Mahasiswa Penerimaan KIP-K Digunaka Gaya Hedon
christine nadapdap February 03, 2025 05:04 PM
Dalam era pendidikan yang semakin terdiversifikasi, program-program bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) menjadi salah satu instrumen kunci dalam upaya pemerintah untuk memastikan akses pendidikan yang lebih merata.
Namun, paradoks tersembunyi muncul ketika mahasiswa yang menerima bantuan ini terlibat dalam gaya hidup yang mencerminkan elitisme.
Fenomena ini menyoroti tantangan kompleks dalam implementasi program bantuan pendidikan dan menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab, identitas, dan dampak sosial dari mahasiswa KIP kuliah yang mengadopsi gaya hidup elite.
Bagi sebagian orang, gaya hidup ini juga bisa menjadi motivasi bagi mahasiswa lain yang berada dalam situasi serupa untuk mengejar kesuksesan. Dalam upaya untuk menyeimbangkan identitas ini, beberapa mahasiswa cenderung menonjolkan atribut-atribut yang lebih sering terkait dengan gaya hidup elit, seperti mode, hobi, atau kegiatan sosial yang mahal.
Kedua, fenomena gaya hidup elitisme di kalangan mahasiswa KIP menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab moral. Menerima bantuan pendidikan seharusnya menjadi pemacu untuk memanfaatkan kesempatan tersebut secara optimal demi meningkatkan kesejahteraan diri dan masyarakat sekitar.
Namun, beberapa mahasiswa tergoda untuk menggunakan dana tambahan yang diterima dari KIP untuk keperluan yang tidak terkait langsung dengan pendidikan, seperti konsumsi barang-barang mewah atau gaya hidup yang berlebihan.
Begitu uang KIP masuk ke rekening, sebagian mahasiswa langsung bergegas ke mall terdekat, bukan untuk membeli buku atau alat tulis, melainkan untuk berburu iPhone terbaru. "Belajar pakai iPhone kan lebih canggih," begitu dalih mereka. Tentu saja, teknologi memang penting dalam proses belajar. Tapi benarkah iPhone seharga belasan juta rupiah itu esensial untuk pendidikan?
Tak berhenti di situ, beberapa dari mereka juga mengalokasikan dana KIP untuk membeli iPad dan aksesoris lainnya. Alasan yang sering terdengar adalah "iPad sangat membantu untuk mencatat kuliah dan membuat presentasi." Alat-alat ini memang bisa meningkatkan produktivitas, tapi apakah itu prioritas utama dibandingkan kebutuhan dasar seperti makanan dan tempat tinggal yang layak?
Namun, yang lebih menyakitkan lagi adalah adanya mahasiswa yang sebenarnya mampu secara finansial tetapi tetap memanfaatkan KIP Kuliah demi keuntungan pribadi. Mereka adalah oportunis sejati yang memanfaatkan celah dalam sistem untuk mendapatkan uang tambahan. Dengan wajah tanpa dosa, mereka mengisi formulir, mengajukan berkas, dan mengaku sebagai golongan tidak mampu. Betapa jahatnya mereka, mengkhianati kepercayaan yang diberikan dan merampas hak mereka yang benar-benar membutuhkan.
Dua Faktor Utama KIP-K Salah Sasaran Terus Terjadi
Selain proses seleksi yang tidak transparan, proses seleksi yang tidak akuntabel juga kerap menjadi masalah yang serius. Untuk mendalami permasalahan ini, penulis juga melakukan riset kepada mahasiswa B yang juga mendaftar KIP-K dari Perguruan Tinggi di Jakarta. Berdasarkan pengalaman yang dialaminya, permasalahan ini biasanya timbul dari pihak RT dan RW para mahasiswa pendaftar. Pihak RT dan RW memang memiliki peran dalam membuatkan dokumen Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang merupakan salah satu syarat pendaftaran KIP-K. Akan tetapi banyak kejadian yang membuat RT dan RW kerap memberikan SKTM kepada siapapun, termasuk kepada orang yang cukup mampu. Hal ini biasa dilakukan jika mereka mendapat sogokan dari pendaftar, mendapat keterangan palsu, atau kurangnya riset yang mendalam terkait kondisi ekonomi si pendaftar.
Apa Tanggung Jawab Mahasiswa?
Pertama-tama, mahasiswa penerima KIP Kuliah memiliki tanggung jawab untuk menghargai kesempatan yang diberikan kepada mereka.
Mereka harus menyadari bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, mahasiswa penerima KIP Kuliah perlu bersyukur atas kesempatan yang mereka dapatkan dan memanfaatkannya sebaik mungkin untuk mengembangkan diri dan mencapai potensi terbaik mereka.
Selanjutnya, mahasiswa penerima KIP Kuliah juga memiliki tanggung jawab untuk memperoleh hasil akademik yang baik. Meskipun mereka mungkin menghadapi tantangan ekonomi dan sosial yang lebih besar daripada rekan-rekan mereka yang mampu secara finansial, hal ini tidak seharusnya menjadi alasan untuk menurunkan kualitas pendidikan yang diperoleh. Sebaliknya, mahasiswa penerima KIP Kuliah perlu menunjukkan dedikasi dan komitmen yang tinggi terhadap studi mereka, dan berusaha untuk meraih prestasi akademik yang memuaskan.
Tidak hanya itu, mahasiswa penerima KIP Kuliah juga memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan diri di luar ruang kelas. Pendidikan tinggi bukan hanya tentang memperoleh pengetahuan akademik, tetapi juga tentang mengembangkan keterampilan, kepribadian, dan sikap yang dibutuhkan untuk sukses dalam kehidupan.
Christine Nadapdap, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.