P2G Tolak Jika Pemerintah Ingin Terapkan Lagi UN Sebagai Penentu Kelulusan, Ini Alasan Akademiknya
Acos Abdul Qodir January 05, 2025 02:34 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menanggapi wacana penerapan kembali Ujian Nasional (UN) pada tahun 2026.

Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri meminta Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tidak gegabah dalam menghidupkan kembali UN.

Menurutnya, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan Kemdikdasmen sebelum UN dicanangkan kembali.

Pertama, asesmen terstandar bagi murid yang diselenggarakan harus jelas tujuan, fungsi, anggaran pembiayaan, kepesertaan, instrumen, gambaran teknis, dan dampaknya.

"Jika UN digunakan sebagai penentu kelulusan siswa, ini jelas harus ditolak. Karena bersifat high-stakes testing bagi murid," kata Iman melalui keterangan tertulis, Minggu (5/1/2024).

Hal yang harus diperhatikan, kata Iman, adalah kriteria asesmen bagi murid yang bertujuan mengevaluasi sistem pendidikan.

Kriteria tersebut, yaitu asesmen dirancang sesuai tujuan sistem pendidikan, asesmen bersifat low-stake (tidak berisiko apapun terhadap capaian akademik murid), dan asesmen yang memuat informasi komprehensif dari segi input, proses, dan output pembelajaran.

Selain itu, Iman mengungkapkan UN pada masa lalu mencampuradukan fungsi asesmen sumatif bagi murid, formatif bagi sekolah.

Bahkan, dijadikan alat menyeleksi murid masuk ke jenjang pendidikan di atasnya dalam proses PPDB yang menggunakan nilai UN.

Nilai UN tertera di belakang ijazah sebagai bentuk sertifikasi (penyertifikatan) capaian belajar siswa.

"UN pada masa lampau sangat tidak adil, hanya berorientasi kognitif, mendistorsi proses pendidikan itu sendiri, dan mengkotak-kotakan mana mata pelajaran penting dan yang tidak," kata Iman.

Iman mengatakan, pada era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dan Muhadjir Effendi, UN tetap diadakan tapi tidak lagi sebagai penentu kelulusan.

Menurutnya, Mendikdasmen Abdul Muti bisa menerapkan kebijakan serupa.

Namun, tujuan, fungsi, skema, anggaran, kepesertaan, instrumen, teknis implementasi, dan dampaknya dari kebijakan UN itu harus jelas.

"Apakah ujiannya berbasis mata pelajaran, apa saja? Empat mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan mata pelajaran pilihan untuk SMA/SMK/MA? Atau justru semua pelajaran yang di-UN-kan?" ucap Iman.

Menurutnya, skema UN yang pernah dilakukan di SMA/SMK/MA yaitu 3 Mata Pelajaran Wajib ditambah 1 Mata Pelajaran Peminatan.

"Jelas ini mendiskriminasikan mata pelajaran wajib lainnya seperti Pendidikan Pancasila, PJOK, Seni Budaya dan Pendidikan Agama," tuturnya.

Menurut Iman, jika UN bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kurikulum, seharusnya semua mata pelajaran dalam Standar Isi yang diujikan.

Selain itu, jika UN berbasis mata pelajaran, risiko biaya akan besar. Biaya UN dulu menguras APBN sampai 500 milyar.

"APBN untuk Kemdikdasmen tahun 2025 saja hanya 33,5 triliyun. Rasanya anggaran UN yang besar itu akan mengganggu program prioritas pendidikan yang lain," tambah Iman.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti usai Taklimat Media Kemendikdasmen di Kantor Kemendikbudristek, Senayan, Jakarta, Selasa (31/12/2024).
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti usai Taklimat Media Kemendikdasmen di Kantor Kemendikbudristek, Senayan, Jakarta, Selasa (31/12/2024). (Fahdi Fahlevi)

P2G menilai perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan dalam rangka pengendalian mutu dan pencapaian standar nasional nasional sebagaimana perintah UU Sisdiknas.

Kemudian P2G berharap Pemerintah menghidupkan kembali lembaga mandiri dan independen yang berwenang melakukan evaluasi dan menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

Ketiga, P2G merekomendasikan agar Evaluasi Pendidikan Nasional (apapun namanya) yang akan dilaksanakan harus dilakukan secara terpadu, bersifat low-stakes, tidak berbasis mata pelajaran, dan fokus pada foundational skills.

Kemendikdasmen, kata Iman, hendaknya fokus kepada evaluasi untuk pemetaan kompetensi mendasar siswa atau foundational skills, yaitu kompetensi literasi dan kompetensi numerasi.

“Memang era Nadiem hingga sekarang ini sudah diadakan Asesmen Nasional (AN), tapi banyak kelemahannya," pungkas Iman.

Kelemahan AN, adalah metodologi pengambilan sampel yang kurang valid dan reliable.

Lalu konten dan model soal AN merupakan kombinasi model soal PISA dan TIMSS. Padahal keduanya memiliki indikator penilaian yang berbeda.

AN juga dianggap menciptakan diskriminasi kepada guru dan siswa yang minim akses internet, perangkat digital, dan listrik.

Fakta lainnya, soal AN lebih sulit daripada soal PISA dan TIMSS. 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.