TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Bahtra Banong, berharap agar publik bisa bersabar menunggu revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), sebagai respons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) 20 persen.
Sebab menurutnya, putusan MK itu harus diiringi evaluasi secara keseluruhan pelaksanaan pemilu serentak mulai dari Pilpres, Pileg maupun pilkada, termasuk penataaan sistem pemilu ke depan.
"Pilpres masih 2029. Artinya, kita punya banyak waktu untuk mengevaluasi dan menata sistem pemilu kita ke depan. Jadi bersabar. Kami dari Fraksi Gerindra berkomitmen menata sistem pemilu kita lebih baik," kata dia kepada wartawan Minggu (5/1/2025).
Lebih lanjut, Bahtra Banong mengatakan Komisi II DPR RI menghormati MK melalui putusannya No 62/PUU-XXII/2024 yang diputus pada Kamis, 2 Januari 2025 lalu.
Dia menyebut, Komisi II DPR akan membahas putusan MK itu usai masa reses berakhir.
"Tapi pada intinya, sesuai usulan Komisi II ke Baleg dan Pimpinan DPR, agar merevisi UU paket politik dalam bentuk Omnibus Law politik. Artinya ini satu derap langkah kedepan dalam rangka memperbaiki sistem pemilu kita secara keseluruhan," pungkasnya.
MK dalam putusan terkait uji materi UU Pemilu, menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya diatur parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya.
Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, 2 Januari 2025.
MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.
MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.
Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.
Selain itu, setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.
Padahal, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.
Bahkan, jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.
Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong. Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.