TIMESINDONESIA, MALANG – Sosok KH Oesman Mansoer, dikenal bukan hanya menjadi militer di negeri ini. Selain itu, sebagai cendekiawan muslim, dan sekaligus pendiri kampus, yang tidak kecil lagi hari ini, bernama Universitas Islam Malang (Unisma).
Bangunannya telah besar dan berkembang, mahasiswanya, serta para dosennya tidak lagi bisa dihitung dengan jari. Bangunan besar serta mahasiswa yang banyak menjadi patokan untuk mengingatnya. Di balik besar dan berkembangnya kampus tidak akan lepas dari peran dari para pendirinya.
Pejuang akan selalu menghasilkan sebuah karya besar. Karya besar yang memiliki fungsi terhadap kehidupan manusia selanjutnya, hal itu akan menjadi bukti bahwa kehidupan manusia tidak lepas dengan apa yang ada di masa lalu yang membuatnya bersejarah.
Seorang pengingat yang handal tentu tidak akan lepas pada siapa yang berperan di belakang dengan segala pencapaiannya, pun juga dengan dasar dan prinsip hidup terpatrinya. Sehingga pada bangunan besar itu menyimpan banyak sejarah panjang dari seorang pendiri.
Masuk ke Universitas Islam Malang (Unisma), di lantai V gedung A akan menemukan piagam berjejer menjadi bentuk penerapan dari seorang pendiri. Bukti itulah nyata mata yang secara telanjang jelas. Semua mata akan mengakui keberadaan, sehingga keberadaannya akan menjadi monumen di sebuah gudang pemikiran para penerus.
Dalam pandangannya tidak diragukan, apalagi dalam kerja-kerja intelektual sangat sukses mencapai targetnya. Ibarat jejak telapak kaki di tanah liat yang telah kering, akan terlihat dan bentuknya selalu ada kaki itu dan tetap ada jejak tersebut di sebuah lokasi, bahkan juga ada dalam otak para akademisi dan para pembaca dari peninggalannya.
Profil KH Oesman Mansoer
KH Oesman Mansoer, yang memiliki nama asli R.K.H Muhammad Isman bin Jalaluddin Kromo Asmoro lahir di Blega, Bangkalan pada 23 Maret 1924, beliau merupakan putra pertama dari pasangan H. Raden Jalaluddin Kromo Asmoro dan Hj. Nur Chadijah ini memiliki garis keturunan Adikoro IV.
Dari perjalanan beliau yang dari latar di mana dan lahir dari seorang keluarga seperti biasa orang pada umumnya. Dan latar kemana hidup akan mempengaruhi jalan hidupnya. Beliau seorang yang terdidik, bukan orang yang tidak memiliki latar suram dunia pendidikan.
Rekam jejak beliau, riwayat pendidikan yang tercatat dan pernah dilalui oleh beliau; Pendidikan formal yang ditempuh di Madrasah Mualimin Jagalan yang diperkuat dengan pendalaman ilmu fiqih dan Thariqat awaliyah melalui Habib Abdul Qodir Bil Faqih (Pondok Pesantren Darul Hadist Jl. Aries Munandar Malang.
Selain itu, juga ikut menjadi santri ke Kh. Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah Jombang. Dalam hal keilmuan tidak hanya menunggu ilham atau mengandalkan atas pemberian Tuhan. Namun tetap belajar dengan ada sanad jelas, dimana kita bisa belajar agama ada yang mengalahkannya.
Sisi lain, Dalam perjalanan hidupnya, sebagai manusia yang memiliki kesadaran tinggi dan harus berempati dan simpati kepada kehidupan, khusus dalam kepentingan dakwah. KH. Oesman Mansoer pada mulanya menjadi militer menjadi TNI AD Kodam V Brawijaya dengan pangkat terakhir Mayor.
Selain itu, juga menjadi seorang cendikiawan muslim yang menerima penghargaan Bintang Gerilya sebagai pemimpin barisan pemuda sabilillah Jawa Timur sekaligus komandan Laskar Sabilillah saat melawan Jepang tahun (1949). Pada saat kecamuk negara pada saat itu. Indonesia mengalami agresi militer ke-2, Indonesia mengalami serangan dari Belanda, Soekarno-Hatta sebagai Presiden ditahan.
Kecamuk itu membuat semua orang harus melakukan perannya. Dan selain bertanggung jawab dengan sukarela membela keamanan negara: hal itulah menjadi bukti nasionalisme seorang ulama bukan hanya memperhitungkan hubungan diri dengan Tuhannya, melainkan juga kemanusiaan. Itulah yang pantas disebutkan kepadanya.
Seorang ulama besar yang tidak hanya membicarakan agama yang ada gurunya saja. Namun, beliau juga melek literasi yaitu membaca buku berkaitan dengan agama, politik, filsafat, dan pendidikan. Sehingga referensi mengenai agama bukan hanya didapat dari Al-Qur’an dan Hadits melainkan juga dari literature di luar itu.
