TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pemerintah baru, Prabowo-Gibran akhirnya resmi mewujudkan janji kampanye mereka yakni makan siang gratis. Saat ini berubah namanya menjadi Makan Bergizi Gratis (MBG). Tampaknya program MBG ini terinspirasi dari beberapa negara lain yang memberikan makan siang gratis kepada siswa sekolah.
Di beberapa negara, program tersebut dapat dikatakan dapat meningkatkan kesehatan, prestasi akademik, partisipasi sekolah, status gizi anak, menciptakan lapangan kerja dan menurunkan angka putus sekolah. Namun ada juga negara lain yang tidak sukses menjalankan program serupa MBG.
Pemerintah pun mengungkapkan program ini memiliki empat tujuan untuk mencapai target Indonesia Emas 2045. Empat tujuan itu adalah menyiapkan sumber daya yang unggul, menurunkan angka stunting, menurunkan angka kemiskinan dan menggerakkan ekonomi masyarakat.
Namun dipertanyakan, benarkah makan bergizi gratis ini murni bentuk kepedulian dan tulus (gemati) pemerintah terhadap rakyat? Ataukah dijalankannya program ini hanya sebatas gimik politik?
Sebab realitasnya, pelaksanaan program makan bergizi gratis ini menuai berbagai persoalan. Paling kentara pada aspek pembiayaannya yang masih gelap. Sebagai program andalan dan prioritas pemerintah Prabowo-Gibran periode ini, MBG membutuhkan dana yang cukup besar.
Sejauh ini dalam APBN telah memberikan anggaran sebesar Rp 71 triliun untuk program MBG. Namun Zulkifli Hasan selaku Menteri Koordinator Bidang Pangan menyebut anggaran untuk program MBG, Rp 71 triliun diperkirakan hanya sampai bulan Juni. Adapun jika program dilaksanakan Januari hingga Desember 2025, anggarannya bisa tembus lebih dari Rp 420 triliun.
Tampak bahwa program Makan Bergizi Gratis ini bukanlah program yang murni dirancang untuk memperbaiki kondisi rakyat. Melainkan umpan kampanye, janji politik untuk meraih hati rakyat.
Terbukti dari perencanaan program ini belum matang, tidak ada juklak dan juknisnya. Di beberapa tempat pun belum bisa dan siap melaksanakan program MBG karena belum mendapatkan juknisnya.
Selain itu pembiayaan untuk mewujudkan program MBG ini pun mengambil dari anggaran lain. Ini menunjukkan program ini tidak ada pendanaan khususnya, sehingga harus mencomot dana anggaran lain.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar menyatakan biaya program MBG ini memotong atau mengorbankan hampir 10 persen dari anggaran fungsi pendidikan yang semestinya digunakan utamanya untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Nyatanya tak hanya mengambil dari anggaran pendidikan saja. Sebagai contoh di DIY, Pemkot Jogja terpaksa membatalkan tujuh proyek strategis senilai Rp 50 miliar yang rencananya akan dibangun di 2025. Hal itu dilakukan karena Pemkot melakukan refocusing anggaran untuk mewujudkan program MBG.
Proyek strategis yang batal dibangun itu meliputi pengadaan lampu penerangan, pembangunan gedung arsip, pemeliharaan berkala di Jalan Magelang dan Jalan Tegalturi, serta pembangunan Puskesmas Tegalrejo. Terdapat juga pembangunan Kantor Kelurahan Prenggan dan pembangunan unit 1 Balai Kota Jogja.
Alhasil kepentingan rakyat yang lainnya harus dikorbankan demi mewujudkan program dadakan ini. Semestinya jika MBG benar untuk kesejahteraan rakyat, perencanaannya harus matang. Sehingga dalam implementasinya tidak perlu mengorbankan kepentingan rakyat yang lainnya.
Justru mestinya program tersebut bisa beriringan dijalankan dengan pembangunan proyek strategis agar kemaslahataan rakyat tercapai. Jika seperti barulah bisa dikatakan pemerintah benar-benar gemati terhadap rakyat.
Parahnya lagi, naiknya PPN menjadi 12 persen juga menjadi salah satu alasan untuk mendukung realisasi program MBG ini. Hal ini diungkap oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa alasan yang mendasari kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, untuk mendukung program unggulan Presiden Prabowo termasuk Asta Cita yang fokus pada kedaulatan pangan, energi serta program makan bergizi gratis.
Sungguh menyesakkan, pemerintah menaikkan pajak untuk memberikan makan bergizi gratis kepada rakyat. Padahal makan bergizi gratis ini juga tidak signifikan mampu meringankan kondisi rakyat secara keseluruhan.
Selain itu, dalam hal ini pemerintah seperti perhitungan dengan rakyat. Bagaimana tidak, berdalih memberikan makan bergizi gratis tapi ujung pembiayaannya juga dari uang rakyat.
Bukankah penguasa semestinya sebagai pelayan rakyat? Pelayan rakyat semestinya melayani rakyat tanpa pamrih, tidak perhitungan dan hubungan penguasa dengan rakyat bukanlah hubungan bisnis.
Kita mesti menyadari bahwa diera sistem kapitalisme sekularisme hari ini, tidak ada makan siang benar-benar gratis. Semua harus ada kompensasinya. Pemerintah benar memberikan makan bergizi gratis dan bantuan sosial lainnya.
Namun ditinjau lebih lanjut, ternyata merugikan rakyat dalam jangka panjang. Sebab APBN negara kita belumlah kuat. Ujung-ujungnya rakyat dimintai pajak untuk membiayai kepentingannya sendiri di negara sendiri.
Inilah konsekuensi dari diterapkannya sistem kapitalisme sekularisme yang batil. Sistem kapitalisme sekularisme menjadikan penguasa dalam menjalankan amanah kekuasaannya layaknya berbisnis.
***
*) Oleh : Deny Setyoko Wati, S.H., Aktivis Muslimah.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.