Komnas Perempuan Dalam Penegakan HAM Pasca Pemerkosaan Massal Mei 1998
Nisryna Lintang Aenuna January 20, 2025 04:29 PM
Perempuan menjadi target penyerangan dan kejahatan yang rentan dan kerap ditemukan dalam konflik atau peperangan. Seksualitas perempuan dianggap bukan milik tiap-tiap individunya, melainkan milik komunitasnya (ayah atau suami bila telah menikah), hal ini mendukung dengan tegas bahwa hukum pemerkosaan adalah hukum kepemilikan. Sehingga pemerkosaan dalam peperangan ataupun konflik dipandang hanya sebatas ekses dan diukur sama kedudukan dan kerugiannya dengan kerusakan material seperti gedung maupun fasilitas-fasilitas umum. Hal tersebut termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat karena telah merusak harkat dan martabat kemanusiaan korban pemerkosaan tersebut, dilihat dari perjanjian internasional yang disetujui dan disahkan pada tahun 1998 dan mulai berlaku tahun 2002, bahwa pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan kemanusiaan, kejahatan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, didukung dengan UU No.20 tahun 1999 tentang pengadilan HAM.
Sama halnya yang terjadi pada pertengahan Mei 1998, kerusuhan oleh masa yang terjadi di kota Jakarta dan beberapa kota lainya akibat ketidakpuasan kepempimpinan Presiden Soehartao, ditambah krisis ekonomi yang melanda Indonesia berdampak pada etnis Tionghoa yang dijadikan kambing hitam. Sampai pada titik terdampaknya perempuan etnis Tionghoa pada kerusuhan tersebut yang menjadi objek kekerasan seksual dengan bentuk pemerkosaan massal. Kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan khususnya etnis Tionghoa inilah yang menjadi pematik masyarakat sipil untuk meminta pemerintah memberikan pertanggungjawaban serta menanggapi persoalan ini. Pada 16 Juni 1998 terkumpulah 4000 tanda tangan yang terdiri dari pemuka agama, akademisi, aktivis perempuan, tokoh masyarakat, dan pekerja kemnusiaan baik laki-laki maupun perempuan, baik dari dalam maupun luar negeri yang diajukan pada Presiden B. J. Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai kepala negara. Pada tanggal 22 Juli 1998, sebagai bentuk respons lanjut dari rangkaian protes yang telah diluncurkan masyarakat sipil terhadap pemerintah mengenai kasus kekerasan seksual yang telah terjadi, Presiden B.J Habibie menyetujui usulan dari Saparinah Sadli mengenai pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebagai lembaga mandiri dan independen.
Mulai dari setelah dibentuk, Komnas Perempuan gencar dalam menjalankan aksi dari mandat yang telah diberikan. Pada 1998-2001 Komnas Perempuan membangun struktur organisasi di dalamnya serta membangun strategi lobi dengan badan legeslatif, tahun 2002-2003 merupakan fase membangun identitas bagi Komnas Perempuan, pada tahun 2003-2006 merupakan fase mengungkap kebenaran dari kasus-kasus HAM yang telah dilaporkan, pada tahun 2007-2009 merupakan fase transisi dan konsolidasi atas kasus-kasus yang sudah dilaporkan, pada tahun 2010-2014 merupakan tahap konsilidasi penegetahuan, kelembagaan, dan komitmen berbagai pihak, pada 2015-2019 Komnas Perempuan mencapai fase penguatan unit, konsep dan fungsi, refleksi, konsloidasi dan redefinisi. Pada tanggal 11 Januari 2023 Presiden Republik Indonesia menyatakan pengakuan atas 12 peristiwa pelanggaran HAM berat atas tragedi Mei 1998, pernyataan tersebut didasarkan pada laporan Tim Penyelesaian Non yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (Tim PPHAM). Dalam keadaan ini Komnas Perempuan berperan dalam terus menyuarakan bahwa pemerintah harus memeberikan aksi nyata untuk keberlanjutan pemulihan korban, rekonsiliasi warga dan mencegah keberulangan.
Pasca tragedi Mei 1998 Komnas Perempuan terus melakukan ivestigasi terkait korban-korban kekerasan seksual dan juga pemerkosaaan, terdeteksi bahwa beberapa korban sudah meninggal dunia dan sudah lanjut usia, beberapa korban juga sulit diidentifikasi karena memiliki rasa takut dan enggan untuk menceritakan kejadian, sehingga dibutuhkan waktu yang panjang untuk meyakikan korban bahwa proses identifikasi ini memberikan jaminanan perlindungan dan dukungan penuh pada saksi. Komnas Perempuan juga berjuang dalam mendorong pemerintah untuk melibatkan komunitas korban, yang lebih spesifiknya para perempuan penyitas, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menguatkan dan menyukseskan akses pemulihan yang didukung oleh pemerintah dan dapat membentuk memori yang baik.
Dalam melakukan upaya maksimal untuk membantu mengungkap dan memberikan keadilan bagi korban-korban kekerasan seksual, pelecehan seksual, pemerkosaan, maupun pelanggaran HAM berat, Komnas Perempuan memiliki tantangan yang serius. Masalah utama dan cukup sulit bagi Komnas Perempuan adalah kepastian hukum, di mana kepastian hukum haruslah mencegah adanya multi tafsir pada perundang-undangan yang membentuk suatu norma dari norma lain. Bila kepastian hukum belum tercapai maka akan menimbulkan konflik norma. Seperti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, terdapat kalimat yang multi tafsir dan masih belum sinkron dengan Rancangan Kitab Hukum Pidana yang mengatur kekerasan seksual, menyebabkan belum disahkannya RUU PKS sampai saat ini. Kepastian hukum inilah yang dapat menjadi penghambat perlindungan hukum bagi perempuan. Dalam konteks ini penulis menyarankan Pemerintah memberikan akses lebih luas untuk keikutsertaan Komnas Perempuan dalam melakukan pengawasan terhadap kasus yang dilaporakan, serta dalam pembuatan peraturan perundang undagan terkait hak asasi manusia bagi perempuan, sehingga kasus dapat segera tertangani tanpa melalui proses yang seringkali lama pada tahap penyerahan dari badan institusi satu kepada badan institusi lainnya dan tanpa terkendala multitafsir.