Data BPS: Perempuan RI yang Kuliah Lebih Banyak daripada Laki-laki
kumparanNEWS January 18, 2025 10:23 AM
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan berjudul ‘Perempuan dan Laki-laki Indonesia 2024' pada 20 Desember 2024 lalu. Laporan itu menyebut persentase perempuan yang duduk di bangku perkuliahan jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Ini dilihat dari tingkat kepemilikan ijazah tertinggi di antara kedua jenis kelamin tersebut
Data ini menarik karena berbeda dengan anggapan umum bahwa laki-lakilah yang lebih banyak kuliah ketimbang perempuan. Mengingat jumlah penduduk di Indonesia memang lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan.
Kami lalu memeriksa laporan BPS yang rutin dari tahun ke tahun. Hasilnya, memang pernah ada titik ketika jumlah laki-laki yang memiliki ijazah perguruan tinggi lebih banyak daripada perempuan. Namun, situasinya berbalik sejak 2018 lalu.
Situasi di Kota dan Desa
Di perkotaan, pada 2017 lalu, persentase laki-laki yang memiliki ijazah perguruan tinggi memang lebih besar dibanding perempuan. Persentasenya mencapai 11,86 persen dan 11,74 persen.
Kemudian pada 2018 dan seterusnya, kondisi mulai berbalik. Persentase perempuan yang memiliki ijazah perguruan tinggi justru konsisten melampaui laki-laki. Pada 2024, persentase perempuan yang kuliah bahkan 14,08 persen dan laki-laki 12,69 persen.
Perempuan Harus Kuliah
Bagi Izka (33), lulusan S1 Jurnalistik dan S2 Manajemen Komunikasi, mengenyam pendidikan S1 merupakan sebuah mandat yang diberikan orang tua kepadanya. Tidak hanya menjalanknan mandat, Izka memang sadar akan pentingnya pendidikan tinggi untuk menjadi bekal ke lapangan kerja.
Setelah menjadi sarjana pada 2013, ia bekerja dan akhirnya pada 2019 ia menikah dan mendaftarkan diri menjadi mahasiswa S2. Sebelum berhasil lolos menjadi seorang mahasiswa S2, Izka masih mendapat komentar tak bersahabat dari kerabatnya.
“Mau ngapain (kuliah S2)? Buat apa? Buat apa perempuan kuliah tinggi-tinggi, nanti laki-laki gak ada yang mau,” kata Izka meniru perkataan kerabatnya, Senin (13/1).
Namun, komentar itu tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap berusaha masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini lantaran ia memiliki mimpi yang tinggi untuk terus menambah kapasitas dirinya.
“Karena mimpi aku, ngerasa pengen nambah kapasitas diri gitu. Terus juga alasan praktisnya untuk membekali aku dengan ilmu yang mungkin akan aku perlukan ketika misalnya suatu hari aku mau career shifting,” terang Izka.
Menurutnya, perempuan penting untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan, terlepas apapun pilihan hidup perempuan itu nantinya. Seperti dirinya yang menggenggam peran ganda sebagai wanita karier sekaligus seorang ibu, pendidikan tinggi baginya tetap berguna untuknya sebagai seorang ibu.
“Karena kuliah di jurnalistik yang disiplin ilmunya kritis, yang paling kerasa itu ketika hamil, melahirkan, maupun fase-fase awal membesarkan anak adalah kemampuan untuk mengkritisi apakah hal ini mitos atau memang betul secara biologis,” kata Izka.
“Mungkin kalau misalnya nggak kuliah, kalau aku cuma sampai SMA, aku nggak akan bisa membesarkan anakku dengan kondisi yang optimal kayak sekarang sih,” lanjut Izka.
Fenomena Perempuan yang Lebih Banyak Kuliah
Menurut dosen sosiologi Universitas Padjadjaran, Farah Firsanty, fenomena perempuan yang lebih banyak kuliah dibandingkan laki-laki adalah fenomena reversal of gender inequalities in higher education. Menurutnya, fenomena ini pun terjadi di negara-negara maju dunia.
"Mereka [perempuan] tuh sudah mulai open bahwa untuk menjalankan peran sebagai perempuan di ranah domestik, itu juga memerlukan skill," tutur Farah saat dihubungi kumparan, Selasa (14/1).
Menurut Farah, fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor demografik, sosiologis, ekonomik, dan edukasional.
Dari segi demografik, papar dia, standar usia menikah bagi perempuan meningkat seiring waktu. Ia menduga hal ini disebabkan oleh kemudahan akses informasi dan teknologi. Dari segi sosiologis, lanjutnya, saat ini diskriminasi terhadap perempuan sudah berkurang, baik itu di level pasar tenaga kerja, masyarakat, bahkan sampai level keluarga.
Dari segi ekonomi, lanjut Farah, semakin banyak perempuan yang lulus perguruan tinggi karena gaji yang lebih tinggi dengan pendidikan yang lebih tinggi dan struktur perekonomian yang berubah. Terakhir, kata Farah, faktor edukasional adalah perubahan terhadap cara pandang dan modal pendidikan yang membuat semakin banyak perempuan yang dapat mengenyam pendidikan tinggi.
Menurutnya, perempuan akan dihadapkan pada pilihan untuk melanjutkan karier atau mengurus urusan domestik setelah menyelesaikan kuliah. Tetapi, karena beberapa faktor di atas, perempuan sadar akan pentingnya pendidikan tinggi.
“Untuk menjalankan peran sebagai istri dan ibu nanti di ranah domestik itu kan memerlukan skill. Contohnya, skill pengelolaan keuangan, kemampuan manajerial, edukator, dan konselor,” lanjut Farah.
Terkait stigma yang seringkali melekat ke perempuan ‘ngapain sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga di rumah lagi’ menurutnya pun sudah mulai memudar di masyarakat.
“Nggak apa-apa kuliah tinggi terus ujung-ujungnya ke rumah jadi ibu dan jadi istri. Emang kenapa? Kan mereka [laki-laki] layak memiliki ibu atau istri yang juga berpendidikan,” pungkasnya