TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penjualan otomotif selama 10 tahun bertahan di angka 1 juta unit. Tahun lalu, penjualan diprediksi hanya sebanyak 850.000 unit.
Penyebab menurunnya penjualan mobil dalam negeriakibat dari rendahnya daya beli akibat penurunan kelas menengah, menurunnya produktivitas tenaga kerja, melambatnya pertumbuhan PDB per-kapita, inflasi tinggi, nilai tukar mata uang asing, suku bunga, keterbatasan pembiayaan dan regulasi pemerintah.
Sebagai catatan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2019 hingga 2024, masyarakat kelas menengah yang menjadi pembeli potensial kendaraan roda empat turun sebanyak 9,48 juta.
Ekonom Raden Pardede menganjurkan para produsen mobil tidak mengambil keuntungan yang besar dari produk buatan mereka untuk mengatrol daya beli.
"Jangan pula pengusahaan ini dalam situasi sekarang mengambil margin terlalu banyak. Keseimbangan itu yang menurut saya yang harus diperhatikan kalau memang kita ingin membuka industri mobil ke depan," ungkap ekonom Raden Pardede di acara diskusi yang diselenggarakan Forwin "Prospek Industri Otomotif 2025 dan Peluang Insentif dari Pemerintah" di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (14/1/2025).
Raden berpesan agar adopsi kendaraan listrik di masyarakat dilakukan secara perlahan, jangan langsung berpindah dari Internal Combustion Engine (ICE) ke Electric Vehicle (EV).
"Strategi industrialisasi kita di dalam otomotif tidak nol langsung ke satu. Tidak seperti ICE langsung menjadi EV. Menurut saya sebagai ekonom harus lebih fleksibel. Jadi ada pack-nya, ada stages-nya.
Mungkin dari nol menjadi 1/4, menjadi 1/5, menjadi 3/4. Karena setiap negara sekarang itu menginginkan kita menjadi ramah lingkungan ke EV.
"Setiap negara punya stage masing-masing," ucapnya.
Raden juga mencontohkan, China yang menginginkan seluruh kendaraan yang beroperasi di negara tersebut dari ICE berubah langsung ke EV, tapi itu dinilai tidak akan mungkin.
"Tidak akan pernah menjadi dari nol menjadi satu. Semuanya tidak mungkin menjadi EV. Menurut saya, kita harus mendesain skenario untuk Indonesia sendiri," ucapnya.
Skenario industri Indonesia ke depan itu sangat bergantung kepada dua hal, yakni affordability dan regulasi.
"Ada kecenderungan regulasi dan requirement ini diolah oleh para politisi. Para politisi dia cenderung ingin dari nol ke satu. Jadi affordability atau keterjangkauannya belum ada," terangnya.
Dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat dan perpindahan perlahan dari ICE ke EV, bisa membuat pasar otomotif menjadi berkembang.
Selain itu, juga margin keuntungan yang diinginkan pengusaha harus ditekan terlebih dulu, agar jangan terlalu tinggi.