Di Banten sejak tiga abad lalu kebutuhan air bersih sudah menyusahkan juga hingga kerajaan di sana harus membangun bak khusus untuk mengatasinya -- sebagaimana dituturkan Nurhadi Rangkuti untuk Majalah Intisari Agustus 1991.
Penulis: Nurhadi Rangkuti untuk Majalah Intisari edisi Agustus 1991
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Speelwijk, benteng Belanda di muara Sungai Cibanten itu, bagaikan tempat penampungan orang-orang sekarat.
Seratus orang penghuni bangunan pertahanan yang didirikan tahun 1385 itu, kekurangan cairan dalam tubuhnya akibat persediaan air minum telah lama habis. Keadaan yang tidak sehat itu disaksikan penulis Belanda, Stavorinus, ketika berkunjung ke Banten tahun 1769.
Banyak di antara mereka, demikian catatannya, terpaksa harus minum air sungai yang kotor dan busuk.
Akibatnya, penyakit menjalar ke mana-mana. J.A. van der Chijs, juga seorang penulis, telah menghitung sejak tahun 1757-1787, 24 dari 100 orang Belanda telah meninggal dalam benteng, karena air yang tidak sehat.
Langka air bersih
Sejak awal berdiri, Kerajaan Banten dilanda kekurangan air bersih. Daerah ini, di pantai utara sekitar Teluk Banten dan Pantai Pontang, memang kering dan tidak subur, apalagi suhu udara tinggi dengan curah hujan yang rendah.
Walaupun daerah ini juga dialiri sungai, seperti Sungai Cibanten dengan tiga anak sungai, namun karena letaknya di dataran rendah yang sangat luas, air sungai mengalir sangat lambat dan penuh lumpur.
Apalagi lapisan tanah dan batuan daerah Banten merupakan endapan aluvial. Endapan dari lumpur sungai dan laut ditambah dengan batu karang, membuat daerah ini langka air bersih.
Meskipun begitu, itu semua tidak membuat Sunan Gunung Jati, pemimpin dari Cirebon, membatalkan niatnya memilih daerah gersang itu.
Setelah menaklukkan Banten Girang, pusat kekuasaan Kerajaan Pajajaran, dia menetapkan daerah Banten Lama sebagai pusat kerajaan beragama Islam. Dia menyuruh putranya, Hasanudin, mendirikan Keraton Surosowan sebagai ibu kota Kerajaan Banten, sekitar tahun 1524-1525.
Rupanya Sunan Gunung Jati lebih mementingkan letak daerah itu yang strategis dari segi politik dan ekonomi.
Setelah Portugis menguasai Selat Malaka pada tahun 1511, banyak pedagang mengalihkan jalur dagangnya ke daerah Selat Sunda. Banten pun akhirnya menjadi besar, karena mampu menampung perdagangan internasional yang tidak mau kompromi dengan penguasa Portugis di Selat Malaka.
Apalagi daerah pantai ini tanahnya datar, sehingga memudahkan dalam perencanaan kota. Tembok keliling kota pun dibangun untuk pertahanan dari serangan musuh.
Masalah tanah tidak subur dan kurang air pada waktu itu, diatasi dengan pembangunan irigasi dan pembukaan tanah-tanah persawahan di daerah sebelah selatan. Namun, penduduk terus bertambah, Banten semakin padat dan tak teratur.
Terutama di bagian timur kota, berdiri ratusan rumah yang tidak beraturan. Air bersih kembali menjadi persoalan.
Hanya untuk keraton
Kapal Belanda pertama kali masuk ke kota internasional itu pada 1596, di bawah pimpinan Comelis de Houtman. Ketika itu Banten dipimpin oleh Pangeran Aria Japara yang bertindak sebagai wali raja dari Pangeran Muhammad, putra Maulana Yusuf, yang masih kecil.
Barulah tujuh tahun kemudian orang-orang Belanda itu mendapatkan tanah dari sultan. Wijbrant van Waerwijk menceritakan, pada 20 Agustus 1603, sultan memberikan sebidang tanah kepada orang-orang Belanda di tengah kota, di tepi jalan lurus menuju istana.
Lama-kelamaan tempat itu terlalu sempit untuk menampung orang Belanda yang jumlahnya semakin membesar. Mereka memohon jatah tempat lagi. Sultan mengabulkannya.
Pada tanggal 10 Juli 1659 ditandatangani surat perjanjian perluasan tempat tinggal mereka. Pemukiman mereka berdekatan dengan pemukiman orang Inggris.
Belanda semakin kuat menancapkan kukunya di Banten, ketika mereka berhasil mendirikan benteng pertahanan Speelwijk pada 1685. Nama benteng itu berasal dari nama Gubernur Jenderal Cornelis Janzsen Speelman, yang berjasa dalam tahun 1681-1684.
Pada waktu itu ada 440 orang Belanda yang tinggal di benteng itu. Walau semua masyarakat Kota Banten mengeluh kekurangan air bersih, cuma Belanda saja yang paling lantang menuntut fasilitas itu.
