan lainnya hingga malam hari.
Letusan paling signifikan terjadi pukul 20.15 WIB, dengan kolom abu setinggi 700 meter di atas puncak, menjangkau ketinggian 4.376 mdpl. Kolom abu berwarna putih hingga kelabu terpantau bergerak ke arah utara dengan intensitas sedang.
Aktivitas vulkanik ini disertai suara gemuruh yang menciptakan suasana tegang di kawasan sekitarnya.
Liswanto juga mencatat letusan sebelumnya pada pukul 19.27 dan 19.41 WIB, meski tidak semua erupsi disertai visual yang dapat diamati secara langsung. Namun, semua aktivitas ini menjadi indikator bahwa Gunung Semeru tetap dalam kondisi dinamis dan berpotensi menghadirkan bahaya lanjutan.
"Sebelumnya pada pukul 19.41 WIB juga mengalami erupsi dengan visual letusan tidak teramati. Saat laporan itu dibuat, erupsi masih berlangsung," tuturnya.
Gunung Semeru saat ini berada pada status waspada (Level II). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk menjaga keselamatan masyarakat.
Zona Larangan Aktivitas:
Kewaspadaan terhadap Potensi Bahaya:
Meski frekuensi erupsi meningkat, aktivitas warga di sekitar lereng gunung tetap berjalan normal. Mereka tetap mematuhi rekomendasi PVMBG dan menjauhi zona bahaya. Kesiapsiagaan masyarakat menjadi faktor kunci dalam meminimalkan risiko.
Pemerintah daerah bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terus mengedukasi warga terkait potensi ancaman erupsi dan langkah evakuasi jika situasi memburuk.
Gunung Semeru memiliki sejarah panjang aktivitas vulkanik yang tidak hanya berdampak pada lingkungan sekitar, tetapi juga pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Aliran awan panas dan guguran lahar menjadi ancaman yang nyata, terutama saat musim hujan. Oleh karena itu, penguatan infrastruktur mitigasi bencana seperti jalur evakuasi, tempat penampungan sementara, dan alat pemantauan real-time sangat dibutuhkan.
Selain itu, integrasi teknologi modern seperti drone untuk memantau aktivitas kawah dan penggunaan sistem peringatan dini berbasis data seismik bisa meningkatkan efisiensi mitigasi bencana.