Di sebuah SMP swasta tidak jauh dari Jakarta, ada seorang murid bernama Romi. Ia anak yang sederhana, bahkan sangat berkekurangan. Sang ayah adalah seorang buruh harian, sementara ibunya mencuci pakaian di rumah tetangga.
Meski hidup serba terbatas, Romi selalu datang ke sekolah dengan senyum dan semangat yang luar biasa. Saat masih duduk di kelas VII, nilai-nilainya sangat bagus, dan ia dikenal sebagai anak sopan serta rajin.
Akan tetapi segalanya berubah saat Romi naik ke kelas VIII. Ia mulai sering terlibat perkelahian, bolos, dan nilai rapor dirinya merosot drastis. Teman-temannya -- Nita, Seno, Glen, dan Rina -- berulang kali mengingatkan, tetapi Romi selalu menanggapi dengan keras kepala.
Suatu hari, seorang guru baru datang ke sekolah mereka. Namanya Bu Tika. Beliau adalah sosok yang tegas tetapi ramah, mudah diterima oleh para siswa. Setelah beberapa minggu mengajar, Bu Tika mulai mendengar bisik-bisik tentang Romi. Banyak guru senior membicarakan perubahan perilakunya, dan kabar itu membuat Bu Tika penasaran.
Pada suatu siang, setelah bel terakhir berbunyi, Bu Tika memanggil Romi ke ruang konsultasi.
“Romi, apa kabar?” sapanya dengan senyum hangat.
Romi duduk dengan gelisah. “Baik, Bu.”
Bu Tika membuka catatan kecil di tangannya. “Saya dengar, waktu kelas VII kamu itu siswa yang luar biasa. Nilai kamu bagus, selalu hadir, bahkan sering membantu teman. Tapi sekarang saya lihat ada yang berubah. Kenapa, Romi?”
Romi mengerutkan kening. Ia merasa percakapan ini pasti dipicu oleh laporan teman-temannya. “Apa teman-teman saya yang cerita, Bu?” tanyanya dengan nada sedikit emosi.
Bu Tika menatapnya dengan lembut, tetapi tegas. “Bukan soal siapa yang cerita, Romi. Saya hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukan untuk menyalahkan, tapi untuk membantu.”
Romi terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di dada, tapi ia terlalu malu untuk mengungkapkan. Setelah beberapa saat, Romi berkata pelan, “Semuanya jadi sulit, Bu. Orang tua saya makin susah. Saya sering nggak punya uang buat sekolah. Kadang malu sama teman-teman.”
Bu Tika mengangguk pelan. Ia memahami apa yang dirasakan Romi. “Saya juga pernah hidup di lingkungan yang sulit, Romi,” katanya. “Waktu kecil, saya tinggal di kawasan yang rawan di Jakarta Utara. Hidup tidak mudah. Tapi ada satu hal yang selalu saya pegang, yaitu prinsip hidup. Kamu tahu apa artinya?”
Romi menggeleng.
“Prinsip hidup merupakan keyakinan yang membuat seseorang bertahan, tidak peduli seberapa sulit situasinya. Kalau kamu punya prinsip untuk terus belajar dan menjadi orang yang baik, saya yakin kamu bisa melewati semuanya.”
Romi menunduk. Kata-kata Bu Tika menembus hatinya, tetapi ia tetap merasa malu dengan keadaan dirinya. Bu Tika yang peka, memperhatikan baju lusuh yang dikenakan Romi. Ia merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna biru.
“Romi,” ucapnya sambil menyerahkan sapu tangan itu. “Ini kenangan dari saya. Anggap ini sebagai pengingat bahwa kamu pernah dipanggil dan berbicara dengan saya. Saya percaya, kamu bisa memperbaiki hidupmu. Jadilah orang yang punya prinsip dan tujuan yang mulia.”
Romi menerima sapu tangan itu dengan tangan gemetar. Ia tidak pernah diberi sesuatu dengan penuh kasih seperti itu sebelumnya. Saat keluar dari ruang konsultasi, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Hatinya berbinar-binar, seperti ada harapan baru yang menyala di dalam dirinya.
Sejak hari itu, Romi mulai berubah. Ia kembali rajin belajar, meminta maaf kepada teman-temannya, dan berusaha keras memperbaiki dirinya. Perjuangan hidup Romi tidak mudah, tetapi sapu tangan dari Bu Tika selalu ada di saku seragamnya, menjadi pengingat bahwa dirinya pernah diberi kepercayaan untuk menjadi lebih baik.
Waktu berlalu, perjuangan Romi tidak sia-sia. Meski hidup ini penuh tantangan, ia berhasil meraih aneka beasiswa setelah lulus SMP ke SMA hingga akhirnya ke perguruan tinggi meraih gelar sarjana.
Dengan kerja keras dan prinsip hidup yang dipegang teguh, Romi tumbuh menjadi pria dewasa yang disegani. Ia dikenal sebagai pemuka masyarakat, seorang pemimpin yang jujur, rendah hati, dan selalu peduli pada rakyat kecil.
Kendati demikian satu hal yang selalu Romi simpan dengan penuh kehormatan adalah sebuah sapu tangan biru. Sapu tangan itu telah melewati tahun demi tahun bersamanya, tersimpan rapi di sebuah kotak kecil di lemari rumahnya.
Setiap kali Romi melihat sapu tangan itu, teringat momen penting dalam hidupnya—pertemuan sederhana dengan Bu Tika, guru yang memberi harapan di saat ia hampir menyerah.
Pada suatu hari, Romi diundang untuk memberikan pidato di sebuah acara masyarakat, tidak jauh dari SMPnya dulu. Dengan balutan kemeja putih bersih dan senyum penuh keyakinan, ia naik ke podium. Para hadirin menatapnya dengan penuh perhatian. Ketika ia berbicara, suaranya terdengar bergetar, penuh emosi yang mendalam.
“Saya bukan siapa-siapa tanpa bimbingan orang-orang yang peduli,” katanya dengan tulus. “Ada masa di hidup saya ketika saya hampir menyerah, ketika saya merasa tidak ada jalan keluar. Namun, ada satu guru yang percaya pada saya. Ia tidak memberi saya materi, tetapi ia memberi saya sesuatu yang lebih besar, yakni harapan. Sebuah sapu tangan dari beliau mengubah hidup saya. Bukan tentang bendanya, tapi tentang kasih tulus yang menyertainya.”
Ia berhenti sejenak, memandang hadirin dengan mata berkaca-kaca. “Mari kita semua jadi seperti guru itu, yang menginspirasi dan membawa harapan bagi orang lain. Kita tidak pernah tahu bagaimana tindakan kecil bisa mengubah hidup seseorang.”
Sorak tepuk tangan membahana memenuhi ruangan. Di tengah kerumunan, seorang wanita paruh baya dengan rambut mulai memutih berdiri sambil menyeka air matanya. Itu Bu Tika, yang kini sudah pensiun. Melihat Romi yang kini telah menjadi sosok besar, ia merasa bangga dan terharu.
Sapu tangan biru itu, meski kecil dan sederhana, telah menjadi simbol dari cinta kasih seorang guru. Dan hari itu, Bu Tika tahu bahwa tindakan kecilnya di masa lalu telah menuntun seorang anak menuju masa depan yang jauh lebih cerah.