TRIBUNSUMSEL.COM - Ahmad Nurdin (50), seoang guru SMA Putra Bangsa di Desa Pajanangger Kecamatan Arjasa pulau Kengean Sumenep diancam dengan parang dan motornya dibakar.
Pengancaman dan tindakan membakar motor tersebut dipicu lantaran pelaku tak terima dengan isi pidato yang disampaikan korban saat upacara di sekolah.
Peristiwa pengancaman dan pembakaran guru honorer yang mengajar sejak tahun 1990 itu terjadi di Dusun Bugis Desa Pajanangger, Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep pada Senin (13/1/2025) lalu.
Diketahui, pelaku adalah AQ (19) tamatan SMA di luar kota yang merupakan pemuda di desa setempat.
Adapun isi pidato pak Nurdin tersebut sang guru menyampaikan pesan kepada murid-muridnya untuk menghormati orang tua.
Jangan sampai para siswa berani kepada orang tua, apalagi bahkan mengancam untuk membunuhnya.
Sebab ilmunya tidak akan berkah ketika sudah di tengah-tengah masyarakat.
Ahmad Nurdin sendiri merasa tidak menyinggung siapa pun dan tidak menyebut nama siapa pun saat memberikan nasehat dalam upacara.
Pak Nurdin mengau tidak tahu dari mana pelaku mendengar pernyataannya saat menjadi pembina upacara di sekolah.
"Sambutan saya saat upacara adalah global, kepada semua siswa dan tidak menyebutkan siapapun," jelasnya.
Menurut korban, pelaku beranggapan bahwa pernyataan tersebut ditujukan kepada dirinya.
"Setelah mencegat saya, pelaku bertanya dengan nada tinggi dan bahkan marah-marah," jelasnya.
Namun pelaku diduga mendapatkan informasi terkait isi sambutan guru tersebut.
Pelaku yang mendengar ucapan guru itu lewat teman-temannya, lantas merasa tersinggung dan tersulut emosi.
Sepulang dari mengajar, kata Ahmad Nurdin, pelaku tiba-tiba mencegatnya tepat di akses jalan Dusun Bugis Desa Pajanannger.
"Saat itu kata pelaku tersinggung dengan pernyataan saya saat menjadi pembina upacara di sekolah," ungkapnya.
Tidak lama kemudian, pelaku mengeluarkan sebilah parang dan dihunuskan kepada korban.
Pedang tersebut sempat ditempelkan ke kepala dan pipi sang guru.
"Kedua pipi saya sempat diiris dengan pedangnya, untung tidak luka," ucapnya.
Korban melihat pelaku tampak emosi tidak terkendali dan korban turun menjauh dari motornya sekitar 15 meter.
Dari kejauhan, pelaku terlihat beberapa kali menebas motor korban dengan pedangnya.
Warga dan sejumlah siswa di tempat korban mengajar, sempat berada di lokasi kejadian. Tetapi mereka tidak bisa berbuat apapun.
"Setelah itu saya menuju ke rumah kepala desa. Tapi kades tidak ada, katanya sedang berobat. Saya hanya ditemui tukang masaknya (kades)," katanya.
Karena tidak bertemu dengan kepala desa, korban pun berinisiatif untuk pulang dan menenangkan diri.
Beberapa saat setelah tiba di rumah, korban mendapatkan kabar bahwa motornya sudah hangus terbakar.
"Ada voice note yang diterima oleh kerabat dan juga beredar video motor (saya) sudah bakar oleh pelaku," sebutnya.
Pelaku Terancam 10 Tahun Penjara
Sementara itu, Plt. Kasi Humas Polres Sumenep AKP Widiarti Sutioningtyas mengungkapkan bahwa pelaku AQ kini telah ditangkap aparat kepolisian untuk ditindak lebih lanjut.
"Pelaku AQ (Ahmad Qurtubi) sudah diamankan karena diduga melakukan pengancaman membunuh dengan senjata tajam dan melakukan pengrusakan sepeda motor milik seorang guru," ujar Widiarti, Selasa.
Guru Jatuh Sakit
Lima hari setelah peristiwa pembakaran motor itu, ia jatuh sakit. Pak Nurdin terserang batuk, demam dan meriang.
"Saya hanya bisa beraktivitas di dalam rumah (gubuk) Mas," kata Pak Nurdin kepada Kompas.com, Jumat (17/1/2025).
Guru swasta asal desa Pajanannger, Kecamatan Arjasa pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur ini, sudah tidak mengajar setelah peristiwa mencekam itu terjadi.
Dia tidak memiliki kendaraan untuk berangkat dan pulang dari sekolah SMA Putra Bangsa, yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari rumahnya. Apalagi kebugaran tubuhnya tidak seperti dulu.
Di samping itu, Pak Nurdin masih berusaha menyembuhkan trauma yang menghantuinya.
Selama menjalani hidup, dia tidak pernah diancam dengan pedang dan motornya dibakar.
Meskipun berprofesi sebagai guru, Pak Nurdin bukanlah orang yang hidup serba berkecukupan. Selama ini, dia hanya menggantungkan hidupnya dari upah menjadi guru yang jumlahnya tidak seberapa.
"Tidak sampai 1 juta per bulan Mas," ujarnya.
Selama bertahun-tahun, Pak Nurdin hanya mendiami gubuk yang terbuat dari gedek (bambu) berukuran dua meter persegi.
Kondisi gubuknya sudah nyaris reot dan suatu ketika terancam ambruk. Tempat tidur, dapur dan ruang tamu menjadi satu.
Ketika memasuki musim penghujan dan dilanda hujan deras serta angin kencang, Pak Nurdin tetap bertahan di dalam gubuk satu-satunya itu.
Dia hanya bisa menambal kebocoran dari genteng menggunakan terpal bekas.
Pak Nurdin juga tidak memiliki kamar mandi di gubuk kecilnya itu. Untuk bisa mandi, dia terpaksa numpang ke kamar mandi masjid, yang letaknya tidak jauh dari rumahnya.
"Setiap hari ya begitu Mas," ujarnya.
Hingga hari ini, gubuk milik Pak Nurdin tidak pernah tersentuh bantuan dari pemerintah.
Sebagai guru yang hidup seorang diri dan penuh kekurangan, Pak Nurdin juga tidak pernah menerima bantuan sosial dari pemerintah.
"Saya hanya satu kali mendapatkan bantuan BLT senilai Rp 300.000. Itu beberapa tahun yang lalu," ingatnya.
(*)
Ikuti dan Bergabung di Saluran Whatsapp Tribunsumsel.com