TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam lanskap hukum yang terus bergulir, sebuah riak kecil menjelma gelombang yang menggetarkan dasar-dasar keadilan. Demikianlah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 150/PUU-XXII/2024 hadir. Putusan tersebut menghamparkan sebuah tafsir baru atas pengabdian dan pengorbanan yang tersemat dalam jubah (korp) para aparatur sipil negara.
Laksana mata air yang jernih mengalir di sela-sela batu cadas. Putusan tersebut melerai sekat antara keterikatan birokrasi dan panggilan hati akan keadilan. MK, dalam kebijaksanaannya yang megah, “merestui” para Pegawai Negeri Sipil (PNS) memberikan bantuan hukum pro bono. Menyandingkan tanggung jawab profesi dengan tugas luhur memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Menyalakan lentera penerang bagi mereka yang terbelenggu dalam kegelapan ketidakberdayaan.
Dengan palu yang diketuk penuh khidmat, batas-batas formalisme birokrasi tidak lagi memadamkan kobaran nurani. Putusan tersebut adalah seruan bagi setiap penjaga keadilan, terutama kepada abdi negara. Dengan baju kebesaran dan pengabdiannya, PNS berhak dan patut hadir sebagai pembela hak-hak rakyat. PNS tanpa harus terbelenggu oleh sekat administrasi yang kaku dalam memberikan bantuan hukum.
Menelisik perjalanan menuju putusan tersebut bagai alur sebuah epik yang panjang. Gugatan demi gugatan berkelindan, disertai riuh rendah suara yang memperjuangkan makna sejati pelayanan publik. Hingga akhirnya, MK, dengan pena emas keadilannya, melahirkan titah yang mengembalikan esensi kemanusiaan dalam profesi seorang PNS.
Seorang guru atau dosen yang berlatar belakang ilmu hukum tak hanya mengajar di ruang kelas. Mereka diberi ruang untuk berani membela masyarakat yang teraniaya secara hukum.
Seorang pegawai dinas sosial, tak hanya mencatat laporan kemiskinan, melainkan juga bisa membela kaum tertindas di meja hijau. Putusan ini membuka gerbang, mengizinkan hati yang mulia untuk bersuara lantang, demi menuntun keadilan kepada mereka yang memerlukannya.
Namun, di balik cahaya terang keputusan ini, tersimpan pula bayang-bayang tantangan yang perlu diwaspadai. Akankah kebebasan ini tetap terbingkai dalam koridor integritas? Ataukah akan menjadi celah yang dapat disalahgunakan? Dalam konteks inilah kesadaran kolektif, merupakan faktor yang teramat penting. Sebab, setiap hak selalu beriringan dengan tanggung jawab yang mendalam.
Putusan MK Nomor 150/PUU-XXII/2024 bukan hanya sekadar teks dalam lembaran negara. Ia adalah nyanyian keberanian. Melodi tentang harapan yang dibisikkan oleh mereka yang selama ini tak bersuara. Ia mengingatkan kita bahwa hukum, pada hakikatnya, harus melayani keadilan. Hukum bukan sekadar menjadi palang pembatas yang mengekang kepedulian.
Dalam nuansa putusan tersebut terpatri sebuah harapan: semoga setiap abdi negara yang memilih jalan ini, melangkah dengan ketulusan. Melakukannya tanpa pamrih, tanpa pretensi. Menjadi lilin kecil yang menerangi jalan gelap. Menjadi suara bagi yang bisu, serta menjadi tangan yang merangkul yang terpinggirkan.
Pada akhirnya, putusan tersebut mengajarkan kita, bahwa hukum yang sejati adalah yang berdenyut dengan kasih sayang. Tegak bukan hanya dengan aturan, melainkan dengan kearifan. Sebab, dalam setiap palu yang diketuk dan kata yang terucap di pengadilan, terselip doa agar keadilan tetap menjadi suluh yang membimbing peradaban manusia menuju cahaya yang hakiki.
Fakhruddin al-Razi, seorang filsuf, teologi, dan ahli tafsir terkemuka menyatakan bahwa hakekat hukum yang sejati adalah hukum yang bersumber dari kehendak Allah (Tuhan Yang Maha Esa). Ia mencerminkan keadilan ilahi, yang dapat dipahami dengan akal yang tunduk pada wahyu. Membawa kemashlahatan bagi umat manusia. Bersifat universal dan mengarahkan manusia pada tujuan akhir berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat. (*)
Oleh: Mohamad Sinal, Dosen Polinema, Pendiri dan Pembina Pena Hukum Nusantara (PHN), Forum dan Wadah Silaturahmi Mahasiswa Fakultas Hukum se- Indonesia.