TIMESINDONESIA, RIAU – Beberapa penelitian menyatakan bahwa alokasi Dana Desa yang menjadi faktor yang secara signifikan dapat mengentaskan kemiskinan di desa. Sementara itu, data BPS menyatakan bahwa dibanding September 2022, jumlah penduduk miskin Maret 2023 perkotaan menurun sebanyak 0,24 juta orang (dari 11,98 juta orang pada September 2022 menjadi 11,74 juta orang pada Maret 2023).
Sementara itu, pada periode yang sama, jumlah penduduk miskin perdesaan menurun sebanyak 0,22 juta orang (dari 14,38 juta orang pada September 2022 menjadi 14,16 juta orang pada Maret 2023).
Secara persentase, jumlah penduduk miskin perkotaan masih relatif lebih rendah (7,53% pada 2022 menjadi 7,29% pada 2023) dibanding persentase penduduk miskin di pedesaan (12,36% pada 2022 menjadi 12,22% pada 2023).
Tren penurunan angka kemiskinan di desa ini dapat dikatakan salah satunya karena keberhasilan aparatur desa dalam mengoptimalkan pengelolaan dana desa (diakses dari https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2023/07/17/2016/profil-kemiskinan-di-indonesia-maret-2023.html)
Pencegahan Stunting dimulai dari Desa
Sebagaimana ketentuan dalam PermendesPDTT, salah satu prioritas penggunaan Dana Desa adalah untuk program penanganan stunting. Untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045, program penanganan stunting menjadi salah satu yang terpenting untuk menyiapkan SDM berkualitas.
Selain itu, keselarasan antara program penanganan stunting dengan program pengentasan kemiskinan menjadi penting karena jika sebuah keluarga miskin, maka potensi untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi dan anak-anak menjadi sangatlah terbatas.
Dalam lima tahun terakhir, anggaran kesehatan terus mengalami kenaikan. Dari sebesar Rp119,9 triliun pada tahun 2020, menjadi Rp124,4 triliun pada tahun 2021, lalu Rp134,8 triliun pada tahun 2022, kemudian Rp172,5 triliun pada tahun 2023, dan sebesar Rp186,4 triliun pada tahun 2024.
Dari jumlah tersebut, rata alokasi angggaran stunting berada di kisaran Rp. 34-44 triliun (anggaran.kemenkeu.go.id), yang akan didistribusikan kepada 17 Kementerian/Lembaga. Sementara sisanya sebesar Rp. 8,9 akan dialokasikan kepada Pemerintah Daerah pada Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Rp. 1,8 triliun untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Non-Fisik.
Fokus pemerintah pada Program Pencegahan Stunting ini adalah pada sektor bantuan operasional kesehatan, bantuan operasional Keluarga Berencana, serta ketahanan pangan dan pertanian. Persoalan stunting ternyata tidak hanya sebatas diakibatkan oleh gizi buruk.
Lingkungan yang sehat dan bersih, penghasilan keluarga yang mencukupi, kesiapan calon orang tua, dan akses air bersih juga menjadi faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak-anak. Maka dari itu, pemerintah tidak hanya berfokus pada aspek kesehatan murni saja, akan tetapi juga berfokus pada program-program pendamping yang mengarah pada aspek-aspek lain di atas.
Penelitian menyatakan bahwa alokasi anggaran Dana Desa dapat secara signifikan untuk mengurangi angka prevalensi stunting di tingkat desa. Kebijakan Dana Desa mendukung Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi dengan baik sesuai dengan indikator capaian intervensi gizi spesifik yang mencapai nilai 91,6% dan intervensi gizi sensitif yang mencapai nilai 81,44%.
Porsi sebagian anggaran Dana Desa untuk pencegahan stunting sudah mulai dialokasikan sejak tahun 2018. Peran Dana Desa pada konteks ini tentu sangatlah penting dan signifikan. Bagaimanapun, kondisi riil setiap keluarga dapat dipantau dengan lebih jelas dan detil oleh aparatur desa.
