Saya pernah menemukan sebuah kutipan yang mengatakan bahwa hidup pada dasarnya adalah perjalanan dari satu pertanyaan ke pertanyaan lainnya. Ibarat menerka rupa pada sekelebat tirai yang sempat tersingkap; samar dan membingungkan.
Dalam ketidakpastian itu, ada satu nasihat yang sederhana: when in doubt, write it out. Menulislah setiap kali kamu merasa ragu. Menulislah bahkan ketika tidak ada pilihan lain selain tetap menjalani hidup dan bertanya-tanya.
Menulis Sebagai Media Regulasi Emosi
Bagi saya, menulis bukan hanya sarana untuk menyalurkan ide, tetapi juga sebagai media regulasi emosi. Setiap untaian kalimatnya adalah sebuah upaya memperbaiki; mengurai riuhnya isi kepala, kikuknya menjadi dewasa, dan resahnya mengakui kesalahan, misalnya.
Dalam proses ini, menulis pun berperan sebagai media yang membantu stabilitas emosional seseorang. Namun, proses menulis tidak selalu selesai hanya dengan menuangkan kata-kata di atas kertas. Ada pertanyaan yang harus terjawab, ada jawaban yang harus tersampaikan.
Peran Penyuntingan dalam Menulis
Salah satu tahap penting bagi seorang penulis untuk menjembatani gagasan agar sampai pada pembaca adalah penyuntingan.
Menyunting bukan hanya sekadar mengoreksi kesalahan teknis, tetapi juga memoles ide dan tata bahasa agar dapat mengkomunikasikan pesan secara efektif kepada pembaca. Hubungan antara menulis dan menyunting ibarat melukiskan warna pada sketsa sederhana—merangkai kata dan mengasahnya menjadi tajam dan bermakna.
Tahap awal untuk menekuni dunia penyuntingan adalah menemukan “big why” dalam diri kita—sebuah motivasi yang mendorong kita untuk lebih peka terhadap detail dan bertanggung jawab dalam menyampaikan gagasan. Proses penyuntingan bukan hanya tentang mencari kesalahan, tetapi juga memperbaiki dan mengembangkan karya.
Berdiksi Seindah Dee Lestari
Salah satu motivasi yang menggerakkan saya untuk belajar lebih banyak adalah keinginan untuk bisa berdiksi seindah Dee Lestari. Seperti bagaimana Dee menggambarkan paras Jati Wesi atau aroma tubuh Tanaya Suma dengan detail dan memukau dalam "Aroma Karsa", saya ingin belajar memilih dan menyusun kata dengan tepat dan indah dalam konteks tertentu. Saya yakin kemampuan ini dapat dilatih dengan banyak membaca dan menganalisis lebih dalam karya-karya yang sudah ada.
Pada tahap penyuntingan, aspek yang perlu diperhatikan tidak hanya terbatas pada kesalahan ejaan, penggunaan tanda baca, atau pemilihan diksi, tetapi juga bagaimana gaya bahasa dan struktur kalimat mendukung makna yang ingin disampaikan. Faktanya, unsur sekecil apapun dalam sebuah karya sangat berpotensi mengubah makna. Maka, seorang penyunting harus mampu menilai apakah hal tersebut sudah digunakan secara efektif dalam konteks karya yang disunting.
Lisensi Puitis
Namun, penting pula untuk memahami bahwa setiap karya memiliki apa yang disebut sebagai lisensi puitis. Konsep ini mengacu pada kebebasan penulis dalam menggunakan bahasa secara kreatif, sehingga beberapa "kesalahan" yang tampak dalam teks dapat diterima sebagai bagian dari gaya penulisan yang unik. Oleh karena itu, penyunting harus memahami konteks dan gaya bahasa penulis agar tidak melakukan koreksi yang justru merusak karakter atau tujuan estetis karya tersebut.
Meskipun demikian, saya pun menyadari bahwa tulisan ini masih memiliki banyak kesalahan, baik dalam penggunaan kata hubung di awal kalimat, penempatan huruf miring dan tanda petik, atau kesalahan ejaan lainnya. Kesalahan-kesalahan tersebut murni karena ketidaktahuan yang belum saya sadari—bukan karena lisensi puitis yang saya miliki.
Pada akhirnya, menulis dan menyunting adalah dua proses yang saling melengkapi. Menulis memberikan ruang bagi penulis untuk mencurahkan ide dan emosi, sementara menyunting memastikan bahwa ide tersebut tersampaikan dengan jelas dan tepat kepada pembaca.