Gerakan Hanoman, Strategi Serangan Pasukan Pangeran Diponegoro Melawan Serdadu Belanda
Tim Intisari January 08, 2025 07:34 PM

[ARSIP HAI]

Sejak lama Pangeran Diponegoro tidak senang dengan Belanda yang terus mencampuri urusan Keraton Yogyakarta. Puncaknya, Perang Jawa.

Penulis: Rin untuk Majalah HAI dengan judul "Hanoman dalam Perang Diponegoro"

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Sejak lama Pangeran Diponegoro tidak senang dengan Belanda yang terus mencampuri urusan Keraton Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwono II, kakeknya, yang menentang Belanda ditangkap dan dibuang ke Ambon dan HB III, ayahnya, diangkat jadi Raja Jogja.

Penindasan terhadap rakyat juga meningkat. Pemerintah Belanda menyewakan tanah rakyat kepada orang-orang Belanda.

Sawah rakyat menjadi sempit, penghasilan berkurang. Tetapi rakyat tetap harus membayar berbagai pajak. Bahkan jalan-jalan juga disewakan dan rakyat Indonesia yang lewat harus membayar pajak.

Pancang Pencetus Perang

Kejengkelan Diponegoro bertambah ketika Belanda merencanakan membuat jalan melalui tanah Diponegoro. Tanpa setahu Diponegoro mereka menanam pancang-pancang di tanah tersebut.

Diponegoro menyuruh para pembantunya mencabut pancang-pancang itu. Tetapi Belanda menanamnya kembali. Menanam dan mencabut pancang terjadi berkali-kali.

20 Juni 1825 seorang utusan Belanda datang ke rumah Diponegoro di Tegalrejo. Dia menanyakan maksud Diponegoro.

Pada saat itu juga pasukan Belanda sudah menyerang rumah Diponegoro. Dengan merusak tembok belakang, Diponegoro berhasil meloloskan diri dari serangan Belanda. Dari kejauhan, dia melihat rumahnya dibakar Belanda.

Bersama rakyat yang setia, dia menyingkir ke Selarong dan dari sana menyusun kekuatan melawan Belanda. Mulailah Perang Diponegoro yang juga disebut Perang Jawa.

Taktik Gerilya dan Serangan Hanoman

Seruan perang Diponegoro mendapat sambutan rakyat yang memang sudah lama tertindas. Hampir sepertiga penduduk maju ke medan perang.

Yang lainnya menjaga garis belakang. Mereka memperbanyak hasil bumi, menyiapkan makanan dan senjata yang diperlukan pasukan.

Menghadapi pasukan Belanda yang bersenjata modern, Diponegoro menjalankan taktik perang gerilya. Menyerang saat musuh lengah dan menghilang kalau mendapat serangan balasan.

Taktik gerilya digabung dengan serangan hanoman. Hanoman adalah nama monyet dalam cerita Ramayana.

Serangan dilakukan meloncat-loncat dari satu daerah ke daerah lain sambil mengobrak-abrik musuh. Perang hanoman berhasil mematahkan semangat Belanda.

Musuh sudah mengeluarkan banyak biaya, mengerahkan tenaga dan senjata, sedang kita selalu menghindari perang terbuka.

Taktik Lumbu

Kedua taktik di atas kemudian digabung dengan taktik lumbu. Setiap prajurit harus membawa daun keladi yang digunakan sebagai payung.

Setelah serangan hanoman, taktik lumbu dijalankan. Caranya dengan bersembunyi di ladang-ladang di bawah daun keladi itu.

Musuh yang mengejar akan mengira pasukan yang dikejarnya sudah menghilang. Apa yang dihadapinya dikira sawah atau ladang keladi belaka, bukan prajurit yang harus dimusnahkan. Selama tahun 1825 dan 1826, Belanda kalah terus.

Banyak serdadu yang tewas dan untuk memenangkan pertempuran, Belanda mengerahkan segala tenaga dan kekuatan yang ada.

Benteng Stelsel Jendral de Kock

Tahun 1827 Belanda menambah jumlah pasukannya. Jendral de Kock juga menjalankan taktik perang baru. Di setiap daerah yang sudah direbut, didirikan benteng pertahanan.

Daerah tersebut tak bisa direbut lagi oleh pasukan Diponegoro. Dan dari benteng itu dibuka serangan baru. Taktik ini terkenal dengan nama Benteng Stelsel.

Belanda juga mulai membujuk para pengikut Diponegoro. Kyai Maja dan Sentot Alibasyah, dua pembantu utama Diponegoro diajak berunding.

Kyai Maja ditangkap ketika perundingan gagal. Sentot pun menyerah dan dikirim Belanda ke Sumatera Barat untuk memerangi Perang Padri. Kedudukan Diponegoro mulai terdesak.

Kini dia harus berjuang sendiri. Namun dia pantang menyerah. Tekadnya sudah bulat, Belanda harus lenyap dari bumi Nusantara.

Tipu Muslihat Belanda

Perang sudah berlangsung 5 tahun. Belanda sudah rugi besar.

Banyak tentara yang mati. Perkebunan juga banyak yang dirusak pengikut-pengikut Diponegoro.

Keuangan Belanda mulai habis untuk membiayai perang. Karena itu, Belanda berusaha agar perang cepat selesai. Usaha menangkap Diponegoro selalu gagal.

Mereka lalu memakai cara lain. Dengan kata-kata manis mereka membujuk Diponegoro menghentikan perang.

Mereka mengatakan, perang hanya menimbulkan penderitaan. Banyak manusia yang tidak berdosa menjadi korban peluru.

Karena itu, kini mereka bersedia berjabat tangan dengan rakyat. Mengingat kepentingan rakyatnya, Diponegoro bersedia berunding.

Syaratnya, kalau gagal, dia boleh kembali ke rumahnya tanpa halangan apapun dari Belanda.

Belanda Ingkar Janji

Perundingan gagal. Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Batavia.

Dia diadili di gedung perwakilan Belanda yang sekarang dikenal sebagai gedung Museum Fatahillah di Jakarta, dia dijatuhi hukuman buang ke Manado.

Sambil menunggu keberangkatannya, dia ditahan di penjara beratap rendah. Dia tidak bisa berdiri. Sepanjang hari harus duduk berjongkok terus menerus.

3 Mei 1834 ia dibawa ke tempat pembuangannya. Tahun 1834 dipindah ke benteng Rotterdam di Ujung Pandang, sekarang Makassar.

Selama 25 tahun dia dikurung sebagai orang buangan. 8 Januari 1855 dia meninggal dan dimakamkan di Kampung Melayu, Ujung Pandang.

Dia mengakhiri perjuangannya tidak dengan menyerah, tetapi ditipu musuhnya. Di tempat kediamannya di Tegalrejo (sebelah barat Yogyakarta) kini berdiri museum Padepokan Diponegoro. Untuk jasa-jasanya, dia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.