[EDISI IMLEK]
Bagi peranakan Tionghoa di Tangerang, label "Cina Benteng" yang mereka sandang dalah identitas kultural yang membedakan dengan kelompok etnik Tionghoa lainnya di Indonesia.
Penulis:David Kwa, di Jakarta, untuk Majalah Intisari edisi Oktober 2002
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Seorang petani tampak asyik mengolah sawah, berdampingan dengan seorang rekannya penggembala kerbau. Ketika saya sapa dengan panggilan Ko (bahasa Tionghoa, berarti "kakak laki-laki"), si petani langsung menoleh sembari tersenyum.
Tak lama kemudian saya diajak mampir ke rumahnya untuk sekadar minum. Sebuah rumah khas Tionghoa.
Halaman depannya tampak sudah diperkeras dengan batu bata dan semen, hingga bisa berfungsi sebagai tempat menjemur padi. Di sebuah pojok halaman tergeletak alat tradisional pengurai kulit padi (pesak) dengan beras.
Sedangkan di sebelah kiri rumah kelihatan kandang kerbau. Di dalam gudang yang sekaligus berfungsi sebagai lumbung padi, terpajang penggiling padi tradisional berpenggerak kerbau yang kini sudah digantikan mesin modern.
Lewat sebuah paseban, saya digelandang memasuki rumah yang bagian depannya terbuat dari papan kayu nangka ini. Paseban aslinya hanya ditopang tiang-tiang dan tidak berdinding.
Pemiliknya menambahkan aksesori jeruji, tampaknya demi tindakan pengamanan semata. Di paseban ini pula kadang diparkir traktor pengganti kerja kerbau.
Sejatinya, paseban digunakan untuk pertunjukan gambang keromong dan cokek. Konon, dulu tamu laki-laki yang bukan famili dilarang melewati bagian ini.
Seperti arsitektur rumah Tionghoa umumnya, pintu utama rumah ada di tengah, diapit satu atau dua pasang jendela. Lewat jendela berjeruji kayu inilah dulu anak-anak perawan mengintip wajah calon suami yang datang bersama orang tuanya untuk melamar.
Di kusen atas dan kiri-kanan pintu masih terlihat bekas-bekas tuilian (sajak berpasangan dalam bahasa Tionghoa) di atas kertas merah dengan tinta Cina hitam. Selain beberapa lembar hu (kertas izim) yang berfungsi sebagai penolak bala.
Setelah itu saya masuk thia (ruang tengah). Di sini ada sebuah meja abu, dengan beberapa buah hiolou (tempat menancapkan dupa, terbuat dari timah) dan foto-foto orang tua yang telah meninggal di belakang setiap hiolou.
Di kiri-kanan thia tampak beberapa pangkeng (pangkin, ruang tidur).
Di kiri-kanan meja abu ada pintu yang masing-masing menuju ruang belakang melalui cemce, tempat masuknya udara dan air hujan. Sementara di bagian belakang terletak ruang makan dan ruang keluarga.
Dapur ada di sayap kiri atau kanan. Sejenak saya berkhayal seperti sedang berada di Tiongkok. Baru setelah Oen Kaping, sang pemilik rumah membuka pembicaraan, saya sadar masih berada di Indonesia.
Tepatnya Kampung Cukanggalih, Desa Ciakar, Tangerang, Banten.
Oen Kaping anggota komunitas yang sejak puluhan tahun lalu dikenal sebagai "Cina Benteng". Meski jumlahnya jauh berkurang, para petani keturunan Tionghoa ini masih bisa didapati di Tangerang.
Saya jadi ingat, seorang penulis bernama samaran "Seorang Wartawan Kita" pernah menulis komunitas ini di mingguan Star Weekly No. 372, 14 Februari 1953. Ternyata, gambaran puluhan tahun lalu itu tak berubah banyak.
Ada benteng, ada udik
Sebutan "Cina Benteng" konon diberikan oleh masyarakat di luar Tangerang buat orang Indonesia keturunan Tionghoa di Kabupaten Tangerang. Khususnya mereka yang telah bermukim sejak zaman VOC. "Benteng" adalah nama lain buat Kota Tangerang.
Cerita Oey Tjin Eng (60 tahun), salah seorang penduduk asli Tangerang, riwayat "Cina Benteng" dipeliharanya dari keterangan para pendahulu.
