TIMESINDONESIA, LOMBOK TIMUR – Isu mengenai kebijakan makan siang gratis yang akan diberlakukan oleh pemerintah untuk mendukung gizi anak memang menjadi topik hangat yang menarik untuk dibahas. Pemerintah menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memastikan anak-anak mendapatkan gizi yang cukup dan dengan harapan bisa mendukung kualitas pendidikan mereka.
Namun, dibalik kebijakan ini, muncul pertanyaan mendasar: Apakah benar makan siang bergizi dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan kecerdasan anak, ataukah ini hanya sebuah langkah politis semata yang memanfaatkan kebutuhan gizi sebagai alasan untuk memanfaatkan anggaran negara?
Dalam mengkaji masalah ini, kita dapat melihat beberapa teori dan praktik dari negara-negara maju yang sudah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa. Salah satu hal yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa banyak negara-negara maju, meskipun mereka menyediakan makan siang gratis untuk siswa, tidak serta merta hal tersebut berhubungan langsung dengan peningkatan kecerdasan atau kualitas pendidikan anak.
Sebagai contoh, di beberapa negara Eropa, seperti Finlandia, yang dikenal dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia, sistem pendidikan yang unggul ternyata tidak bergantung pada kebijakan makan siang gratis. Finlandia mengutamakan pendekatan holistik dalam pendidikan, yang meliputi kesejahteraan siswa, pendekatan pendidikan yang berbasis pada keterlibatan aktif, dan sistem pendukung yang kuat bagi guru.
Dengan kata lain, kebijakan makan siang bergizi tidak bisa dipandang sebagai satu-satunya faktor yang menentukan kecerdasan dan kualitas pendidikan. Meskipun tentu saja gizi yang baik mempengaruhi kesehatan fisik dan perkembangan otak, kualitas pendidikan yang sesungguhnya tidak dapat dicapai hanya dengan pemberian makan bergizi.
Sistem pendidikan itu sendiri yang menjadi faktor utama, termasuk kualitas pengajaran, metode pembelajaran yang digunakan, dan fasilitas yang tersedia untuk siswa.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menunjukkan bahwa negara dengan sistem pendidikan yang sukses memiliki fokus yang jelas pada pembenahan kurikulum, pelatihan bagi pengajar, dan pemberdayaan komunitas sekolah. Ini adalah aspek-aspek yang jauh lebih mendalam dan lebih penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan dibandingkan dengan kebijakan makan siang gratis.
Hal ini sejalan dengan pengalaman beberapa negara maju, di mana mereka terus mengembangkan kebijakan yang lebih mendalam terkait kualitas pendidikan, seperti pengajaran berbasis teknologi, pendekatan pembelajaran individual, dan pemberian kesempatan yang setara bagi semua siswa.
Melihat konteks Indonesia, kebijakan makan siang gratis tentu memiliki niat yang baik. Di negara kita, masalah gizi anak masih menjadi perhatian serius, terutama di daerah-daerah yang lebih terpencil dan kurang berkembang.
Anak-anak yang tidak mendapat asupan gizi yang cukup dapat menghadapi masalah dalam hal konsentrasi belajar, ketahanan tubuh, dan kesehatan secara keseluruhan. Namun, kita harus jujur bahwa makan siang gratis, meskipun penting, bukanlah solusi tunggal dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kecerdasan anak.
Sebagai masyarakat dan negara, kita harus lebih memperhatikan aspek-aspek lain yang juga penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan, seperti pembenahan kurikulum, pelatihan guru, peningkatan fasilitas sekolah, serta pemerataan akses pendidikan yang berkualitas.
Dalam hal ini, makan siang gratis lebih tepat dipandang sebagai tambahan yang bersifat komplementer, bukan sebagai solusi utama yang dapat secara signifikan meningkatkan kualitas pendidikan.
Sangat disayangkan jika alokasi anggaran besar untuk makan siang gratis ini hanya menjadi alat politik semata, tanpa adanya perencanaan dan evaluasi yang jelas mengenai dampaknya terhadap kualitas pendidikan.
Lebih bijaksana jika pemerintah juga memperhatikan program-program pendidikan yang lebih sistematis dan berkelanjutan, seperti pelatihan guru yang lebih efektif, penyediaan materi ajar yang inovatif, serta penguatan kebijakan yang mendukung kualitas pendidikan secara menyeluruh.
Kesimpulannya, meskipun makan siang gratis bagi anak-anak adalah langkah positif dalam memastikan kesejahteraan mereka, kita perlu menyadari bahwa kecerdasan dan kualitas pendidikan anak-anak tidak hanya bergantung pada gizi semata.
Sistem pendidikan yang baik, metode pembelajaran yang tepat, serta dukungan yang memadai bagi pengajaran dan fasilitas adalah hal-hal yang lebih menentukan dalam mewujudkan generasi yang cerdas dan berkualitas.
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika kebijakan ini tidak hanya dimaknai sebagai janji politik, tetapi sebagai bagian dari kebijakan pendidikan yang lebih luas dan lebih berdampak. (*)
***
*) Oleh : Ulyan Nasri, Penulis Buku, Author Artikel Bereputasi Nasional dan Internasional Terindeks Scopus, Ketua LPPM Institut Agama Islam Hamzanwadi NW Lombok Timur, Dosen Tetap.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.