TRIBUNNEWS.COM - Pada Rabu (15/1/2025), bentrokan sengit terjadi antara kaum Yahudi Ultra-Ortodoks dan polisi Israel di Tel Hashomer, dekat Tel Aviv.
Puluhan anggota komunitas Yahudi Haredi berkumpul di depan pusat perekrutan tentara Israel terbesar untuk memprotes kebijakan yang mewajibkan mereka mendaftar menjadi tentara.
Para penganut Yahudi Ultra-Ortodoks memprotes rencana pemerintah yang mewajibkan komunitas Haredi untuk mengikuti dinas militer.
Mereka menutup jalan sebagai bentuk protes dan bentrok dengan polisi yang berusaha membubarkan aksi tersebut.
Polisi menganggap demonstrasi itu ilegal, Palestine Chronicle melaporkan.
Aparat kemudian berusaha menghalangi pergerakan para pengunjuk rasa.
Beberapa peserta protes bahkan meneriakkan, “Kematian lebih baik daripada perekrutan.”
Protes ini dipicu oleh keputusan Mahkamah Agung (MA) Israel pada Juni lalu.
Keputusan tersebut mengamanatkan agar orang-orang Yahudi Ultra-Ortodoks wajib bergabung dengan militer.
Selain itu, Mahkamah Agung juga melarang pemberian bantuan keuangan kepada lembaga-lembaga keagamaan yang para siswanya menolak wajib militer.
Keputusan ini memicu reaksi keras.
Sejumlah tokoh agama, termasuk mantan Kepala Rabbi Sephardic Israel, Yitzhak Yosef mendesak para siswa Haredi Yeshiva untuk menolak pemberitahuan pendaftaran.
Pada November 2024 lalu, Kementerian Pertahanan Israel mengumumkan perekrutan 7.000 orang Yahudi ultra-Ortodoks ke dalam militer Israel.
Komunitas Yahudi Haredi, yang mencakup sekitar 13 persen dari populasi Israel, tidak bertugas di militer karena mereka lebih memilih untuk mendedikasikan hidup mereka untuk mempelajari Taurat.
Meski hukum Israel mewajibkan setiap warga negara yang berusia 18 tahun untuk bertugas di militer, pengecualian bagi Haredi telah menjadi isu kontroversial selama beberapa dekade.
Laporan terbaru dari surat kabar Israel Hayom mengungkapkan bahwa sekitar 500 perwira berpangkat mayor telah mengundurkan diri sejak pertengahan tahun 2024.
Krisis personel ini dipandang sebagai ancaman serius terhadap kesiapan pasukan Israel.
Eksodus ini semakin memperburuk kekurangan personel yang sudah ada, dengan laporan mengatakan bahwa pada tahun 2022, 613 mayor meninggalkan dinas militer.
Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut, dengan proyeksi tingkat pengunduran diri yang lebih tinggi pada tahun 2025.
Sementara itu, ketegangan yang terjadi di Israel bertepatan dengan situasi kemanusiaan yang semakin memburuk di Gaza akibat serangan militer Israel yang dimulai pada 7 Oktober 2023.
Serangan ini telah menyebabkan ribuan korban tewas di kalangan warga sipil Palestina, dan menimbulkan tuduhan genosida terhadap Israel di hadapan Mahkamah Internasional.
Dikutip dari Anadolu Ajansi, jumlah korban jiwa di Gaza terus meningkat.
Laporan dari Kementerian Kesehatan Gaza yang menyebutkan bahwa lebih dari 46.000 warga Palestina telah terbunuh akibat serangan Israel.
Serangan ini memperburuk kondisi kemanusiaan yang sudah kritis.
Tercatat lebih dari dua juta pengungsi terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Situasi di Gaza semakin sulit dengan terbatasnya akses ke makanan, air, dan perawatan medis.
Israel dan gerakan Palestina Hamas sepakat untuk melakukan gencatan senjata di Jalur Gaza.
Qatar, bersama dengan Mesir, membantu merundingkan perjanjian dengan Israel.
Tercapainya kesepakatan ini berpotensi mengakhiri serangan mematikan Israel selama 15 bulan di daerah kantong itu, yang menewaskan sedikitnya 46.707 warga Palestina, Middle East Monitor melaporkan.
Perdana Menteri (PM) Qatar Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim al-Thani mengumumkan kesepakatan tersebut selama konferensi pers di Doha, Rabu (15/1/2025).
PM Qatar mengatakan perjanjian tersebut akan berlaku pada Minggu (19/1/2025), sehari sebelum Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump dilantik.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)