Katanya, di Tangerang dulu ada benteng yang letaknya di tepi Sungai Cisadane. Fondasi benteng yang kini posisinya kira-kira di belakang Plaza Tangerang sekarang sudah terendam air.
Cerita Oey tampaknya bukan isapan jempol. Dalam Encyclopaedi van Nederlandsch-Indie (ENI, 1917) memang ada keterangan yang menguatkan penuturan tersebut.
Di situ dijelaskan, istilah "benteng" berasal dari sebuah benteng yang dibangun Belanda di tepi Sungai Cisadane untuk menahan serbuan Banten yang hendak merebut kembali Batavia dari tangan Belanda. Sayang, tidak disebutkan tahun berapa benteng didirikan.
Ihwal kehadiran orang Tionghoa di Tangerang, Kitab Layang Parahyang yang berbahasa Sunda kuno mengisahkan pendaratan serombongan orang Tiongkok di pantai utara Tangerang dan bermukim di sana.
Itu sebabnya di kawasan ini terdapat nama-nama Pangkalan atau Teluk Naga, yang mengacu pada kali pertama kedatangan orang Tionghoa di Tangerang.
Kisah lain, setelah pemberontakan besar masyarakat Tionghoa tahun 1740 yang menyebabkan pembantaian sekitar 10.000 orang Tionghoa tak berdosa oleh Belanda, banyak di antara mereka pergi menyelamatkan diri ke Tangerang dan sekitarnya.
Pemerintah kolonial Belanda memang mencatat banyaknya tanah partikelir di kawasan itu. Bahkan hingga tahun 1940-an, tanah milik para tuan tanah Tionghoa masih tak terhitung jumlahnya.
Meski orang luar menyeragamkan sebutan "Cina Benteng" untuk etnis Tionghoa di Tangerang, di kalangan mereka sendiri dikenal dua istilah, "Benteng" dan "Udik". Sebutan "Benteng" mengacu untuk kawasan kota, sementara daerah luar kota disebut Udik (selatan).
Pada kunjungan ke rumah seorang Tionghoa di Sewan Kongsi, 3 km dari Tangerang, saya bertanya, "Ncek (Paman) ke mana?" Anak si empunya rumah menjawab, "Baba lagi ke Benteng, entaran lagi juga pulang!"
Pada kesempatan lain, terdengar jawaban, "Engkong ama Ema lagi kondangan ke Udik," dari seseorang yang tinggal di belahan Kota Tangerang.
Secara harafiah, udik (hulu sungai) merupakan lawan kata ilir (hilir sungai). Udik dapat pula bermakna selatan, berlawanan dengan ilir/utara, sebab sungai-sungai di Jawa Barat, Cisadane khususnya, mengalir dari selatan ke utara.
Namun, praktiknya, istilah udik tidak saja diterapkan untuk tempat di selatan, tapi juga di utara.
Penampilan fisik "Cina Benteng" unik, karena kadang sulit dibedakan dengan "orang kampung". Setelah membuka percakapan dengan mereka, barulah kita sadar tengah berhadapan dengan siapa.
Apalagi perkawinan antaretnik kerap terjadi. Bahkan intensitasnya bisa dibilang tinggi. Tak heran ada orang Cina mempunyai paman dari pihak ibu (orang kampung) yang kebetulan menjadi lurah atau camat setempat.
Umumnya, Orang "Cina Benteng" mengidentifikasi diri sebagai "orang Cina", sedangkan etnik Melayu atau Sunda di sekitar mereka disebut "orang kampung".
Namun, hubungan antaretnis ini sangat baik. Istilah "orang kampung" sendiri dimaksudkan sebagai orang yang punya kampung. Jadi, sama sekali tidak mengandung maksud peyoratif.
Sedia peti sebelum mati
Keistimewaan komunitas "Cina Benteng" adalah kesetiaannya pada tradisi leluhur. Arsitektur dan tata letak rumah mereka, cuma satu dari sekian banyak bukti kuatnya upaya mempertahankan nilai-nilai nenek moyang.
Hampir semua pakem model rumah Tiongkok diikuti. Termasuk penggunaan pasak sebagai pengganti paku. Meski tak semua rumah terbuat dari kayu, ada juga yang dibikin dari bambu, dengan teknik anyaman ketek dan gebyok.
Bahkan berbagai upacara yang di daerah lain sudah hilang, masih bisa disaksikan di sini. Misalnya upacara kawin ciotau.
