Hari Pertama Makan Bergizi Gratis: Antusiasme Dibayangi Potensi Korupsi
January 07, 2025 03:39 PM

Setelah melalui masa uji coba hampir sepanjang tahun 2024, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu janji kampanye pasangan Prabowo-Gibran ini diluncurkan serentak di 26 provinsi di Indonesia. SD Angkasa 5 Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, menjadi salah satu lokasi pertama pelaksanaan program ini.

Sejak pagi buta, dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Khusus Halim Perdanakusuma, yang terletak di kompleks TNI Angkatan Udara, sibuk menyiapkan ribuan paket makanan untuk didistribusikan ke delapan sekolah di sekitar lokasi dapur.

"Sekarang baru 1.500 paket, tetapi besok sudah ditingkatkan menjadi 3.000 paket," ujar Jonie Kusuma, pengelola SPPG Halim.

Menu hari pertama dari dapur ini terdiri dari ayam teriyaki, sayur buncis, nasi, dan pisang. Namun, tidak ada susu. Menteri Koperasi RI, Budi Arie Setiadi, yang ikut memantau pelaksaaan di lokasi ini mengakui sulitnya memenuhi susu sapi di Jakarta menjadi sebab absennya susu di hari pertama. Meski begitu, ia menjanjikan susu akan masuk ke dalam menu di hari-hari berikutnya.

Menurut Jonie, Badan Gizi Nasional (BGN) memberikan kebebasan dalam memilih jenis masakan, asalkan kandungan nutrisi dan kalori per porsinya terpenuhi. Misalnya, untuk siswa PAUD hingga kelas 3 SD, setiap porsi makanan harus mengandung sekitar 600 kalori.

Setelah selesai dimasak, paket makanan langsung diangkut ke sekolah-sekolah sekitar SPPG. Di SD Angkasa 5, sebanyak 128 siswa menyambut program ini dengan antusias. Namun, distribusi makanan berlangsung lebih cepat 30 menit dari jadwal yang seharusnya saat jam istirahat pukul 09.00 WIB.

Beberapa siswa tampak menikmati makanan mereka, meskipun ada juga yang tidak menghabiskannya. "Enak ayam dan pisangnya, tapi aku masih kenyang," kata Kikan, siswa kelas 1 SD.

Hal serupa diungkapkan oleh Khanza, siswa lain yang mengaku baru saja sarapan dua jam sebelumnya. Kepala Sekolah SD Angkasa 5, Yuliani, menyambut baik program ini, tetapi berharap ke depan makanan bisa dibagikan sesuai waktunya, sehingga jarak antara sarapan dan makan siang tidak terlalu dekat.

Janji libatkan UMKM untuk tumbuhkan ekonomi

Beberapa hari dimulainya program ini secara resmi, Badan Gizi Nasional (BGN) yang menjadi penanggung jawab utama program MBG telah menunjuk 190 dapur utama yang disebut Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di 26 provinsi.

Setiap dapur utama bertanggung jawab atas penyaluran makanan untuk sekitar 3.000-3.500 penerima di wilayahnya. Pemerintah menargetkan jumlah dapur ini akan terus meningkat hingga 937 dapur di akhir 2025.

BGN juga bertugas memastikan bahwa bahan makanan yang digunakan berasal dari produk lokal. Dalam pelaksanaannya, pemerintah menggandeng koperasi dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk membantu penyediaan bahan baku, sehingga diharapkan dapat menggerakkan perekonomian lokal.

Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menyebutkan bahwa di hari pertama, program ini menjangkau 500 ribu penerima. Angka ini ditargetkan terus meningkat hingga mencapai 3 juta penerima per hari pada Maret 2025.

"Kalau dari koperasi kami sudah mendata ada sekitar 1.332 koperasi yang sudah siap untuk menjadi pemasok bahan baku untuk makan bergizi gratis. Seluruh Indonesia," tuturnya. Meski demikian, data dari Kantor Komunikasi Presiden menunjukkan bahwa baru 140 UMKM yang terlibat dalam program makan bergizi gratis di hari pertama.

Alhasil, Budi Arie optimistis program ini dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional. Ia mengklaim dari proyeksi pemerintah, program ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 0,89%.

Anggaran besar, bagaimana pengawasan makan bergizi gratis?

Meski terbilang ambisius, pemerintah memastikan program ini berlangsung secara bertahap. Program makan bersama dibayari negara ini alokasi anggarannya bisa dianggap fantastis, Rp71 triliun untuk tahun 2025, dengan target menjangkau 15 juta penerima dari pelajar PAUD hingga SMA, ibu hamil dan menyusui, serta bayi dan balita.

Sebelumnya, Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana mengatakan, jika sudah berjalan secara menyeluruh, program makan ini akan menggelontorkan Rp400 triliun dalam setahun untuk 82,9 juta penerima. Angka ini sama dengan anggaran pembangunan infrastruktur di APBN 2025.

Sejak masa perencanaan, program ini menuai banyak pertanyaan, dari mekanisme pelaksaan hingga sumber anggaran yang digunakan. Meski diyakini dapat membawa manfaat besar, program ini juga menghadapi tantangan berupa potensi penyalahgunaan anggaran.

Menurut studi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), model sentralistik yang saat ini dijalankan pemerintah di program ini punya celah korupsi sebesar 12% per tahun, atau setara Rp8,52 triliun dari total anggaran Rp71 triliun. Potensi ini muncul dari inefisiensi dalam pengadaan, distribusi, hingga pengelolaan anggaran.

Seperti diketahui, dalam model sentralistik ini, pemerintah pusat menggunakan satuan baru berupa SPPG, dan dengan melibatkan banyak institusi dari TNI hingga BUMN. Hal itu memungkinkan lebih terbukanya ruang inefisiensi.

Peneliti Celios, Media Wahyudi menyarankan agar mekanisme program ini diubah menjadi desentralistik, dengan menghilangkan peran dapur utama dan menyerahkan pengelolaan langsung kepada masing-masing sekolah. Model ini diproyeksikan dapat menekan potensi korupsi hingga 2,5% atau sekitar Rp1,77 triliun dari total anggaran.

Di sisi lain, Media Wahyudi juga meminta UMKM dan koperasi warga untuk benar-benar terlibat. "Jika melibatkan konsorsium besar dalam pengadaan bahan baku, dampaknya justru negatif bagi desa-desa. Kami mendorong agar konsorsium besar tidak mengontrol program makan bergizi gratis ini," kata dia kepada DW Indonesia.

Pemerintah diharapkan dapat menerapkan sistem yang lebih transparan agar tujuan utama program, yaitu pemenuhan gizi untuk meningkatkan kualitas SDM dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, dapat tercapai dengan maksimal. Media Wahyudi juga menegaskan perlunya evaluasi dan monitoring secara berkala, agar program ini efektif dan tepat sasaran meski dengan anggaran yang terbatas.

Editor: Arti Ekawati

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.