TRIBUNJATIM.COM - Seorang bocah mengalami kelumpuhan sejak lahir.
Selama 13 tahun, bocah tersebut hanya terbaring di kamar tidur.
Mirisnya, orangtua bocah itu telah meninggal dunia dan kini dirawat oleh saudara ibunya.
Kisah memprihatinkan ini dialami bocah bernama Safi'i (13).
Safi'i diketahui menderita lumpuh layu.
Anak yatim piatu itu, kini dirawat tantenya bernama Hasna di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar).
Safi'i bersama Hasna merupakan warga Lingkungan Ujung Kelurahan Polewali, Kecamatan Polewali.
Sejak lahir 2011 lalu, ia telah menderita lumpuh layu, harus terbaring di tempat tidur selama 13 tahun lamanya.
Anak bungsu dari pasangan suami istri Arifin dan Hajra ini tinggal di rumah tantenya.
Saat usianya delapan tahun, ia sudah menjadi anak yatim piatu setelah kedua kedua orang tuanya meninggal dunia.
Ayahnya Arifin meninggal dunia pada 2017 lalu disusul ibunya pada 2019 lalu.
Sejak kedua orang tuanya meninggal dunia, ia dirawat oleh Hasna, saudara dari ibunya.
Kondisi kehidupan Hasna juga memprihatinkan.
Ia tulang punggung keluarga setelah bercerai dengan suaminya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tantenya hanya berjualan kue Apang dan sesekali menjual nasi kuning.
Safi'i tinggal di rumah panggung milik tantenya berukuran 7x10 meter persegi di Jl Panju Lorong Tengah.
Tinggal di bawah kolom rumah karena lantai atas rumahnya sudah tidak layak huni, dan keropos.
Lantai bawah rumah dijadikan tempat tidur juga sekaligus menjadi dapur dan segala aktifitas dikerjakan di bawah kolong rumah.
Hasna mengaku, selama ini hidup dari bantuan pemerintah dan berbagai donatur relawan komunitas kemanusiaan.
"Bantuan dari pemerintah berupa beras 10 kilogram tetapi itu tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari karena beras tersebut terkadang diterima selama tiga bulan sekali," kata Hasna kepada wartawan, dikutip dari Tribun Sulbar pada Minggu (2/2/2025).
"Begitu pun dengan bantuan kartu ATM, berwarna merah putih, uang sebesar Rp200 ribu hingga Rp 400 ribu per tiga bulan," lanjutnya.
Hasna mengaku pernah mendapat bantuan seperi BLT dan PKH namun sejak 2 tahun terakhir bantuan tersebut sudah tidak diterima lagi.
Namanya pernah diusulkan masuk dalam daftar sebagai penerima bantuan program bedah rumah dari pemerintah.
Namun setelah mendekati penyerahan namanya hilang diduga dicoret dari daftar penerima bantuan bedah rumah.
Ia mengaku kecewa sebab sebelumnya petugas telah meminta dokumen administrasi untuk kelengkapan berkasnya.
"Nama saya dicoret dari daftar penerima bantuan dengan alasan melanggar aturan karena letak rumah dekat dari pesisir pantai, padahal rumah saya ini jauh dari bibir pantai," ungkapnya.
Sementara itu kepala Lingkungan Ujung Polewali bernama Muliadi mengakui jika kondisi kehidupan Safi'i dan tantenya memang sudah hidup memprihatinkan.
Muliadi mengakui jika keluarga Safi'i pernah menerima bantuan sosial berupa PKH tetapi ia tidak tahu kenapa bantuan tersebut terputus.
Sementara untuk bedah rumah, kata Muliadi, sudah pernah mengusulkan nama keluarga Safi'i tetapi karena adanya aturan dari dinas tidak boleh dibangun jika dekat dari pesisir pantai.
"Aturan bedah rumah ini memang agak rancu padahal di daerah pesisir lainnya seperti Tonyaman dan Takatidung justru ada yang dapat bantuan seperti itu," terang Muliadi.