Red Hat Ungkap Cara Percepat Inovasi & Efisiensi Operasional AI di 2025
Liana Threestayanti January 08, 2025 10:34 AM

Memasuki tahun 2025, Red Hat menyoroti perkembangan adopsi teknologi artificial intelligence (AI) di lingkungan enterprise dan bagaimana teknologi open source dapat mendukung inovasi serta efisiensi operasional AI.

Meskipun adopsi AI secara global meningkat, perusahaan di Indonesia masih tertinggal dalam penerapan AI, khususnya AI generatif. Laporan dari McKinsey Global Survey menyebutkan bahwa 65% responden di seluruh dunia menggunakan AI secara reguler, dengan tingkat adopsi yang meningkat dua kali lipat sejak tahun 2023.

Namun survei yang dilakukan oleh PwC menunjukkan bahwa organisasi di Indonesia masih tertinggal dalam adopsi AI generatif. Menurut survei bertajuk “27th Annual Global CEO Survey” tersebut, sekitar 53% CEO di Indonesia melaporkan bahwa AI generatif belum diterapkan di perusahaan mereka, dibandingkan dengan 41% di wilayah Asia Pasifik.

Meskipun demikian, menurut prediksi Forrester, penerapan AI oleh perusahaan diperkirakan akan melampaui 70% pada tahun 2025. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak lagi sekadar bereksperimen dengan AI, tetapi mulai menggunakan AI secara penuh untuk meningkatkan produktivitas, menyederhanakan operasi, dan memperbaiki proses pengambilan keputusan.

Alasan Penggunaan Open Source

Membantu perusahaan mengadopsi AI, Red Hat memaparkan kekuatan teknologi open source. Menurut Vony Tjiu, Country Manager Red Hat Indonesia, salah satu kekuatan open source yang akan mendukung pengembangan dan adopsi teknologi baru, seperti AI, adalah kolaborasi.

“Karena kami percaya bahwa inovasi tidak terjadi hanya di perusahaan-perusahaan besar, dengan investasi R&D yang sangat tinggi. Tapi justru inovasi itu banyak terjadi di komunitas, di mana semua orang itu bebas untuk berkontribusi,” jelas Vony dalam sesi media briefing beberapa waktu lalu.

Vony menambahkan bahwa dengan open source, inovasi ada di tangan pengguna/customer. Sementara Red Hat menyediakan "bahan" yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan customer, dengan bantuan para mitra yang tergabung dalam ekosistem Red Hat yang memiliki keunikan dan kapabilitas masing-masing.

Selain memungkinkan inovasi yang lebih cepat, pemanfaatan teknologi open source yang bersifat terbuka juga lebih memudahkan perusahaan dalam urusan pencarian talenta. Hal ini, disebut Vony, sebagai salah satu tantangan yang kerap dihadapi oleh banyak perusahaan.

Vony Tjiu juga menyinggung transparansi dalam open source yang memungkinkan siapa saja untuk mengakses dan menggunakan teknologi yang tersedia. Namun, menurutnya, yang membedakan Red Hat adalah dukungan enterprise yang ditawarkan.

“Red Hat adalah perusahaan enterprise open source terbesar di dunia, di mana selain memberikan support kepada enterprise atau organisasi-organisasi pelanggan, kami juga senantiasa melakukan inovasi terhadap produk-produk kami dan juga membantu customer untuk mengintegrasikan solusi mereka dengan environment yang ada,” ujarnya. Vony menambahkan bahwa Red Hat menawarkan layanan yang memungkinkan organisasi besar untuk lebih fokus pada inovasi daripada mengurusi operasional sehari-hari.

Hybrid Cloud Sebagai Penopang Utama AI

Dalam mengadopsi AI, Red Hat menawarkan pendekatan open hybrid cloud yang memungkinkan perusahaan memperoleh skalabilitas dan fleksibilitas dalam menjalankan beban kerja dan aplikasi AI. Menurut Vony, pendekatan ini memungkinkan operasional yang konsisten di seluruh tim dan fleksibilitas dalam menjalankan workload AI di mana saja, memastikan bisnis tetap lincah dan mampu beradaptasi.

Untuk itu, Red Hat menyediakan platform OpenShift yang mendukung penerapan aplikasi di berbagai lingkungan, seperti on-premise, cloud, dan edge, tanpa perlu mengubah struktur, arsitektur, atau kode aplikasi.

Red Hat juga bekerja sama dengan penyedia layanan cloud besar seperti AWS (melalui ROSA – Red Hat OpenShift on AWS), Microsoft (melalui ARO – Azure Red Hat Openshift), dan Google Cloud (melalui OpenShift Dedicated on Google Cloud Platform) sehingga memudahkan pelanggan untuk menjalankan kontainer di cloud yang dikelola oleh penyedia cloud tersebut.

Integrasi model AI ke dalam aplikasi sering kali menjadi tantangan karena membutuhkan proses yang kompleks. Model AI yang sudah terbentuk perlu diluncurkan dan dilatih secara berkala agar tetap relevan dan akurat. Dalam konteks ini, OpenShift AI menawarkan solusi melalui pendekatan ML Ops yang menyederhanakan proses integrasi tersebut.

