Jaksa penuntut umum (JPU) tetap pada pendiriannya menuntut Septia Dwi Pertiwi satu tahu penjara pada perkara pencemaran nama baik terhadap Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF.
Adapun hal ini disampaikan JPU dalam sidang replik kasus dugaan pencemaran nama baik di PN Jakarta Pusat, Rabu (8/1/2025).
"Berdasarkan uraian di atas kami penuntut umum memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini. Agar memutuskan tetap pada tuntutan kami," kata JPU.
Atas hal itu, Ketua Majelis Hakim Saptono menegaskan kepada terdakwa dan kuasa hukumnya bila JPU tetap pada surat tuntutannya.
"Jadi intinya penuntut umum tetap pada surat tuntutannya. Terhadap replik itu saya serahkan kepada terdakwa dan penasihat hukum," kata hakim Saptono.
Kemudian Septia melalui kuasa hukumnya menyatakan bakal mengajukan duplik.
"Izin majelis kita mau duplik," kata kuasa hukum terdakwa Septia.
Majelis hakim lalu memutuskan sidang dilanjutkan Rabu pekan depan agenda duplik dari terdakwa Septia Dwi Pertiwi.
Sementara itu pada persidangan agenda replik, Jaksa penuntut umum (JPU) mengungkapkan imbas cuitan yang dilakukan terdakwa Septia Dwi Pertiwi membuat pemasukan PT Lima Sekawan Indonesia (Hive Five) jadi menurun.
“Korban dalam pencemaran nama baik atau fitnah dalam perkara a quo merupakan perseorangan yaitu saksi Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF selaku jabatannya sebagai Komisaris PT Lima Sekawan Indonesia. Sehingga subjek yang mengalami kerugian dalam perkara a quo bukan kategori badan, hukum atau lainnya yang dikecualikan oleh perundangundangan,” kata jaksa di persidangan.
Tim penasihat hukum terdakwa, lanjut JPU pada pokoknya menerangkan memposisikan kerugian merupakan saksi Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF dalam kapasitasnya sebagai Komisaris PT Hive Five.
“Memang benar dalam perkara a quo saksi alias Jhon LBF selaku Komisaris PT Lima Sekawan Indonesia (Hive Five). Namun kerugian yang dialaminya kerugian perorangan mengingat fakta di persidangan bahwa saksi Jhon LBF telah mengeluarkan uang pribadi sebesar Rp100 juta untuk kerja sama bisnis PT Lima Sekawan Indonesia,” lanjutnya.
Lebih jauh saksi Jhon LBF, diterangkan jaksa menjalankan bisnisnya melalui personal branding di sosial media seperti Tiktok, Instagram, Youtube. Sehingga akibat postingan terdakwa a quo mengakibatkan turunnya bisnis saksi Jhon LBF.
“Salah satunya saksi Ahmad yang meminta refund mengenai jasa pendirian PT karena ada opini negatif yang dibuat oleh terdakwa untuk mencemarkan nama baik saksi Jhon LBF. Dengan demikian kesimpulan terdakwa dan kuasa hukumnya dalam pembelaannya merupakan opini subjektif dan tidak didasari fakta persidangan,” tandasnya.
Duduk Perkara Septia Vs Jhon LBFSebagai informasi, saat ini Septia menjadi terdakwa dalam sidang pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ia dikasuskan oleh Henry Kurnia Adhi Sutikno atau John LBF selaku bos PT Lima Sekawan Indonesia. Jhon LBF merasa dirugikan atas informasi yang disebarkan Septia terkait perusahaannya.
Diketahui, Septia mengungkapkan ihwal pemotongan upah sepihak, pembayaran di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP), jam kerja berlebihan, serta tidak adanya BPJS Kesehatan dan slip gaji melalui akun X (Twitter) miliknya.
John LBF kemudian melaporkan cuitan Septia itu ke Polda Metro Jaya atas tuduhan pelanggaran UU ITE.
Menurut catatan, Septia ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Agustus 2024 tanpa alasan yang jelas. Ia kemudian menjadi tahanan kota pasca persidangan yang digelar pada 19 September 2024.
Ia didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait pencemaran nama baik dan Pasal 36 UU ITE, yang dapat berujung pada ancaman hukuman penjara hingga 12 tahun.
Setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak eksepsi yang diajukan oleh kuasa hukum Septia. Persidangan kasus dugaan pencemaran nama baik ini berlanjut.
Septia Dwi Pertiwi Dituntut 1 Tahun Penjara Denda Rp50 Juta
Jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya telah menuntut mantan buruh PT Lima Sekawan Indonesia (Hive Five), Septia Dwi Pertiwi dengan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan.
Tuntutan ini dibacakan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (11/12/2024).
JPU menuduh Septia melanggar Pasal 27 ayat 3 UndangUndang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas dugaan pencemaran nama baik terhadap mantan bosnya, Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF.
Kuasa hukum Septia dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Jaidin Nainggolan mengkritik langkah JPU.
“JPU mengabaikan saksi a de charge atau tidak menyatakan ada saksi a de charge dari kita yang menerangkan bahwa memang apa yang disampaikan Septia di media sosial itu adalah suatu kenyataan,” ujar Jadiin dalam keterangannya, Kamis (12/12/2024).
“Hal itu terbukti oleh dua saksi yang kita ajukan, yang sama sekali diabaikan oleh JPU. JPU hanya mendengar keterangan dari si pelapor sendiri atau Henri atau Jhon LBF,” sambungnya.
Pendapat serupa diutarakan oleh Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Hafizh Nabiyyin yang sedari awal mendampingi Septia.
Ia menilai JPU mengabaikan keterangan saksi ahli yang dihadirkan selama persidangan.
“Keterangan semua saksi ahli yang telah dihadirkan ke persidangan sama sekali tidak dijadikan pertimbangan oleh JPU,” tuturnya.
Ia menjelaskan, ahli ITE misalnya, secara jelas menyatakan sesuai dengan Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Implementasi UU ITE, penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau kenyataan tidak boleh dianggap sebagai delik pidana.
Begitupun dengan ahli HAM yang menyatakan kritik terhadap orang yang memiliki otoritas seperti korporasi merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang tidak boleh dihukum secara pidana.
Septia juga mengaku kecewa dengan tuntutan dari JPU yang abai terhadap buktibukti yang terungkap selama persidangan.
“Cukup mengecewakan atas tuntutan dari jaksa karena apa yang (saya) sebutkan (di X) seakanakan tidak bisa dibuktikan kenyataannya. Jadi saya sangat kecewa,” kata Septia.