Pada abad ke-17 itu lingkungan Banteng memang sudah rusak parah. Semua semua dan sumber air sudah tercemar akibat ulah manusia.
Penanaman lada yang berlebihan di pedalaman (Banten terkenal karena komoditi ini) menyebabkan erosi tanah yang terus-menerus sehingga mempercepat pengendapan di daerah aliran Sungai Cibanten. Belum lagi penduduk membuang sampah di sungai dengan sembarangan.
Hingga akhirnya, sultan Banten menyuruh membuat waduk di luar kota, di Tasik Ardi, dalam wujud danau kecil 1,5 km di sebelah selatan keraton. Air bersih dari waduk itu dialirkan melalui pipa ke keraton.
Pada saluran pipa didirikan tiga bangunan penjernih air yang disebut pengindelan, berturut-turut namanya Pengindelan Abang, Pengindelan Putih dan Pengindelan Mas. Proyek ini selesai pada tahun 1701 oleh Hendrik Lacaszoon Cardeel, arsitek Belanda.
Rupanya nama ketiga penyaring itu disesuaikan dengan hasil saringannya. Penyaring Abang, yang dalam bahasa Jawa berarti wama merah, adalah penyaring pertama yang hasil airnya masih kotor.
Dari situ air dialirkan ke Penyaring Putih. Sesuai dengan namanya, penyaring ini menghasilkan air yang lebih bersih atau putih, tapi belum memenuhi syarat sebagai air bersih.
Untuk itu perlu disaring lagi, yaitu di Penyaring Mas hingga benar-benar menjadi air bersih. Air bersih itu sebagian ditampung di kolam Pancuran Mas di dalam kompleks Keraton Surosowan, dan sebagian lagi dialirkan ke bagian tengah kompleks keraton.
Ketiga bangunan penyaring dibuat dari bata yang dilapisi lepa. Bangunan dengan panjang 18,5 m, lebar 5,6 m dan tinggi 3,7 m ini, atapnya berbentuk prisma terpancung dengan puncak atap mendatar (lebar 30 cm).
Ada pintu masuk berbentuk susunan bata lengkung asli. Di dalamnya terdapat empat buah tiang berjajar mengikuti panjang ruangan, menyangga langit-langit bangunan yang berbentuk lengkung asli setengah lingkaran.
Pipa saluran yang berada di atas lantai, dibuat dari tanah liat bakar.
Hanya kalangan keraton yang menikmati hasil air bersih itu. Rakyat dan golongan lain tidak mendapat setetes pun. Termasuk juga orang-orang Belanda yang ada di Speelwijk.
Lalu Belanda pun menuntut perjanjian agar sultan menyalurkan air dari Tasik Ardi ke Benteng Speelwijk. Namun, janji tinggal janji.
Sultan-sultan Banten selama 30 tahun tidak mau memasok air bersih ke benteng itu. Akibatnya, banyak orang Belanda yang mati karena terpaksa minum air kotor.
Sumur
Prachmatika, arkeolog staf Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Peninggalan Purbakala, telah mencatat 19 sumur kuno yang terdapat di Banten Lama.
Ternyata masyarakat kuno di Banten Lama telah mencari alternatif lain dalam mengatasi krisis air bersih. Sumur-sumur itu dibuat dengan perekat lempung, perekat campuran pasir dan kapur dari bcrta.
Selain sumur bata, juga ada sumur yang dibuat dari tanah liat bakar yang bersifat kedap air.
Menurut Prachmatika, teknologi sumur di Banten Lama itu bertujuan untuk mendapatkan air bersih dari dalam tanah. Air tanah yang mengalir ke dalam sumur akan tertahan lebih dulu oleh dinding sumur, baik yang dibuat dari bata maupun tanah liat bakar, sehingga partikel-partikel yang dibawanya tidak terlalu banyak masuk ke dalam sumur.
Dengan demikian penurunan kualitas air sumur akibat pendangkalan dapat diperlambat.
Yang menarik, ada sumur yang bagian bawahnya dilengkapi dengan bongkahan karang - sumur alam yang banyak terdapat di Banten. Jenis karang ini sangat baik untuk penyaring air, selain untuk mengatasi perembesan air laut (karang cenderung memperkecil tingkat pencemaran oleh laut).
Dari catatan orang-orang Belanda yang pertama datang ke Banten, disebutkan biaya pembuatan sebuah sumur sangat murah. Namun, masih tidak terjangkau oleh orang miskin pada waktu itu.
Pemilik sumur kebanyakan berasal dari kalangan raja dan bangsawan, golongan elite atau nonelite yang berdaya beli cukup tinggi. Prachmatika memperkirakan, golongan mampu memiliki sekurang-kurangnya sebuah sumur untuk satu keluarga.
Karena sumur amat vital pada waktu itu, orang miskin pun membangun sumur dengan cara iuran dan gotong royong. Sebuah sumur dimanfaatkan bersama dalam satu komunitas kecil.
Begitulah balada air bersih di Kesultanan Banten pada abad 17 dan 18 lalu.