Penentuan prioritas pada program pencegahan stunting di setiap desa tentu berbeda-beda. Misal, fasilitas kesehatan, sanitasi, air bersih, dan kendaraan medis di setiap desa tentu tidaklah sama. Maka aparatur desa bersama warga harus melihat fasilitas dan program mana yang memiliki urgensi dan prioritas utama untuk dibangun dalam konteks penanganan stunting di desa mereka.
Upaya Mengurangi Kemiskinan Ekstrim
Dalam konteks penanganan kemiskinan ekstrim sebagaimana PermendesPDTT Nomor 13 Tahun 2023, aparatur desa dituntut untuk peduli dan memahami kondisi warganya, serta sensitif atas apa-apa yang terjadi di desa.
Pembagian BLT Dana Desa misalnya, harus riil menyentuh warga yang benar-benar membutuhkan bantuan, bukan berdasarkan asas kedekatan, atau suka/tidak suka. Instrumen BLT dalam porsi Dana Desa dapat menjadi salah satu faktor dalam mengurangi kemiskinan ekstrim.
Namun demikian, upaya ini seharusnya dapat lebih menyentuh aspek dasar yaitu kemampuan berusaha dan berdaya dari masyarakat desa. Jika masyarakat terlalu “dimanja” dengan BLT, maka dikhawatirkan justru muncul masalah baru ketika BLT itu dihentikan atau dikurangi jumlahnya. Ibarat pepatah, lebih baik pemerintah dapat memberikan kail ketimbang memberikan ikan.
Berikutnya, tujuan menyejahterakan masyarakat melalui pembangunan di desa juga sebaiknya disikapi dengan bijak. Pembangunan di desa sebaiknya tidak selalu berfokus pada masalah pembangunan fisik dasar seperti jalan, selokan, dan gapura.
Lebih daripada itu, peningkatan kualitas hidup masyarakat serta mengurangi kemiskinan ekstrim perlu mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan dasar seperti Posyandu, Polindes, PAUD, pembangunan sarana dan prasarana desa seperti badan jalan, drainase, rabat beton, dan pengadaan air bersih, pengembangan potensi ekonomi lokal desa terutama pendirian BUMDes atau Koperasi, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan.
Sementara itu, penyaluran Dana Desa juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi desa, menyerap tenaga kerja sektor pertanian, serta menurunkan jumlah penduduk miskin di pedesaan (Otheliansyah & Yasni, 2021). Di sisi lain, untuk mengurangi kemiskinan ekstrim juga perlu menyentuh aspek SDM sebagai pelaku utama ekonomi.
Ketika SDM semakin berkualitas dan terampil, diharapkan masyarakat dapat memperoleh pekerjaan yang lebih layak sehingga dapat berdaya dengan lebih baik sehingga dapat mengurangi derajat kemiskinan keluarga. Pembangunan manusia dalam upaya meningkatkan kompetensi dan pengetahuan, akan mendukung peningkatan kemampuan berusaha dan memproduksi barang dan jasa.
Agar Dana Desa dapat secara efektif mengurangi jumlah penduduk miskin, diperlukan perbaikan aspek formulasi, penguatan pengawasan, dan peningkatan inovasi dalam penggunaan Dana Desa. Reformulasi menjadi penting untuk memberikan reward serta mencegah moral hazard aparatur desa, sehingga desa-desa yang berkinerja baik dapat menikmati keberhasilannya, dimana salah satu indikatornya adalah pengurangan jumlah penduduk miskin secara riil.
Alokasi anggaran Dana Desa yang sangat besar di kisaran Rp.70-an triliun setiap tahunnya tentu merupakan sebuah peluang bagi 75 ribuan desa di seluruh wilayah Nusantara untuk berkembang, mandiri, dan maju. Selama ini, ketimpangan pembangunan masyarakat perkotaan dan pedesaan relatif besar.
Maka, Dana Desa dapat menjadi instrumen pemerataan pembangunan tersebut. Ketimpangan pembangunan pada konteks ini juga berkaitan erat dengan masih tingginya angka kemiskinan di area pedesaan.
***
*) Oleh : Muhammad Nur, Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II B Kanwil DJPb Provinsi Riau.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.