Jadi, dalam memandang agama dan aplikasinya tidak konservatif, sebab melek literasi. Hal itulah yang menjadikan manusia sangat luas memandang agama serta prakteknya. Maka tidak terlalu ambisi semua hal.
Sebagai seorang cendekiawan yang sempurna, beliau bukan hanya bisa menguasai satu bahasa. Akan tetapi beliau juga menguasai empat bahasa sebagai bentuk penyempurnaan keilmuannya. Bahasa yang dikuasai yaitu: bahasa Arab, Belanda, Inggris, dan Latin.
Hal itu menjadi bukti ada nilai edukasi dalam hidupnya untuk dunia pendidikan. Yang membentuk dirinya sebagai contoh orang beragama tidak hanya berbicara melainkan dalam bukti praktik. Ketika di ruang-ruang public dapat disampaikan bahwa nilai-nilai agama yang baik. Kesempatan itulah terjadi.
Keahlian beragama bukan hanya menjadi nilai lebih baginya. Dari sisi lain penerapan bentuk konkret. Seorang pemeluk agama yang bijaksana diberi kepercayaan untuk mengisi kuliah masalah Islamologi dan Kristologi pada calon-calon pendeta di GKJW (Gereja Kristen Jawa Wetan) di tahun 1967.
Dalam hal itulah menjadi bukti bahwa jiwa toleransi terhadap beliau bukan hanya dibentuk dari satu golongan (Islam), melainkan juga diterima oleh non-muslim. Hal itu yang jarang dimiliki oleh cendikia muslim hari ini. Walaupun ada jarang. Di atas mimbar beliau tidak dapat diragukan lagi.
Namun ada kelebihan lain yang pula jarang sekali dimiliki oleh cendikia muslim lain, dengan kemampuan literasi tulis. Beliau sangat aktif selain di atas mimbar. Beliau aktif menulis di media-media besar tingkat nasional.
Tidak lain cara tersebut menjadi pelengkap seorang cendekiawan yang menyimpan banyak pemikirannya sebagai menunaikan kepada publik dengan membaca. Media yang kerap kali menampung tulisannya yaitu; Kompas, Media Indonesia Majalah Tempo dan lain sebagainya.
Pada tahun 1985 pada saat itulah bisa ditelisik rekam jejak pemikirannya mengenai kebangsaan yang dituangkan dalam tulisannya di buku ‘Islam dan Kemerdekaan Beragama’ pada saat itu pula bersamaan dengan permintaan untuk menafsirkan Pancasila dari tinjauan Islam yang disampaikan dalam seminar TNI Angkatan Darat Pertama.
Rekam Jejak di Dunia Pendidikan
Dedikasi yang dilakukan di dunia pendidikan secara langsung dilakukan dari tempat ketempat telah dilakukan. Bukan hanya menjadi tenaga pengajar namun juga pendiri dari berbagai instansi pendidikan diantaranya pengajar di Islamologi di GKJW Sukun (1987-1989), pengajar di Fakultas Hukum dsan Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan (Fakultas Ilmu Administrasi dan sekarang menjadi Unibraw (Universitas Brawijaya) (1967-1989).
Selanjutnya beliau juga menjadi Dekan pertama di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya (1963-1972). Selanjutnya juga menjadi pengajar di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) sekarang menjadi STPDN (1972-1989). Tidak berhenti di situ selanjutnya berinovasi kembali mendirikan IAIN Tulungagung.
Tidak hanya berhenti di situ. Ternyata menjadi Kepala Sekolah SMP Islam Malang jalan Kartini Malang, selain itu juga mendirikan SMA dan SMA Shalahuddin Malang dan yang terakhir pada 1981 mendirikan Universitas Islam Malang.
Pengalaman Organisasi KH Oesman Mansoer
KH. Oesman Mansoer juga menjadi aktivis. Beliau selain alim di bidang agama terus ikut andil dan tertulis bahwa aktif organisasi kepemudaan Ansor Cabang Malang dan menjadi Ketua. Bukan hanya berhenti di situ, beliau juga menjadi Ketua LP Maarif NU Cabang Malang, serta menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Malang, Mustasyar PWNU Jawa Timur dan kyai muda menjadi pemuka agama sebagai wadah ketika beliau mendirikan pesantren luhur, selain itu juga aktif menjadi takmir Masjid Agung Jami’ Kota Malang dan Takmir Masjid Ainul Yaqin Unisma.
Seorang yang pandai tidak hanya bisa menjawab jawaban pertanyaan matematika yang dikuasai. Namun juga bisa menjawab bahasa Indonesia. Mengapa demikian, karena hidup bukan hanya tentang itu saja melainkan sangat kompleks, bisa diambil pelajaran dari kehidupannya.
Secara konteks jaman mungkin berbeda, namun semangat muda yang harus diambil dari cara hidup yang berorganisasi semasa mudanya. Hal itulah menjadikan dirinya sosok yang tidak hanya pandai keilmuan namun juga mengatur manajemen manusia (memimpin).
***
*) Oleh : Akhmad Mustaqim, Pengajar di Unira Malang & STIA Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.