Apa Nilai Keteladanan Perang Sisingamangaraja di Sumatera Utara?
Moh. Habib Asyhad January 22, 2025 02:34 PM

Artikel ini tentang apa nilai keteladanan Perang Sisingamangaraja Sumatera Utara yang bisa kita petik. Semoga bermanfaat.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Butuh waktu hampir tiga puluh tahun bagi Belanda untuk memadamkan Perang Batak (1878-1907). Perlawanan yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII -- itulah kenapa perang ini disebut juga Perang Sisingamangaraja -- itu benar-benar bikin repot kaum penjajah.

Lalu apa nilai keteladanan Perang Sisingamangaraja Sumatera Utara yang bisa kita petik?

Tapi sebelum tahu nilai keteladanan apa yang bisa kita peroleh, lebih baik kita tahu terlebih dahulu bagaimana Perang Sisingamangaraja berlangsung.

Perang Sisingamangaraja/Perang Batak (1878-1907)

Perang Sisingamangaraja atau Perang Batak adalah perang rakyat Sumatera Utara, tepatnya rakyat Tapanuli, melawan pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada 1878 hingga 1907.

Nama tokoh Perang Sisingamangaraja di Sumatera Utara ini tentu tidak asing lagi. Dialah Sisingamangaraja XII yang legendaris itu.

Latar belakang perang ini adalah karena agama Batak kuno yang dianut masyarakat terancam oleh kehadiran agama Kristen. Sisingamangaraja XII sebagai raja Batak menolak adanya upaya penyebaran agama Kristen yang dilakukan oleh misionaris Belanda di wilayah Batak saat itu.

Hal tersebut dilakukan karena Sisingamangaraja khawatir kepercayaan dan tradisi setempat rakyat Batak akan terkikis oleh perkembangan agama Kristen.

Menurut buku Perang Batak: Perang Sisingamangaradja (1972) karya O.L Napitupulu, upaya penolakan Kristenisasi di Batak dilakukan Sisimangaraja dengan cara mengusir zending (organisasi penyebar agama Kristen) yang memaksakan agama Kristen kepada rakyat Batak pada 1877.

Sebagai respon ataspengusiran oleh Sisingamangaraja itu, para misionaris meminta perlindungan dari pemerintah Kolonial Belanda. Pada 6 Februari 1878 pasukan Belanda tiba di Pearaja (pedalaman Sumatra Utara) dan bergabung dengan kaum misionaris Belanda.

Kedatangan tentara Belanda di wilayah Batak telah memprovokasi Sisingamangara sehingga dia mengumumkan perang pada 16 Februari 1878 dengan melakukan penyerangan ke pos-pos Belanda di Bahal Batu.

Menurut Sejarah Nasional Jilid IV (1984) karya Marwati Djoened Poesponegoro dkk, pasukan Sisingamangaraja bergabung dengan pejuang Aceh pada Desember 1878 untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Aliansi Sisingamangaraja dan Aceh mampu menduduki wilayah pedalaman Sumatera Utara, namun saat masuk wilayah kota pasukan ini dapat dipukul mundur oleh Belanda. Perang Batak antara pasukan Sisingamangaraja dan Belanda berjalan seimbang selama tahun-tahun 1880-an.

Serangan Sisingamaraja pada Agustus 1889 mampu meduduki daerah Lobu Talu dan membunuh beberapa tentara Belanda. Namun pendudukan Lobu Talu tidak berlangsung lama karena Belanda kembali mendatangkan bantuan dari Padang untuk merebut kembali Lobu Talu dari tangan Sisingamangaraja.

Perlawanan Sisingamagaraja dalam Perang Batak mulai meredup semenjak wilayah Huta Paong diduduki oleh Belanda pada September 1889. Setelah pendudukan Huta Paong, Belanda terus memburu Sisingamangaraja dan pasukannya hingga terjadi pertempuran di daerah Tamba.

Dalam pertempuran tersebut pasukan Batak mengalami kekalahan dan melarikan diri menuju daerah Horion. Belanda terus melacak arah pelarian Sisingamangaraja dan pasukannya.

Bahkan, pihak Belanda menggunakan orang-orang dari Senegal untuk membantu pelacakan. Tahun 1907, Belanda mampu mengepung Sisingamangaraja XII di daerah Dairi, namun ia tak mau menyerahkan diri.

Sisingamangaraja beserta pasukannya bertarung hingga titik darah penghabisan dan meninggal pada pengepungan tersebut.

Dalam Perang Batak melawan Belanda, Sisingamangaraja XII menggunakan strategi perang gerilya. Strategi ini dia gunakan selama hampir tiga dekade lamanya.

Meskipun pada akhirnya perang ini berhasil dipadamkan dan Sisingamangaraja gugur, strategi perang gerilya yang dia terapkan berhasil mengganggu kendali Belanda di wilayah tersebut dan menjadikannya pahlawan nasional.

Sebagaimana disinggung di awal, puncak Perang Batak terjadi pada1878 ketika Raja Sisingamangaraja XII memimpin pasukan Batak dalam serangan besar-besaran terhadap pos-pos militer Belanda di Tarutung dan Sipoholon.

Ada beberapa strategi yang diterapkanSisingamangaraja XII selama Perang Batak melawan Belanda.Salah satu taktik utama yang diterapkan adalah gerilya.

Dengan strategi ini, pasukan Sisingamangaraja XII menghindari pertempuran terbuka dan memanfaatkan medan hutan dan pegunungan yang sulit di wilayah Sumatera Utara. Pasukan Sisingamangaraja XII juga sering melancarkan serangan mendadak, memanfaatkan pengetahuan mendalam tentang medan, dan menghindari pasukan Belanda dengan cara ini.

Sisingamangaraja XII dan pasukannya juga mengandalkan senjata-senjata tradisional seperti tombak, busur, parang, dan sumpit yang kadang-kadang dilumuri racun, sehingga menjadikan mereka sangat terampil dalam pertempuran jarak dekat.

Cara lainnya adalah denganmemanfaatkan dukungan suku-suku lain di Sumatera Utara, termasuk Mandailing dan Aceh yang memberikan bantuan militer serta sumber daya. Dengan begitu, perlawanan masyarakat Tapanuli ini berlangsung cukup lama.

Tak lupaSisingamangaraja XII jugaberusaha mendapatkan bantuan dari luar, termasuk meminta dukungan dari pihak Aceh untuk meningkatkan kemampuan perang mereka.

Meskipunstrategi Perang Batak menggunakan senjata tradisional dan gerilya cukup menyulitkan bagi Belanda, penjajah juga mengadopsi taktik yang efektif untuk mengalahkan Raja Sisingamangaraja XII.

Pada Agustus 1889, Sisingamangaraja melancarkan serangan yang berhasil merebut wilayah Lobu Talu dan mengakibatkan tewasnya beberapa prajurit Belanda. Namun, pendudukan wilayah ini tidak berlangsung lama karena Belanda segera mengirimkan bantuan dari Padang.

Hal ini menyebabkan Belanda berhasil merebut kembali wilayah Lobu Talu dari tangan Sisingamangaraja XII.

Perlawanan Sisingamangaraja dalam Perang Batak pun mulai melemah setelah Belanda berhasil menguasai wilayah Huta Paung pada September 1889. Setelah pendudukan tersebut, Belanda gencar mengejar Sisingamangaraja dan pasukannya.

Akhirnya karena semakin terdesak, Sisingamangaraja meminta bantuan dari Aceh untuk memperkuat kekuatan perang mereka. Dengan dukungan pasukan dari Aceh, Sisingamangaraja dan pasukannya melanjutkan perlawanan di wilayah Tapanuli dengan menyerang kota tua.

Tapi sayang,serangan tersebut tidak berhasil mencapai hasil yang diinginkan karena pasukan Belanda di bawah komando J. A. Visser, berhasil mengatasi perlawanan rakyat Tapanuli. Tak hanya itu, pada 1904, pasukan Belanda di bawah pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah melanjutkan pergerakan ke Tapanuli Utara, sedangkan pasukan tambahan dikerahkan ke Medan.

Pada 1907, pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja, beserta dua anaknya. Sementara itu, Sisingamangaraja XII dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke hutan Simsim.

Pihak Belanda yang merasa sudah menang pun gencar mencari keberadaan Sisingamangaraja XII. Mereka ingin memaksa Sisingamangaraja XII beserta pasukannya untuk menyerah.

Namun Sisingamangaraja XII menolak tawaran untuk menyerah. Dalam pertempuran pada 17 Juni 1907, Sisingamangaraja XII ditemukan tewas bersama dengan putrinya Lopian dan dua putranya, Sutan Nagari dan Patuan Anggi.

Gugurnya Sisingamangaraja XII menandai berakhirnya Perang Batak dan menjadi kemenangan bagi pihak Belanda yang saat itu dipimpin oleh Kapten Christoffel.

---

Patuan Besar Ompu Pulo Batu tapi kita semua lebih mengenalnya sebagai Sisingamangaradja XII. Dia adalah raja serta pendeta terakhir masyarakat Batak di Sumatera Utara.

Sisingamangaraja XII lahir diBakkara, Tapanuli, pada 1849. Dia adalah penerus ayahnya, Sisingamangaradja XI, yang meninggal pada 1876. Gelar Si Sisingamangaradja sendiri digunakan oleh dinasti keluarga Marga Sinambela, yang berarti "Raja Singa Agung".

Sisimangaradja XII adalah tokoh terakhir yang menjadi Parmalim (pemimpin agama) dan dianggap sebagai raja dewa dan titisan Batara Guru, Dewa Siwa versi Jawa.

Sisingamangaradja sendiri diyakini memiliki kekuatan seperti kemampuan mengusir roh jahat, mengeluarkan hujan, dan mengendalikan penanaman padi.

Mulanya, Sisingamangaradja XII tidak dilihat sebagai tokoh politik. Tetapi, saat penjajah Belanda datang ke Sumatera Utara sejak 1850-an, dia bersama Sisingamangaradja XI mulai fokus melakukan perlawanan.

Sisingamangaraja XII gugur sebagai Pahlawan Nasionaldalam peperangan di Dairi bersama putrinya Lopian, dan kedua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Dia disergap oleh sekelompok anggota dari pasukan khusus Belanda, Korps Marsose.

Sisingamangaraja XII menghadapi pasukan Korps Marsose sembari memegang senjata Piso Gaja Dompak. Kopral Souhoka, pasukan Belanda, yang merupakan penembak jitu, mendaratkan tembakannya ke kepala Sisingamangaradja XII tepat di bawah telinganya.

Dia dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige, pada 14 Juni 1953 yang dibangun oleh pemerintah.

Berdasarkan Surat Keppres No. 590, pada 19 November 1961, Sisingamangaradja XII dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Selain itu, nama Sisingamangaradja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia.

Nilai keteladanan Perang Sisingamangaraja

Perang Sisingamangaraja XII di Sumatera Utara mengajarkan nilai-nilai keteladanan seperti:

- Kepemimpinan yang kuat

- Gigih, berani, dan pantang menyerah

- Semangat patriotisme

- Cinta tanah air

- Anti penindasan dan ketidakadilan

- Cinta tradisi lokal

- Dll

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.