JAKARTA -
Transformasi digital kini mutlak dalam pelayanan kesehatan. Pemerintah diharapkan untuk lebih serius mendorong seluruh pemangku kepentingan agar memperkuat digitalisasi dalam sektor kesehatan guna mewujudkan sistem kesehatan yang lebih efisien dan terjangkau. Transformasi ini tidak hanya menyentuh aspek teknologi, tetapi juga menyentuh berbagai elemen dalam pembangunan kesehatan secara keseluruhan.
"Peran berbagai pihak, termasuk organisasi profesi, institusi pendidikan, organisasi kemasyarakatan, sektor swasta, serta lembaga pemerintah, sangat penting dalam mewujudkan sistem kesehatan yang lebih baik. Kolaborasi yang solid antar stakeholder menjadi kunci mencapai tujuan," ujar Ketua PB Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FACP, FACG dalam pernyataannya, dikutip, Senin (6/1/2025).
Menurut dia kerja sama antara Kementerian Kesehatan dan stakeholder dalam membangun kesehatan hingga kini masih belum berjalan optimal. Menurutnya, untuk mencapai kemajuan yang signifikan dalam bidang kesehatan, kolaborasi antara semua pihak perlu ditingkatkan.
PGI sendiri, sebagai salah satu organisasi profesi, aktif berpartisipasi dalam berbagai aspek pembangunan kesehatan, terutama di bidang saluran cerna. Ini termasuk melaksanakan Continuing Medical Education (CME) untuk meningkatkan capacity building para dokter umum, spesialis, dan subspesialis di bidang gastroenterologi, serta melakukan riset multisenter dan uji klinik. PGI juga berkomitmen untuk terus mengedukasi masyarakat, baik melalui seminar, webinar, maupun media sosial.
Selain itu, PB PGI rutin melakukan pembaruan konsensus dalam bidang gastroenterologi berdasarkan bukti ilmiah yang dapat menjadi panduan bagi tenaga medis di seluruh Indonesia. Mereka juga mengirimkan pakar untuk memberikan pandangan ahli kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait obat-obatan baru yang akan beredar di Indonesia. Dalam hal ini, PGI turut aktif dalam penyusunan Health Technology Assessment (HTA) dan formulasi obat nasional.
Kementerian Kesehatan dalam satu tahun terakhir berusaha keras untuk melaksanakan Undang-Undang Kesehatan 17/2023 beserta peraturan pelaksananya, seperti PP No 28/2024. Namun, upaya tersebut belum berjalan mulus. Beberapa kebijakan yang terkesan terburu-buru justru menimbulkan kesan bahwa berbagai upaya yang telah dilakukan sebelumnya seakan terkubur begitu saja. Jika tidak diantisipasi dengan baik, benturan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, serta antara berbagai pihak di sektor kesehatan, dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
Transformasi kesehatan yang mencakup enam pilar utama, yaitu layanan primer, layanan rujukan, ketahanan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya kesehatan, dan teknologi, terus diupayakan melalui berbagai terobosan. Sejumlah aturan baru telah dibuat untuk mendukung pencapaian tersebut. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi adalah dalam hal implementasi, terutama terkait pemerataan akses layanan kesehatan dan evaluasi berkelanjutan.
Kendala utama yang masih dihadapi adalah kurang optimalnya kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat, termasuk pelaku kesehatan itu sendiri. Ego sektoral masih menjadi hambatan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Konsep Sistem Kesehatan Akademik (AHS) yang pertama kali dicanangkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya merupakan sebuah langkah yang tepat untuk memperkuat sinergi antara berbagai pihak terkait. Namun, pada kenyataannya, dukungan terhadap konsep ini tampaknya masih setengah hati.
Sistem Kesehatan Akademik (AHS) menyatukan peran Kementerian Kesehatan dengan rumah sakit vertikalnya, institusi pendidikan, serta pemerintah daerah. Konsep ini melibatkan berbagai elemen, mulai dari sumber daya manusia (SDM), fasilitas pendidikan, riset, hingga fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh institusi pendidikan. Implementasi yang konsisten dan dukungan penuh terhadap AHS dapat membantu mengatasi berbagai masalah kesehatan di Indonesia, termasuk dalam pelaksanaan 6 pilar transformasi kesehatan.
Melalui AHS, pembiayaan kesehatan dapat lebih efisien, distribusi tenaga kesehatan lebih merata, serta penelitian kesehatan inovatif dapat meningkat. Selain itu, AHS juga dapat mendukung upaya pencegahan penyakit yang lebih optimal. Konsep ini mendorong adanya resource sharing antara semua stakeholder yang terlibat dalam sektor kesehatan, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Riset kesehatan inovatif, terutama yang dilakukan oleh institusi pendidikan, harus didorong agar dapat menghasilkan produk-produk yang murah dan terjangkau oleh masyarakat. Salah satu langkah penting yang harus segera dilakukan adalah meningkatkan kemandirian dalam pembuatan obat, vaksin, dan alat kesehatan di dalam negeri. Beberapa perusahaan farmasi dalam negeri bahkan sudah berhasil menembus pasar negara-negara tetangga, yang menunjukkan potensi besar untuk produk kesehatan Indonesia.
Namun, pembiayaan BPJS yang tidak terbatas perlu dikendalikan untuk menghindari pemborosan. Selain itu, rekomendasi dari Health Technology Assessment (HTA) yang disusun oleh para ahli harus segera dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan. Hal ini penting agar biaya kesehatan dapat ditekan, serta mengurangi ketergantungan pada produk impor, sekaligus mendorong penggunaan produk inovasi lokal yang kualitasnya tidak kalah dengan produk asing.
Dukungan terhadap Produk Kesehatan LokalDi tengah tuntutan untuk mengurangi impor, Indonesia perlu mendorong penggunaan produk alat kesehatan dalam negeri, yang kualitasnya sudah setara dengan produk luar negeri. Negara-negara Asia, seperti India, Tiongkok, dan Turki, telah berhasil memproduksi alat kesehatan berteknologi tinggi, sementara Indonesia masih bergantung pada impor untuk beberapa produk, seperti aksesoris untuk tindakan endoskopi saluran cerna. Praktisi klinis di Indonesia tentu akan lebih senang menggunakan produk dalam negeri yang berkualitas apabila alat kesehatan tersebut tersedia di pasar.
Akhirnya, harapan untuk menciptakan Indonesia yang lebih sehat tetap ada. Untuk itu, profesi kedokteran dan institusi pendidikan kedokteran serta kesehatan harus terus dilibatkan dalam pembangunan kesehatan. Kolaborasi yang lebih erat antar pihak-pihak terkait sangat dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam hal pembangunan kesehatan, termasuk dalam hal implementasi transformasi digital dan teknologi dalam sistem pelayanan kesehatan. Hanya dengan upaya bersama, Indonesia dapat mewujudkan sistem kesehatan yang lebih baik, efisien, dan berkelanjutan.