Perempuan dan Langit-Langit Meredian
Junius Andria January 16, 2025 04:13 PM
Alya berdiri memandangi jalanan Jakarta dari lantai ke-25 gedung kantornya. Bising dan padat, seperti pikirannya. Dia hanya bisa menyesap kopi, sembari merenungkan suara-suara dibenaknya. Suara-suara Aldo dan Pak Hendra yang setiap hari membuat Alya berpikir ulang, akan keberhargaan dirinya untuk perusahaan. Apa yang perlu dibanggakan?
Delapan tahun Alya bekerja di sebuah perusahaan biro konsultan bisnis paling bonafit di Jakarta. Kata orang, tempatnya bekerja adalah tempat orang-orang pilihan. Tetapi sajauh ini, Alya belum pernah memiliki perasaan, berbangga menjadi bagian dari Meredian. Alya kembali menyesap kopinya sembari tidak mengingat-ingat kejadian tadi pagi yang begitu menguji kesabarannya.
"Gara-gara kamu, gue kena semprot Pak Hendra, lo kerja mikirin apa sih? Kenapa bisa salah tulis segala? Lo kan tahu Pak Hendra teliti soal angka.” Cerocos Aldo.
“Lo nggak ngecek lagi, Do?”
“Ya ngapain harus kerja dua kali sih, kan gue sudah percayakan ke lo.”
“Kalkulator aja bisa salah, apalagi gue.”
“Terus ini salah gue?” Aldo masih berkeras tak mau disalahkan.
Alya mengehela nafas panjang. Batinnya bergumam, sejak kapan dia harus menjadi babu Aldo. Sementara, dia jauh lebih berpengalaman untuk menjadi atasan Aldo.
...O0O...
Malam itu, Alya duduk lama di sofa apartemennya. Kepalanya sakit karena terlalu banyak menyelesaikan tugas. Aldo memberinya banyak laporan untuk di analisis dan di revisi. Karena tak mau lembur dan berlama-lama dengan Aldo, Alya terpaksa membawa berkas-berkasnya pulang dan mengerjakannya di apartemen.
Setiap kali ia membuka laporan kantor, pikirannya melayang pada kejadian-kejadian tak mengenakan di kantor. Rasanya, batinnya selalu bergejolak, seperti ada yang tak wajar. Kenapa dia yang harus bersusah payah mengerjakan tugas Aldo, sementara hanya Aldo saja yang mendapatkan promosi di kantor. Padahal kontribusi Alya jauh lebih banyak dan lebih senior dibandingkan Aldo.
Jarang ada proyek yang gagal, jika Alya yang turun tangan. Presentasi bisnis yang dia bawakan selalu mendapatkan respon positif dari kolega. Stragegi bisns yang Alya tawarkan juga lebih diperhitungkan, tetapi semua seperti tidak ada artinya, Alya masih ditempatnya. Tidak kemana-mana.
"Apa gue terlalu nyaman?" pikirnya.
Alya teringat diskusi dengan Rara beberapa hari sebelumnya.
"Kalau keluar, gue mau kerja apa?" tanya Alya waktu itu.
"Kenapa sih selalu mikir kerja harus di perusahaan orang, Al? Lo ngerti banyak soal personal branding, strategi pemasaran, kenapa nggak bikin bisnis marketing sendiri?" Tukas Rara.
"Ya bikin bisnis kan nggak semudah itu, Ra. Perlu modal dan planning yang matang. Bukan sekedar ada yang bisa di jual.” Jawab Alya.
“Lo udah punya itu semua, Alya! Lo hanya kurang nyali.”
...O0O...
Pagi berikutnya, Alya datang ke kantor dan kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Anehnya, semakin hari perasaannya menjadi berat setiap kali ia bertemu Aldo di ruang rapat. Belum lagi dia harus mendengar sanjungan Pak Hendra atas laporan Aldo yang bagus, yang sebenarnya pekerjaan Alya. Aldo benar-benar seperti berada di atas angin, sementara dirinya adalah angin itu sendiri. Tidak terlihat.
Apa semua ini sepadan? Gaji besar, asuransi, dan keamanan finansial yang selama ini dia nikmati memanglah menjanjikan masa depan yang cerah. Tapi apa artinya, jika setiap hari ia harus mengorbankan semua tenaga dan pikirannya untuk kejayaan Aldo? Rasanya seperti berjalan di atas pasir hisap, yang tidak akan pernah membuatnya kemana-kamana, selain menguburnya dengan tugas-tugas yang diberikan Aldo.
Alya mulai mengingat setiap kejadian-kejadian kecil yang sudah dia abaikan. Dia baru ingat, jika dia sering menerima tugas-tugas lapangan dari pada Aldo. Sedangkan Aldo lebih sering diberikan tugas-tugas strategis. Aldo sering dapat panggung untuk melakukan presentasi-presentasi strategis pada klien dari pada Alya.
Alya berpikir, ini bukan hanya sekedar tentang Aldo ataupun personal problem yang orang lain pikir, sebagai rasa cemburu karena rekan kerja naik jabatan. Tetapi ada sesuatu yang salah dengan sistem perusahaan di tempatnya bekerja. Sistem yang membuat perempuan seperti Alya, tidak begitu banyak mendapat dukungan untuk menduduki posisi-posisi strategis dan penting. Sistem yang membuat Alya meragukan nilai dirinya.
..O0O..
