Pengamat Nilai Peluang Capres Tunggal di Pilpres 2029 Masih Ada Meski Presidential Threshold Dihapus
GH News January 12, 2025 08:04 PM

Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi menilai peluang calon presiden (capres) tunggal di Pilpres 2029 tetap terbuka, meski Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Sebab itu, dia mengusulkan DPR dan pemerintah menyusun aturan mengenai batas atas pencalonan presiden.

Hal itu disampaikannya dalam diskusi bertajuk Kontroversi Pemilihan Presiden Pasca Pembatalan Syarat Ambang Batas Oleh MK yang digelar secara daring pada Minggu (12/1/2025).

"Jadi batas atas pencalonan presiden itu penting supaya tidak terjadi calon tunggal. Karena masih mungkin ini, putusan MK ini masih memungkinkan terjadi capres tunggal," ujar dia.

Usulan itu disampaikannya berkaca dari Pilkada Serentak 2024, di mana masih ada kepala daerah melawan kotak kosong, meski MK telah menurunkan persyaratan pencalonan kepala daerah.

"Meskipun pintu normatifnya sudah dihancurkan sama MK, tetapi peluang itu masih ada (capres tunggal)," ucapnya.

"Nah supaya itu tidak terjadi, batas atas pencalonan presiden itu tolong ditetapkan," imbuhnya.

Lantas dia mengusulkan besaran batas atas pencalonan presiden pada rentang 40 hingga 50 persen.

Dengan demikian, diharapkan muncul capres lain meski MK menghapus presidential threshold 20 persen.

"Kalau misalnya batas atas di patok maksimum 40 persen, maksimum 50 persen. Itu masih membuka kemungkinan munculnya caloncalon yang lain," ucapnya.

"Enggak boleh di atas 50 persen misalnya. Supaya ada calon alternatif dan itu tugas DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undangundang," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya MK telah menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) yang sebelumnya diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu melalui putusan atas permohonan dari perkara 62/PUUXXII/2024.

Dengan demikian setiap partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa perlu memenuhi persyaratan minimal dukungan suara tertentu namun, MK juga memberikan catatan penting. 

Catatan itu yakni dalam praktik sistem presidensial di Indonesia yang didukung model kepartaian majemuk, potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat membengkak hingga sama dengan jumlah partai peserta pemilu. 

Hal tersebut dinilai menimbulkan kekhawatiran terhadap efisiensi pemilu dan stabilitas sistem politik.

Mahkamah juga menegaskan penghapusan syarat ambang batas adalah bagian dari perlindungan hak konstitusional partai politik. 

Namun menurut Mahkamah, revisi UU Pemilu yang akan datang diharapkan dapat mengatur mekanisme untuk mencegah lonjakan jumlah pasangan calon yang berlebihan, sehingga pemilu tetap efektif dan sesuai dengan prinsip demokrasi langsung.

MK juga menyoroti meski konstitusi memungkinkan pemilu dua putaran, namun jumlah pasangan calon yang terlalu banyak tidak selalu membawa dampak positif bagi perkembangan demokrasi presidensial di Indonesia. 

Dengan demikian, keputusan itu diharapkan menjadi titik balik dalam dinamika pemilu Indonesia, sekaligus menyeimbangkan hak konstitusional partai politik dengan kebutuhan stabilitas demokrasi.

Putusan MK terkait penghapusan syarat ambang batas tersebut merupakan putusan atas permohonan yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawankawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

MK menegaskan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama Gedung MK Jakarta Pusat pada Kamis (2/1/2025).

 

 

 

 

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.