Oleh : Kaspul
Akademisi Program Studi
Pendidikan Biologi FKIP ULM
BELUM lama ini, dunia pendidikan Indonesia dikejutkan oleh istilah baru yang diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Dr. Abdul Mu’ti, yaitu Dept Learning. Istilah ini digadang-gadang sebagai wajah baru dalam pembelajaran abad 21, meskipun secara konsep, beberapa komponen di dalamnya tampak serupa dengan kurikulum sebelumnya.
Deep Learning sebenarnya tidak jauh berbeda dari konsep-konsep yang pernah diterapkan dalam kurikulum sebelumnya.
Pertama, kurikulum berbasis kompetensi yang sudah mengenalkan pendekatan PAIKEM atau Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Fokus PAIKEM adalah mengajak siswa untuk aktif berpartisipasi, memicu kreativitas, serta memastikan suasana belajar yang menyenangkan namun tetap efektif.
Kedua, kurikulum 2013 memperkenalkan beberapa model pembelajaran yang juga masih relevan hingga saat ini, antara lain discovery learning yang menekankan pada proses penemuan konsep oleh siswa melalui pengalaman belajar secara mandiri. Lalu inquiry learning yang mengajak siswa untuk aktif bertanya, mengeksplorasi, dan menemukan pengetahuan melalui metode ilmiah, pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) yang menempatkan siswa untuk memecahkan masalah nyata sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Selanjutnya pembelajaran berbasis proyek (project based learning) yang mendorong siswa untuk belajar melalui proyek yang menantang dan bermakna.
Ketiga, kurikulum merdeka yang menekankan pembelajaran dengan pembelajaran berbasis masalah (PBL). Fokus pada kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, pembelajaran berbasis proyek (PjBL) yang menumbuhkan kreativitas dan kolaborasi siswa dalam mengerjakan proyek nyata, dan proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) sebagai upaya membentuk karakter siswa sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Deep Learning, meskipun menggunakan fondasi serupa dengan kurikulum sebelumnya, menawarkan pendekatan yang diklaim lebih segar dan relevan dengan tantangan abad 21. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed tampaknya ingin menekankan aspek kolaborasi, kreativitas, pemecahan masalah, dan literasi digital sebagai komponen kunci.
Lebih jauh lagi, Dept Learning mengusung tiga komponen utama yang disebut sebagai mindful learning, yaitu pembelajaran yang berfokus pada kesadaran penuh, di mana siswa benar-benar hadir secara mental dan emosional dalam proses belajar. Ini menciptakan suasana belajar yang lebih fokus dan reflektif. Lalu meaningful learning, yaitu pembelajaran yang bermakna. Dalam hal ini materi yang dipelajari siswa relevan dengan kehidupan sehari-hari dan mampu membentuk pemahaman yang mendalam serta kontekstual.
Selanjutnya joyful learning, yaitu pembelajaran yang menyenangkan, di mana proses belajar memberikan pengalaman positif, menggugah minat, serta mengurangi tekanan yang dirasakan siswa.
Ketiga komponen dalam Deep Learning diharapkan mampu menciptakan suasana belajar yang lebih holistik dan seimbang, memperhatikan aspek kognitif, emosional, dan keterlibatan siswa. Selain itu, istilah ini juga hadir untuk memberikan semangat baru dalam implementasi pembelajaran, seiring dengan perubahan kebutuhan keterampilan global di era digital. Dengan demikian, ini bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru, melainkan penyempurnaan dan penegasan ulang dari praktik pembelajaran yang telah ada.
Selain tiga komponen utama tersebut, pendekatan Deep Learning juga sejalan dengan konsep C6 yang diperkenalkan oleh Golinkoff dan Hirsh-Pasek. C6 merujuk pada enam keterampilan penting yang harus dimiliki siswa dalam menghadapi abad 21, yaitu kolaborasi atau kemampuan bekerja sama dalam tim untuk mencapai tujuan bersama. Selanjutnya komunikasi atau kemampuan menyampaikan ide, informasi, dan pendapat secara efektif baik lisan maupun tulisan.
Keterampilan lainnya yakni konten atau penguasaan materi pengetahuan yang mendalam dan relevan. Selain itu pemikiran kritis yakni kemampuan menganalisis masalah, mengevaluasi informasi, dan menemukan Solusi. Kreativitas yakni kemampuan menciptakan ide-ide inovatif untuk menyelesaikan masalah, dan percaya diri atau keyakinan pada kemampuan diri sendiri dalam mengambil keputusan dan bertindak. Integrasi C6 dalam Deep Learning semakin mempertegas pentingnya keterampilan yang dapat membekali siswa menghadapi perubahan global yang cepat dan kompleks.
Tantangan implementasinya serupa dengan tantangan pada kurikulum sebelumnya, yaitu kesiapan guru, fasilitas sekolah dan sistem evaluasi.
Apakah pendidik memiliki keterampilan dan pengetahuan yang cukup untuk menerapkan konsep ini secara efektif? Sementara itu infrastruktur memadai seperti teknologi pendukung, masih menjadi tantangan di banyak wilayah. Terkait sistem evaluasi, apakah metode penilaian dapat mengukur keterampilan abad 21 seperti kreativitas, kolaborasi, dan literasi digital? Jika tidak dipersiapkan dengan matang, istilah baru ini dikhawatirkan hanya akan menjadi sekadar “baju baru” tanpa perubahan signifikan dalam praktik pembelajaran.
Jika konsep Deep Learning mampu diimplementasikan secara konsisten dengan dukungan sumber daya yang memadai, bukan tidak mungkin wajah pendidikan Indonesia akan benar-benar berubah dan lebih siap menghadapi tantangan abad 21. Dengan demikian, metode ini bisa dipandang sebagai upaya pembaruan dan penyegaran konsep pembelajaran yang telah ada.
Kini, tantangan terbesar terletak pada bagaimana konsep ini diterapkan secara efektif di lapangan, bukan hanya sebagai istilah baru yang sekadar terlihat menarik. Keberhasilannya akan sangat bergantung pada sinergi semua pihak, mulai dari guru, siswa, pemangku kebijakan, hingga masyarakat luas. Deep Learning: Sebuah harapan baru atau hanya sekadar istilah? Waktu yang akan menjawab. (*)