Suatu malam, Alya baru akan pulang dari kantor. Badannya begitu lelah. Aldo benar-benar memberinya 'bom' tugas analisis yang tak keruan banyaknya. Dia hendak menuju mobil di parkiran, sebelum akhirnya tertahan oleh pemandangan tidak biasa. Dia melihat Aldo dan Pak Hendra dalam mobil. Alya tidak ingin tahu lebih banyak, tapi kedua orang itu, sudah membuat kedua kakinya seperti di siram es. Beku. Dia melihat Aldo dan Pak Hendra bercumbu dengan mesranya di dalam mobil, membuat Alya bergidik.
Bagaimana mungkin, dia baru menyadari jika Aldo dan Pak Hendra memiliki hubungan spesial. Aldo, juniornya yang bergabung di Meredian dua tahun terakhir, adalah simpanan Pak Hendra. Alya mengatur nafasnya yang kembang-kempis, karena melihat hal-hal yang tak terduga. Rasanya seperti telah di khianati, meski bukan urusan dia jika Pak Hendra dan Aldo memiliki hubungan spesial, tetapi, gara-gara hubungan spesial itu, Alya harus kehilangan kesempatan untuk menjadi atasan Aldo.
Setelah sedikit lega, Alya menjalankan mobilnya dan pulang dengan pikiran carut-marut. Di kepalanya hanya, muncul dua jalur kehidupan. Yang pertama, keadaan ini tidak akan pernah membaik, meski dia sudah berkerja keras. Dia berada di tempat yang salah. Rekonisi atau penghargaan atas prestasinya hanya akan menjadi hikmah, meski keamanan finansial bisa dia dapatkan setiap bulan. Selain itu, dia tidak ingin terus-menurus jadi Babu Aldo.
Sementara jalur kedua, adalah jalur gelap, jalur yang belum pernah dia kenali sebelumnya. Tetapi kesempatan untuk mendapatkan yang di butuhkan akan sangat terbuka lebar. Dia akan memiliki banyak kesempatan di jalur ini, meskipun sulit dan memiliki resiko gagal, tetapi setiap kerja kerasnya akan terbayar dengan adil.
...O0O...
"Al, proposal yang gue pesan udah siap?" Tanya Aldo setelah Alya tiba di kantor.
"Yang mana Do?"
"PT. Galaksi, mereka mau minta pagi ini."
"Sori gue belum analisis Do. Gue baru nyelesain proposal PT. Bramana."
"Duh! Lo gimana sih Al, masa analisis aja lama banget. Gue nggak mau tahu, lo selesaikan proposal itu sekarang dan jam 10 nanti email ke gue."
Alya mulai tak sabar, dadanya serasa mau meledak. "Itu kan tugas lo, Do, kok lo kasih ke gue lagi."
"Tugas gue presentasi, Al. Tugas lo yang buat analisis dan proposal!"
Alya ingin melemparkan berkas-berkas laporan di depan mejanya, ke wajah Aldo. Tetapi dia cukup waras untuk tidak melakukannya. Dengan kesal Alya meninggalkan Aldo, dan buru-buru menuju kantornya.
Alya menutup pintu kantornya dengan keras. Sampai menggetarkan jendela. Kelakukan Aldo sudah tidak bisa di tolelir lagi.
...O0O...
Alya pulang ke apartemen. Hari-harinya terasa lebih panjang sejak dia mengetahui ketimpangan yang dia dapatkan. Apa wanita-wanita lain yang bekerja seperti dirinya juga mendapatkan perlakuan serupa? Jika, iya alangkah mirisnya menjadi perempuan. Meski sudah bekerja sekeras tenaga, tetapi jarang bisa mencapai puncak hierari tertinggi di perusahaan. Alya mendekap dirinya, menimbang-nimbang keputusan terbaik yang bisa dia lakukan untuk masa depannya.
Jakarta baru saja membuka mata, tapi Alya sudah siap ke kantor. Dia memakai setelan hitam dan putih dari Prada, lantas pergi menuju kantor. Sesampainya, Alya berjalan dengan mantap menuju kantor Pak Hendra. Dia membawa secarik map dan surat untuk Pak Hendra.
Bagaimanapun nyamannya kondisinya sekarang, dia mengerti ada hal-hal yang lebih berharga dari kenyamanan finansial. Alya juga tidak bisa melupakan peristiwa seminggu lalu, yang menguatkan dirinya bahwa keputusan yang akan dilakukan adalah hal yang benar. Pengkhianatan tetaplah pengkhianatan. Dan apa yang dilakukan Pak Hendra adalah jenis pelanggaran berat. Mengkhianati keluarga dan dirinya sebagai sesama pekerja. Dia menyerahkan secarik surat pengunduran diri.
"Alya, kamu yakin? Kamu karyawan terbaik kami." Ujar Pak Hendra dalam keterkejutan yang sudah diprediksikan Alya.
"Saya yakin, Pak. Terima kasih atas semua pelajaran dan kesempatan yang sudah diberikan selama saya di sini."
“Alya, ayolah, akan sulit untuk mencari penggantimu nanti.” Bujuk Pak Hendra.
“Pasti ada, Pak.” Alya pun berlalu tanpa menunggu jawaban dari Pak Hendra. Mereka bersalaman dan Alya dengan lega melenggang meninggalkan Gedung Meredian. Dia sudah janjian dengan Rara, di cafe tempat mereka akan membuka bisnis bersama.
...O0O...
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.