Putusan MK Hapus PT 20 Persen, Jimly: Orang Aceh, Papua dan Keturunan Tionghoa Bisa Jadi Presiden
Glery Lazuardi January 10, 2025 05:30 PM

TRIBUNBANTEN.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.

Putusan MK ini membuka babak baru dalam politik Indonesia dengan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi siapa saja, tanpa terkecuali latar belakang geografis, etnis, maupun suku, untuk maju sebagai calon presiden. 

Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengapresiasi keputusan tersebut sebagai langkah positif untuk mengawal demokrasi dan konstitusi, sekaligus membuka ruang bagi kemajuan kebijakan konstitusional jangka panjang.

Menurut Jimly, peluang untuk menjadi calon presiden (capres) harus bersifat inklusif dan tidak terikat pada pembatasan apapun. 

"Calon presiden tidak harus selalu orang Jawa. Orang Aceh, Papua, maupun keturunan Tionghoa juga punya hak yang sama untuk maju menjadi capres," tegasnya. 

Dengan prinsip inklusivitas ini, ia menilai Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia semakin pantas disebut "the first largest democracy in the world."

Lebih lanjut, Jimly menyarankan agar tidak ada pembatasan terhadap jumlah calon presiden dalam pemilu. 

"Semakin banyak capres, semakin bagus. Hal ini adalah ekspresi pluralitas dan demokrasi," ujarnya. 

Ia mengilustrasikan hal ini dengan mencontohkan Rusia pada 2019 yang memiliki 34 capres sebelum akhirnya diseleksi menjadi delapan oleh komisi pemilu.

Jimly juga menekankan pentingnya reformasi dalam sistem politik, khususnya dalam internal partai politik. 

Ia mengusulkan agar partai-partai politik menggelar konvensi internal untuk memilih calon presiden terbaik yang kemudian disepakati melalui negosiasi antarpartai. 

Reformasi ini diharapkan dapat memastikan bahwa calon presiden yang diusung benar-benar mewakili aspirasi rakyat.

Terkait dengan putusan MK, Jimly berharap agar keputusan ini dapat mendorong terciptanya demokrasi yang lebih inklusif dan berkualitas. 

"Reformasi sistem politik harus menjadi agenda utama untuk memastikan semua warga negara, tanpa terkecuali, memiliki peluang yang sama dalam pemilihan presiden," pungkasnya.

Peluang Lebih Besar bagi Calon Presiden yang Beragam

Dosen Hukum Pemilu Universitas Indonesia sekaligus Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, juga menyambut positif keputusan MK yang membatalkan Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. 

Pasal ini mengatur mengenai ambang batas presidential threshold (PT), yang sebelumnya dianggap membatasi akses bagi calon presiden yang tidak didukung oleh partai besar.

Titi menjelaskan bahwa Pasal 222 pertama kali diterapkan dalam Undang-Undang Pemilu 2008 dan sejak itu telah diuji beberapa kali. 

Meskipun PT sebelumnya dianggap sah, Titi menilai keputusan MK yang membatalkan pasal tersebut membuka peluang lebih besar bagi calon presiden yang lebih beragam. 

"Putusan MK ini membuka peluang agar pemilu tidak menjadi 'pesta' bagi elit dan oligarki yang selama ini dikuasai oleh ketua umum partai," ujar Titi.

Titi menilai bahwa keputusan MK ini dapat mengurangi dominasi partai besar yang sering kali melahirkan calon presiden yang lebih mengutamakan kekuasaan politik semata. 

Proses pencalonan yang lebih terbuka dan inklusif diharapkan dapat menciptakan pemilu yang lebih demokratis.

Reformasi Konstitusional dan Sistem Politik yang Lebih Terbuka

Titi juga membahas pentingnya rekayasa konstitusional yang demokratis dan partisipatif untuk memastikan bahwa sistem pencalonan presiden tetap inklusif dan tidak terjebak dalam kontrol elit partai. 

Ia mengusulkan agar batasan minimal yang diperlukan untuk mengusung calon presiden tidak hanya menguntungkan partai besar. 

Menurutnya, ambang batas maksimal untuk pencalonan presiden sebaiknya ditetapkan pada 50 persen suara partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu.

Lebih lanjut, Titi menekankan bahwa perubahan ambang batas tidak hanya berlaku untuk pemilu presiden, tetapi juga untuk pemilu legislatif dan pilkada. 

Ia mengusulkan agar jika ambang batas parlemen dihapuskan, hal tersebut harus diikuti dengan penghapusan ambang batas di pilkada. 

"Ini dapat membuka ruang bagi lebih banyak calon kepala daerah dan presiden yang benar-benar mewakili kepentingan masyarakat," ungkap Titi.

Titi juga mengingatkan agar sistem pencalonan tetap berfokus pada penyelenggaraan pemilu yang lebih transparan dan akuntabel. 

Ia menyoroti masalah verifikasi partai politik yang terkadang dimanipulasi, serta pentingnya pengelolaan pilkada yang tidak berbarengan dengan pilpres agar proses pemilu lebih jelas dan mudah dipahami oleh publik.

Menuju Demokrasi yang Lebih Terbuka dan Berkeadilan

Dengan pembatalan PT oleh MK, Titi berharap Indonesia dapat menuju sistem demokrasi yang lebih terbuka dan berkeadilan. 

Ia berharap agar semua calon presiden memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi dan dipilih oleh rakyat. 

"Dengan sistem yang lebih inklusif, Indonesia dapat mewujudkan demokrasi yang lebih baik, di mana setiap individu dari berbagai latar belakang dapat berkontribusi dalam membangun bangsa, termasuk menjadi presiden," pungkasnya.

Untuk diketahui, MK sebelumnya membacakan putusan perkara nomor 62/PUU-XXI/2023 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1). 

MK mengabulkan permohonan yang pada intinya menghapus ambang batas pencalonan presiden.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Suhartoyo.

MK pun meminta pemerintah dan DPR RI melakukan rekayasa konstitusional dalam merevisi UU Pemilu. Tujuannya agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membeludak.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.