Airlangga mengatakan, pemerintah sudah membahas keberlanjutan JETP dengan Bank Dunia (World Bank) dan Jepang. JETP disebut akan tetap berjalan bersama negara-negara lainnya yang ikut dalam kesepakatan, meskipun tanpa AS.
"Kita sudah bahas dengan World Bank dan Jepang, pada saat nanti Amerika seandainya mereka retract, JETP akan tetap terus berjalan dengan negara-negara yang masuk di JETP tersebut," kata Airlangga dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (5/2/2025).
Kesepakatan JETP terjalin antara Indonesia dengan negara-negara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG). Organisasi itu dipimpin oleh AS dan Jepang, dengan anggotanya terdiri Denmark, Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Norway, Perancis dan Uni Eropa.
JETP adalah komitmen pendanaan dari negara-negara maju anggota G7 untuk membiayai transisi energi di negara berkembang dan miskin. Kesepakatan tersebut merupakan tindak lanjut pembahasan pendanaan transisi energi saat KTT G20 di Bali, November 2022 lalu.
Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo baru-baru ini mengatakan bahwa JETP merupakan program gagal. Selama dua tahun berjalan, ia menyebut tidak ada satu dolar pun yang dikucurkan oleh pemerintah AS untuk program ini.
"Saya ketemu utusan khusus AS namanya John, JETP itu program gagal, 2 tahun berjalan tidak 1 dolar pun dikucurkan oleh pemerintah AS, banyak omon-omon ternyata itu. Ada klausul US$ 5 miliar akan dihibahkan apabila dana tersedia, ternyata mohon maaf tidak tersedia," kata Hashim dikutip dari CNBC Indonesia.
Oleh sebab itu, ia meminta masyarakat tidak perlu lagi berharap pada pendanaan JETP. Mengingat AS sebagai salah satu negara yang menginisiasi program tersebut telah mundur dari perjanjian.
"Ini realita, so ini saya kira jangan harapkan deh US$ 20 miliar," kata dia.
Kala itu, negara anggota G7 berjanji membantu transisi energi Indonesia lewat pendanaan JETP sebesar US$ 20 miliar atau setara Rp 314 triliun. Pendanaan tersebut tidak semuanya bersifat hibah atau pemberian cuma-cuma, melainkan lebih banyak pinjaman alias utang.
Berdasarkan dokumen yang diterbitkan Sekretariat JETP Indonesia, pendanaan transisi energi ini terbagi menjadi dua sumber. Pertama, pendanaan publik sebesar US$ 11,5 miliar atau setara Rp 178 triliun yang terdiri dari dana hibah US$ 300 juta, penjaminan US$ 2,1 miliar, pinjaman lunak alias concessional loans US$ 6,9 miliar. Kemudian, non-concessional loans US$ 1,6 miliar, ekuitas atau investasi US$ 400 juta, serta US$ 300 juta lainnya belum ditentukan.
Kedua, pendanaan swasta dari pinjaman komersial senilai US$ 10 miliar alias Rp 155 triliun. Mengacu pada data tersebut, porsi hibah sangatlah kecil bahkan sumber pinjaman baik lunak maupun komersial berpotensi membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus menjamin pinjaman tersebut.
Fungsi APBN sebagai penjamin ini dibolehkan, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 tentang Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan Dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan.