Kisah Teddy Candra Jaya, Pria Muslim yang Menjaga Kelenteng Shia Jin Kong Jatinegara
Tim Intisari January 27, 2025 12:34 PM

[EDISI IMLEK]

Kelenteng Shia Jin Kong dan Teddy Candra Jaya bisa menjadi contoh makna toleransi dan arti keberagaman.

Penulis: Diella Dachlan untuk Majalah Intisari edisi Januari 2018

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Kelenteng Shia Jin Kong terletak di Gg. I, RT 7/RW 3, Rw. Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur.

Dari Stasiun Jatinegara ambil Jalan Bekasi Timur Gg. I sampai melintasi Jalan Bekasi Timur IX. Ada gedung tua Kodim 0505 di jalan ini yang bisa menjadi penanda. Nah, gang masuk ke kelenteng tak jauh dari gedung tua tadi.

Penjaga kelenteng itu adalahTeddy Chandra Jaya. Dia adalah cicit pendiri kelenteng Shia Jin Kong yaitu Thung Djie Hoey. Dulu, Thung dikenal luas sebagai ahli pengobatan dan ahli ramuan.

Awalnya, kelenteng Shia Jin Kong adalah rumah keluarga Thung Djie Hoey. Tidak ada yang mengetahui kapan persisnya kelenteng ini berdiri.

Menurut perkiraan keluarga besar Thung, kelenteng ini setidaknya berusia 70 tahun karena ada tandu yang sudah ada sejak tahun 1940-an.

Thung Dji Hoey dan istrinya, Lao Gin Nyo memiliki sembilan orang anak (lima laki-laki dan empat perempuan). Mereka tinggal di rumah ini sampai anak-anak berkeluarga dan tinggal menyebar.

Tahun 1992 seluruh bekas rumah Thung menjadi kelenteng atas persetujuan keluarga besarnya.

Teddy sendiri sudah satu dasawarsa lebih menjaga kelenteng. Tak ada yang aneh jika kita tidak mengetahui bahwa dia beragama Islam sejak kecil.

Keluarga yang plural

Teddy adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dia mulai menjaga kelenteng menggantikan ayahnya, Lemanto Halim, yang meninggal dunia pada pertengahan tahun 2007.

"Almarhum Papa adalah orang Tionghoa beragama Buddha. Mama saya orang Solo asli dan Muslim. Dari mereka, kami belajar banyak tentang menghargai perbedaan," cerita Teddy.

Menurut Teddy, ayahnya memiliki banyak sahabat yang berbeda agama. Bahkan salah satu orang yang dianggapnya sebagai guru adalah seorang kiai.

Anggota keluarga besar lainnya sudah banyak berpindah ke agama lain. Tapi hal ini sama sekali tidak menjadi masalah.

"Keluarga besar juga ikut mengurus kelenteng. Ini adalah warisan dan kepercayaan para leluhur kami yang harus kami jaga. Saya menjaga di kelenteng penuh waktu, sedangkan keluarga lain datang membantu kalau ada waktu," kata Teddy.

Hari itu, kami juga bertemu dengan Kikim Sudrajat, paman Teddy, yang sedang membersihkan kelenteng. Selain keluarga besar Teddy, ada dewan pengurus yang mengurusi masalah administrasi dan pengelolaan bangunan kelenteng.

Sempat galau

Teddy lantas bercerita bahwa dia tergerak memeluk agama Islam sejak kelas 6 SD atas keinginannya sendiri. Ayahnya tidak menentang keputusannya itu.

"Kalau mau pindah agama silakan, tapi kamu harus jalankan dengan benar dan sepenuh hati perintah agamamu. Tapi ingat, kamu itu masih keturunan, jadi tradisi juga tidak boleh dihilangkan," demikian pesan ayahnya.

Teddy belajar agama Islam dengan serius. Dia banyak membaca, menghadiri berbagai pengajian, termasuk mendapatkan bimbingan dari para tetua tetangga di kampungnya yang kini sudah almarhum.

Teddy bahkan sempat mondok ke pesantren selama setahun di daerah Pandeglang, Banten. Nama lain Teddy adalah Abdul Rouf, pemberian almarhum guru mengajinya.

Teddy sempat bekerja sebagai ahli instalasi listrik di berbagai proyek bangunan di Jakarta dan Bandung. Sampai ketika ayahnya mulai sakit-sakitan, Teddy tergerak untuk mendampingi ayahnya hingga meninggal dunia.

Awal memutuskan menjaga kelenteng, Teddy mengaku sempat galau. Dia lantas menemui guru mengajinya, almarhum Ustaz Arsyad Zakaria, untuk berkonsultasi. Sang Ustad malah balik memarahinya.

"Ted, semua tergantung niat lo, yang penting akidah lo bener, itu yang harus lo perhatikan dan jaga. Lakum dinukum waliyadin, bagiku agamaku, bagimu agamamu," cerita Teddy menirukan pesan almarhum ustaznya.

Kegalauan Teddy pun berangsur berubah menjadi keteguhan.

Dia kemudian mempelajari kembali tata cara bersembahyang di kelenteng ini. Termasuk mengingat ajaran almarhum ayahnya dulu dan rajin bertanya pada para tetua.

Dia kini fasih menerangkan tata cara dan urutan bersembahyang di Kelenteng Shia Jin Kong bagi para pengunjung.

Dibandingkan dulu, kini penghasilan Teddy sebagai penjaga kelenteng tidak seberapa. Untuk membantu ekonomi keluarga, istrinya membuka warung di rumahnya di daerah Tambun, Bekasi.

"Rezeki sudah ada yang mengatur. Yang penting kita terus berusaha gigih di jalan-Nya dan berdoa kepada-Nya," kata ayah tiga anak ini dengan bijak.

Teddy mengaku sangat terinspirasi ajaran Nabi Muhammad SAW dan juga kepercayaan Tionghoa untuk selalu menghormati orangtuanya, terutama ibunya.

"Keyakinan apa pun tujuannya kan kepada Tuhan juga. Kalau kita bisa memahami arti saling menghargai satu sama lain, Insya Allah semua akan adem lagi," kata Teddy optimis, menutup obrolan.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.