"Jadi bagaimana model AI itu perlu, satu, di-launch ke aplikasi. Kedua, dilatih terus menerus karena kalau tidak dilatih terus menerus, datanya bisa jadi sudah kurang relevan atau akurasinya berkurang," jelas Vony.

Menurutnya, penggunaan AI/ML Ops di atas platform OpenShift memungkinkan tim DevOps untuk lebih mudah meng-infuse model AI ke dalam aplikasi, sekaligus memberikan fleksibilitas untuk melakukan training ulang jika diperlukan.

Red Hat juga menawarkan fleksibilitas kepada pelanggannya dalam menggunakan alat-alat AI/ML Ops. Pelanggan tidak harus menggunakan OpenShift AI, tetapi dapat mengintegrasikan berbagai platform data yang sudah ada seperti Cloudera, Confluent, Starburst, atau H2O, asalkan platform tersebut sudah containerized.

"Kalau sudah punya platform data yang existing, mau itu Cloudera, Confluent, Starburst, atau H2O, selama itu containerized, maka bisa ditaruh di atas OpenShift," ujar Vony. Hal ini memudahkan tim data di perusahaan dalam mengoperasionalisasi siklus AI mereka tanpa harus merombak infrastruktur yang sudah ada.

Fleksibilitas Model AI

Red Hat juga menawarkan fleksibilitas dalam penggunaan model AI sehingga pelanggan dapat memilih model yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka. “Kita melihat saat ini, solusi-solusi AI yang tersedia di luar, misalnya LLM, itu masih available di public cloud. Nah bagaimana caranya kalau customer ingin punya “private AI”, mereka ingin membangun dan melatih AI di data center miliknya, dan mereka tidak mau mulai dari nol,” ujar Vony.

Menjawab kebutuhan ini, bersama IBM, Red Hat menyediakan LLM bernama Granite, yang di-open source-kan oleh IBM. "Pelanggan Red Hat free untuk pakai, free untuk mencoba, free untuk download," jelas Vony seraya menambahkan bahwa pelanggan tidak perlu melatih model dari awal di data center mereka.

Selain itu, Red Hat juga memberikan solusi bagi para data scientist untuk membangun LLM dengan hanya menggunakan desktop. Dengan Red Hat Podman Desktop (melalui extension Podman AI Lab), data scientist dapat mengunduh LLM yang telah tersedia, seperti Granite, serta model setengah jadi yang bisa langsung diunduh dan dilatih ulang di desktop mereka. Hal ini, menurut Vony, memberi kemudahan bagi pelanggan untuk melakukan pelatihan dan eksperimen dengan model tanpa memerlukan infrastruktur besar atau kompleks.

Dari Virtualisasi ke Infrastruktur Future Ready

Selain AI, Vony Tjiu juga mengungkapkan ceruk pasar potensial yang mulai berkembang tahun ini. Seiring dengan perkembangan teknologi, Red Hat melihat bahwa banyak customer yang mulai beralih dari virtualisasi ke platform container untuk mendukung infrastruktur masa depan mereka. “Red Hat percaya bahwa ke depannya adalah containerized,” tegas Vony.

Meskipun demikian, masih ada pelanggan yang menjalankan container di atas virtualisasi. Tren menunjukkan bahwa semakin banyak yang langsung beralih ke bare metal, tanpa melalui layer virtualisasi.

Namun, tidak semua pelanggan siap beralih sepenuhnya ke container. Beberapa pelanggan masih memerlukan virtualisasi karena aplikasi mereka belum bisa di-containerized, atau mereka tidak melihat alasan bisnis maupun dukungan finansial untuk melakukan modernisasi.

Menurut Vony, ada dua tipe customer. “Tipe yang pertama adalah customer yang harus migrasi secepatnya, mereka nggak mau menggunakan teknologi virtualisasi, dan beralih secepatnya ke kontainer,” jelasnya.

Sementara tipe kedua adalah pelanggan yang masih perlu mengelola virtual machine, tapi juga ingin coba memulai menggunakan kontainer. Bagi tipe pelanggan ini, Red Hat menawarkan fleksibilitas melalui solusi OpenShift Virtualization yang menyandingkan virtual machine dan kontainer di satu platform.

Solusi ini memungkinkan mesin virtual berjalan di atas platform OpenShift, sehingga tim operasional TI operasional hanya perlu mengelola satu platform, membuat integrasi antara kontainer dan VM menjadi lebih mudah.

Vony menyebutkan bahwa OpenShift Virtualization menawarkan berbagai manfaat, di antaranya efisiensi biaya yang lebih baik dibandingkan dengan virtualisasi tradisional. Selain itu, platform ini mendukung inovasi dengan mengadopsi teknologi terbaru, seperti microservices dan kontainer.

“Keamanan pun menjadi prioritas, karena Red Hat telah mengintegrasikan fitur keamanan sejak peluncuran pertama. Selain itu, OpenShift Virtualization juga dilengkapi dengan tools yang terintegrasi, termasuk CI/CD, yang memudahkan pelanggan dalam mengelola aplikasi mereka,” ujar Vony Tjiu.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.