Terminologi ciotau sebenarnya merujuk pada inisiasi menuju kedewasaan, dilakukan menjelang pernikahan seorang gadis atau pemuda. Namun, dalam komunitas "Cina Benteng", jadi identik dengan perkawinan tradisional lengkap, baik kostum maupun ritualnya.
Upacara kematian yang rumit dengan sajian tertentu pun mereka jalani. Orang tua mestinya dikebumikan dalam peti mati tradisional, yakni "peti Cina," bukan "peti Blanda" atau "peti Kresten."
Kata mereka, peti jenazah model Barat hanya berlaku buat orang Belanda dan yang beragama Kristen. Sedangkan mayoritas orang "Cina Benteng" beragama tradisional Tionghoa (Sam Kau).
Mereka juga tak tabu mempersiapkan hari kematian. Malah, menyediakan peti jenazah bagi orang tua yang sudah lanjut usia dianggap cerminan bakti seorang anak kepada orangtua.
Hal itu membuat orangtua merasa tenang, bahwa setelah tiada nanti, ia akan dimakamkan secara layak di "rumah masa depan" nan nyaman. Budaya itu masih bisa dijumpai di Udik. Lazimnya peti jenazah diletakkan di pojok paseban.
Istilah-istilah kekerabatan berbau Tionghoa juga sangat diperhatikan. Istilah ncek-ncim, toaku-toakim, cekkong-cimpo, dan lainnya masih dipertahankan.
Sebagai penghormatan, orang lain yang baru dikenal sering disapa dengan kode, kependekan koko gede (abang besar), cide atau cici gede (kakak besar) bagi perempuan. Istilah ini aslinya lambang kekerabatan seorang adik terhadap kakak laki-laki atau perempuan sulung.
Pesta perkawinan atau ulang tahun selalu dimeriahkan musik gambang keromong dan cokek. Yang pantas dirayakan shedjit (ulang tahun)-nya hanya orang tua berusia 60 tahun ke atas, karena usia di atas 60 tahun dianggap telah "panjang umur".
Di pedesaan pesta perkawinan biasanya diselenggarakan tiga hari dua malam. Hari pertama khusus untuk tetangga, relasi, dan handai-taulan yang Muslim, karena hidangan yang disuguhkan halal, biasa disebut masakan Nyai.
Hari kedua dan ketiga, barulah diundang tamu-tamu Tionghoa, baik "Cina Benteng" maupun "non-Cina Benteng". Hidangannya yang mengandung babi disebut Masakan Nyonya.
Selama tiga hari tamu dihibur dengan musik gambang keromong. Bagi yang ingin ngelem-pengin pinggang, dipersilakan memilih cokek untuk menemani ngibing (menari). Bagi orang "Cina Benteng", musik gambang keromong dan cokek adalah simbol identitas kecinabentengan mereka.
Seiring dengan makin terbukanya Tangerang, serbuan budaya luar pun makin gencar. Mereka harus sedikit berkompromi dengan tuntutan zaman.
Banyak di antara mereka mengirimkan anak-anaknya bersekolah ke Kota, sebutan untuk Jakarta.
Beberapa petani yang saya temui mempunyai anak yang sudah lulus sebuah perguruan tinggi swasta di Kemanggisan. Foto wisuda anak-anak mereka terpajang rapi di dinding thia.
Meskipun secara fisik sulit dibedakan dengan "orang kampung", upaya mempertahankan identitas budaya etnik masih tetap tampak.
Seorang teman yang secara fisik sulit dikenali sebagai "orang' Cina" pernah menyampaikan kegundahannya. Dia kesal ketika seorang Cina "non-Cina Benteng" memanggilnya Abang. "Emangnya matanya buta 'kali, masa gua dipanggil Abang!" cerusnya serius.
Sebutan "orang Cina" atau "orang kampung" memang lebih bersifat kultural ketimbang fisik. Label "Cina Benteng" mereka sandang sebagai identitas kultural yang membedakan mereka dengan kelompok etnik Tionghoa lainnya di Indonesia.
Mereka menganggap komunitas "Cina Benteng" sebagai bagian dari kaum pribumi Tangerang, karena di situlah kampung halaman mereka. Tersenyumlah jika kelak mendengar seloroh "Cina Benteng" adalah bagian dari RRT!
Bukan Republik Rakyat Tiongkok, tapi Republik Rakyat … Tangerang!